Sri Utami

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Kegelisahan yang Belum Terjawab
Sumber gambar: Dokumen Pribadi

Kegelisahan yang Belum Terjawab

Kegelisahan saya ini mungkin juga dialami juga oleh sebagian guru yang peduli dengan masa depan bangsa ini terkait dengan sumber daya manusianya yang mestinya akan muncul dari bibit-bibitnya, yaitu generasi muda Indonesia yang saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa atau sebagai pelajar. Apa kegelisahan saya ini?

Dunia Pendidikan Indonesia memang bersifat dinamis, terus bergerak dengan perubahan-perubahan yang selalu ada. Tidak hanya kurikulum yang berubah, namun juga aturan-aturan yang berubah yang kadang muncul karena penyesuaian terhadap suatu keadaan yang tidak normal. Kita ingat bahwa dulu kita ada kurikulum KTSP, lalu ada kurikulum 2013 dan sekarang ada kurikulum baru di tahun 2021 yaitu Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan yang didasari dengan adanya kegiatan Guru penggerak, Kepala Sekolah Penggerak dan Sekolah Penggerak. Selain gebrakan sekolah penggerak ada juga SMK PK atau SMK Pusat keunggulan yang harus menggunakan kurikulum terbaru di tahun 2021 ini. Sayangnya sebelum KOSP ini dibuat untuk diterapkan, tidak ada evaluasi yang menyeluruh terhadap kurikulum sebelumnya. Sehingga kita tidak tahu, bagian mana yang baik, bagian mana yang harus dibuang , bagian mana yang harus disempurnakan. Namun apalah daya, kita hanya sebagai pelaksana, sebagai pengguna, bukan sebagai pengambil kebijakan, sehingga apapun yang telah ditentukan oleh pengambil kebijakan, maka itulah yang harus kita laksanakan.

Namun bukan itu inti kegelisahan saya, bukan tentang berubahnya kurikulum atau berlakunya kebijakan-kebijakan baru di dunia Pendidikan Indonesia, tetapi lebih pada kebijakan local yang terjadi di sekolah atau kota atau provinsi atau bahkan itu mungkin terjadi juga diseluruh Indonesia. Kita tahu bahwa dalam kegiatan penilaian atau evaluasi kita mengenal yang Namanya KKM atau Kriteria Ketuntasan Minimal. KKM ini ditentukan oleh sekolah sesuai dengan kemampuan siswanya di sekolah masing-masing. Di sini ada dilema dalam menentukan KKM sekolah, yaitu:

1. Jika menentukan KKM tinggi, maka faktanya akan banyak siswa yang gagal dalam mencapai KKM tersebut, sehingga seharusnya siswa tersebut harus melaksanakan remidi untuk mencapai KKM tersebut. Remidi tidak hanya sekali, namun bisa berkali-kali hingga siswa dapat mencapai nilai KKM tersebut. Lalu faktanya, apakah guru memiliki kemampuan dan kemauan untuk melaksakan remidi bagi siswa yang gagal berkali-kali untuk mencapai nilai KKM tersebut? Apakah guru memiliki waktu untuk membuat soal remidi, lalu mengoreksi hasil pekerjaan siswa yang harus remidi berkali-kali untuk mencapai nilai KKM? Baagaimana kemudian siswa lain yang terus melaju yang juga ingin mendapatkan pegajaran selanjutnya? Guru akan sangat mengalami kesulitan untuk melaksanakan dua hal yang berlawanan, yang sama-sama meminta perhatian dan penanganan dari guru. Akibatnya adalah guru akan memberikan nilai KKM kepada siswa yang sebenarnya belum bisa mencapai nilai KKM tersebut. Ini adalah kebohongan berjamaah demi amannya siswa dan amannya guru.

2. Jika menentukan KKM rendah, maka jelas siswa sekolah tersebut akan sulit bersaing dengan siswa sekolah lain di luar sana. Di luar sana bisa dibaca perguruan tinggi ataupun dunia industri/dunia usaha. Bagi SMK, jika dibuat KKM rendah, maka siswanya akan mengalami kesulitan di luar sana untuk bersaing dengan siswa sekolah lain karena pada saat seleksi administrasi, pihak industry atau dunia usaha otomatis akan melihat nilainya pertama kali. Padahal dari segi kualitas kompetensi, belum tentu sesuai dengan angka yang tertera di raport/ atau di LHBS. Maksud saya begini, sekolah yang bagus/yang berkualitas atau berakreditasi A, tentu akan memberikan nilai sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh siswanya. Mungkin siswa yang memiliki kompetensi 75% , akan diberikan nilai KKM atau misalnya diberi nilai 76 oleh guru sekolah yang bagus ini. Namun untuk sekolah yang gradenya lebih rendah, siswa yang kompetensinya 75% bisa jadi mendapatkan nilai 90 dari gurunya. Jadi jika diberi KKM yang rendah, maka siswa akan sulit bersaing dengan siswa sekolah lain yang mempunyai KKM tinggi, meski kemampuan/skill siswanya belum tentu seperti yang terbaca pada nilai tersebut.

Itu adalah kegelisahan saya tentang nilai KKM yang menurut saya tidak fair dalam menggambarkan kemampuan rill seorang siswa.

Kegelisahan saya yang lain adalah tentang regulasi yang ditetapkan namun sepertinya dibuat untuk dilanggar. Seharusnya sebuah regulasi dibuat untuk dilaksanakan dengan kepatuhan yang proporsional. Namun kenyataannya, seringkali regulasi itu hanyalah sebuah dokumen yang tidak ada artinya. Kegelisahan saya yang kedua ini adalah tentang Kriteria Kenaikan Kelas yang setiap tahun kita gunakan untuk menentukan seorang siswa bisa naik kelas atau tidak.

Pada setiap akhir semester genap, semua sekolah pasti disibukkan dengan kegiatan evaluasi akhir semester atau Penilaian Akhir Semester (PAS) yang kemudian dijadikan salah satu indicator penilaian dalam menentukan nilai raport. Ketika nilai raport sudah jadi, dilanjutkan dengan keputusan untuk menentukan siswa dapat naik ke tingkat selanjutnya atau tidak. Kriteria Kenaikan Kelas ini melihat dari beberapa aspek. Salah tiganya adalah;

1. Siswa dapat naik kelas jika semua kompetensi kejuruan telah dinyatakan tuntas (Bagi siswa SMK)

2. Siswa dapat naik kelas jika hanya maksimal 3 mata pelajaran normative adaptif yang tidak tuntas dalam tahun tersebut

3. Siswa dapat naik kelas jika minimal 90% kehadiran disekolah sesuai hari efektif sekolah.

Namun pada kenyataannya, kriteria-kriteria ini tidak sepenuhnya digunakan secara benar, karena banyak permakluman-permakluman yang dilakukan oleh guru bagi siswa yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria naik kelas. Memang sudah sewajarnya jika kita sebagai guru apalagi sebagai wali kelas untuk membantu siswanya untuk bisa naik kelas. Namun bantuan itu dilakukan sebelum sidang pleno kenaikan kelas, yaitu siswa diingatkan untuk mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepada siswa tersebut. Manakala siswa sudah berusaha mengejar ketertinggalannya, sudah berusaha mengerjakan tugas-tugas yang belum diselesaikannya, maka bolehlah siswa tersebut akan lolos naik ektingkat selanjutnya. Namun jika siswa tidak ada niat baik untuk meremidi nilai-nilainya, tidak ada atensi atas tugas-tugas yang diberikan padanya, tidak ada semangat untuk masuk kelas atau mengikuti pembelajaran di kelasnya, sebaiknya diberikan saja ketegasan dari kriteria kenaikan kelas tersebut. Artinya dia tidak memenuhi kriteria kenaikan kelas dan tinggal saja di kelasnya. Sepertinya keputusan ini kejam, namun itu perlu dilaksanakan agar tidak menjadi preseden buruk bagi adik-adik kelasnya, karena jika ini tidak dilaksanakan maka siswa tersebut akan berbicara kepada temannya atau adik kelasnya “ aku tidak mengerjakan tugas-tugas, aku sering mbolos saja bisa naik kelas kok.” Nah, ini adalah preseden yang buruk karena akan memberikan pengaruh yang buruk kepada adik-adik kelasnya. Hal ini akan menyebabkan rusaknya semangat untuk belajar sungguh-sungguh dari para siswa karena teracuni oleh siswa yang saya ceritakan tersebut di atas.

Demikianlah kegelisahan-kegelisahan saya, yang sampai saat ini belum bisa dijawab karena jelas ini sangat membutuhkan komitmen dari para guru di sekolah dan ini juga bukan keputusan yang mudah. Banyak faktor yang mempengaruhi keputusan komitmen yang diambil oleh guru-guru di sekolah. Semoga kegelisahan say aini terjawab, setidak-tidaknya di sekolah saya sendiri.

Mijen-Semarang, 5 September 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren ulasannya

05 Sep
Balas

terimkasih selalu supportnya bu fit

06 Sep

terimkasih selalu supportnya bu fit

06 Sep

Yang ibu rasakan , saya rasakan juga Bu. Kadang2 siswa benar2 kurang mampu mencapai KKM tapi kita para guru dipaksa membuatnya tuntas.

05 Sep
Balas

nggihmbapak, itu memang yang terjadi dan kita seperti tidak berdaya

05 Sep



search

New Post