
Kartu Mati (Bagian ke-4)
Mbak Nah masih mengurut punggung dan juga pundakku yang kaku. Pundakku memang sering kaku, karena selain kolesterol juga karena pekerjaanku banyak menggunakan bahu karena posisi mengetik di depan computer kadang-kadang memaksa aku untuk mengangkat pundak dan menahannya di meja jika kursinya lebih rendah dari yang seharusnya. Sehingga pundak sering kaku lalu menjalar ke leher. Jadi enak banget jika sudah diurut karena menjadi kendur dan pusingnya hilang.
“Kemarin itu selain menjambak dan memukuli saya, dia juga ngamuk memecah piring-piring dan gelas. Saya sekarang menggunakan piring plastik dan cangkir plastik karena piringnya hanya tinggal beberapa saja.
“Lho..lah. kok malah kayak gitu.” Gumamku
“Ya bu. Nggak tahu tuh.”
“Lha mbak Nah dulu milihnya suami gimana sih? Apa dia dulu baik terus sekarang jadi berubah kayak gini mbak?” tanyaku agak nggerundel
“Saya dulu dijodohkan bu. Saat itu saya masih SMA kelas 2. Suami saya begitu melihat saya langsung bilang orang tuanya dan orang tuanya langsung menemui bapak saya. Akhirnya saya disuruh menikah.”
“Lha kan sekolahnya belum lulus?’
“Saya keluar bu. Karena langsung disuruh menikah.”
“Kok mau mbak? Kok nggak menolak?”
“Lha itu saya juga tidak tahu, bu. Kok saya saat itu mau-maunya disuruh keluar sekolah lalu menikah sama suami say aitu.”
“Suamimu waktu itu baik?”
“Enggak. Saya tahu dia juga menjadi anak nakal di keluarganya. Jadi mertua saya sangat senang ketika saya mau menikah dengan anaknya. Mertua saya sangat membantu saya, juga suka memberi bantuan kebutuhan sehari-hari bu.”
“Oo… begitu. Ternyata kelakuannya tidak berubah meski sudah punya anak-anak ya mbak?”
“Iya bu. Saya sekarang lebih baik diam saja. Tapi jika dia memukul saya lagi, saya akan laporkan dia ke polisi dan saya akan minta cerai.” Kata mbak Nah berapi-api. Sepertinya sakit hatinya menyisakan sedikit dendam di sudut hatinya.
“Iya mbak Nah. Mbak Nah melaporkan dia ke polisi atau meminta cerai dari suami itu haknya mbak Nah. Saya dukung 100% sebagai sesame Wanita. Hanya saya perlu mengingatkan, perceraian itu selain memisahkan njenengan dan suami juga memisahkan suami dengan anak-anak jika anak-anak ikuit mbak Nah. Mbak Nah juga harus berjuang untuk menghidupi anak-anak. Ini tidak mudah. Namun jika memang suami masih suka memukuli, pisah tidak apa-apa mbak. Saya juga tidak sudi jika punya suami tukang memukuli istrinya.” Kataku
“Iya bu. Semoga setelah ini dia akan berhenti memukuli saya.”
“Walau mbak Nah tidak boleh pedang hp dan kemana-mana diantar?”
“Saya tidak masalah dengan itu bu. Biarkan saja dia yang repot menjawab pesan dari pelanggan-pelanggan saya agtau repot mengantar saya kemana-mana. Kalau saya tidak memijit kan dia yang rugi karena saya tidak bisa menghasilkan uang.” Jawabnya pelan.
“Nanti aku kasih piring dan gelas mbak. Aku punya banyak itu.”
“Maturnuwun, bu.”
Selesai memijat, aku segera beberes memakai pakaianku kembali. Mbak Nah aku buatkan secangkir teh hangat dan kuminta duduk di ruang tengah. Aku buka kontainer plastic di dapur dan kukeluarkan 2 lusin piring bening hadiah dari membeli detergen. Tiap kali membeli detergen, mendapat hadiah piring. Piring-piring itu aku kumpulkan karena aku menggunakan piring keramik untuk sehari-hari. Piring-piring kaca bening itu tak pernah aku gunakan. Tidak menyangka jika akhirnya ada orang yang memanfaatkannya. Selain piring bening, aku juga mengumpulkan beberapa cangkir-cangkir hadiah, toples-toples yang sudah tidak aku gunakan, juga lepak-lepak plastik yang sudah tidak aku gunakan, Sebagian masih baru, masih terbungkus plastik, karena dulu punya lepak-lepak untuk membawakan bekal anak-anak saat mereka masih kecil, masih sekolah. Sekarang anak-anakku sudah besar-besar, sudah tidak membawa bekal makan dari rumah. Jadi lebih bermanfaat jika kuberikan mbak Nah karena masih bisa dipakai anak-anaknya.
Mbak Nah merasa terharu dan sangat berterimakasih karena aku memberikan apa yang dia butuhkan. Aku bilang mbak Nah untuk bersabar, dan selalu mendoakan suaminya agar bisa menjadi suami yang baik dan tidak sewenang-wenang terhadap istrinya. Jika memang sudah tidak bisa berubah masih memukuli istrinya terus, tidak apa-apa jika minta cerai walau itu dengan konsekuensi yang berat juga untuk mbak Nah dan anak-anak. Menikah memang seperti orang berjudi. Saat pembagian kartu, kita tidak tahu kartu apa yang akan kita terima. Meski ebenarnya kita sudah berusaha memilih kartu yang baik yang istimewa, namun ada kalanya kita mendapatkan kartu mati. Kartu yang membuat kita tak bisa berkutik. Mau digunakan tidak ada gunanya, kalau mau dibuang juga tidak bisa begitu saja. Itulah rumitnya, Aku mengangguk ketika mbak Nah pamit saat mendengar suara motornya mendekat. Anaknya yang dari tadi asyik menonton tivi, digandengnya keluar. Aku menggelengkan kepala membayangkan betapa hidup yang seperti mbak Nah alami, juga dialami oleh banyak perempuan di luar sana. Maka dalam hati aku berdoa untuk anak-anakku, supaya kealk menjadi orang yang mandiri, yang bekerja, yang punya penghasilan sendiri meski perempuan agar tidak hanya menggantungkan hidup pada suaminya, agar mereka tidak mendapatkan kesewenang-wenangan dari pasangannya, agar mereka mempunyai derajat yang sama dengan pasangannya. Rumah tangga sebenarnya bukan kalah menang, tapi seberapa jauh bisa saling memahami, bisa saling memaklumi, saling mengisi , saling melengkapi dan saling mendukung. Semoga anak-anakku akan menemukan kebahagiaannya masing-masing saat sudah sampai pada waktunya mereka berumah tangga.
T A M A T
Mijen, 28 Agustus 2021
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerita yang keren buk... Lanjut cerita berikutnya.
siap bapak. terimakasih supportnya. salam sehat pak M.Barid