
DERING VIOLIN SONATA 12 (11-Tamat)
Hari-hari seakan melambat untuk sampai di minggu berikutnya. Aku sebenarnya selalu mengingat apa yang akan terjadi pada hari minggu yang akan datang, hanya karena Eka menanyakan aku ada di rumah atau tidak. Aku menyesali mengapa hatiku begitu mengingat Eka dan mengharap orang asing yang tiba-tiba hadir dalam kehidupanku. Minggu pagi seperti biasa Aku menghabiskan pagi untuk olah raga. Jalan kaki 5 kilometer selama satu jam memutari jalan kampung sudah membuat peluh membasahi kaos. Setelah melepas sepatu olah raga, Aku meneguk segelas besar air putih hangat yang kuambil dari dispenser. Ibu memasak di dapur. Aku kembali ke depan dan memasang selang air untuk menyiram tanaman-tanamanku yang mengharap segarnya air untuk kelangsungan hidupnya. Aku menyapa tanaman-tanamanku dan bahkan berbincang dengan pohon mangga yang masih setinggi satu meteran agar mau tumbuh subur dan kelak segera berbuah dengan buah yang manis. Aku berharap, semoga pohon mangga itu mendengar apa yang aku katakan.
Aku sudah mandi dan rebahan di kasur. Kuraih handphone dan notif chat dari stranger. Aku begitu bersemangat untuk membuka dan membacanya
“Assalamualaikum, bu guru. Seperti kataku tempo hari, aku sudah balik ke Jakarta kemarin. Hari ini pesawatku landing di bandara A.Yani jam dua siang. Aku tunggu dirimu di ruang tunggu Bandara. Sampai ketemu di sana.”
Hah? Aku membaca ulang chatnya Eka. Ini beneran nggak sih? Eka kembali ke Jakarta kemarin dan siang ini ke Semarang? Bahkan Eka bilang akan menungguku di Bandara siang nanti jam dua siang. Ini sungguhan apa hanya prank ? Aku tak habis pikir. Sekarang sudah jam 11 siang. Aku membalas chatnya Eka
“Wa alaikum salaam. Ini beneran mas? Atau Mas Eka hanya bercanda?”
Tapi pesanku hanya centang satu. Tak terbaca dan tak terbalas. Aku menunggu dalam resah. Tapi hati kecilku mengatakan Eka sepertinya serius datang ke Semarang untuk bertemu diriku. Dia tidak pernah mau mengirimkan fotonya, sekarang tiba-tiba datang dan langsung ingin bertemu. Betapa anehnya dia. Baiklah, aku akan datang ke bandara, aku membulatkan tekat untuk datang menemui Eka di bandara.
Selepas sholat dhuhur aku bersiap-siap untuk ke bandara A.Yani. Seperti biasa, aku mengenakan pakaian kebesaran yaitu celana jeans dan hem kotak-kotak. Kali ini kupilih hem kotak-kotak warna coklat muda lengan panjang dan garis-garisnya kombinasi antara coklat bata dan putih. Lengan baju kugulung sampai di atas pergelangan tangan. Sepatu slip on datar warna merah kupakai karena yang lainnya sepatu dengan hak lima centinan. Kupakai juga jaket untuk melindungi tangan dari sengatan matahari. Setelah berpamitan dengan ibu, aku melaju dengan motorku menuju bandara. Bagaimana nanti mencari orang yang namanya Eka, itu urusan nanti batinku selama dalam perjalanan. Eka tidak membaca dan membalas chatku mungkin dia sudah tidak mengaktifkan handphonenya. Mungkin sekarang dia sudah dalam perjalanan dan tak lama lagi pesawatnya landing. Aku memarkir motorku di parkiran dan berjalan menuju ruang tunggu kedatangan di Bandara Ahmad Yani. Sejak bandara A.yani di bangun, aku baru dua kali ini ke bandara. Yang pertama kemarin ikut mengantar teman ke bandara karena pas rame-rame bersama teman-teman, ada yang mau ke Jakarta jadi sekalian ikut. Tapi saat itu menggunakan mobil, dan sekarang aku harus mencari -cari dulu di mana tempat parkir motornya. Agak jauh aku berjalan kaki dari parkiran untuk sampai di ruang tunggu kedatangan penumpang. Masih jam 13.40 ketika aku duduk di ruang tunggu. Kukeluarkan handphone dari tas kulit berwarna coklat mentah dan kubuka. Chat ke Eka belum dibaca dan tentu saja belum dibalas juga. Aku menutup handphone. Sebenarnya aku malu dengan diriku sendiri, kenapa sih percaya banget dengan chatnya Eka si orang asing. Kenal belum begitu lama, chating juga tidak intens, namun kenapa diriku percaya saja kalau Eka beneran mau datang. Tapi dari sudut hatiku yang lain mengatakan kalau Eka bakalan datang seperti apa yang ditulis dalam chatnya. Aku belum pernah lihat Eka, tidak tahu wajahnya seperti apa. Kemarin hanya lihat bagian belakang kepalanya saja, dengan rambut cepak rapi. aku menutup mata. Tangan kulipat didada dan duduk bersandar di kursi besi ruang tunggu itu. Masih 15 menit, lumayan bisa merem sebentar, pikirku.
Entah sudah berapa menit aku tertidur ketika handphoneku bergetar. Aku membuka mata kaget dan kucari handphone di dalam tas. Mataku nanar ketika dering violin sonata 12 terdengar jelas membuat kantukku hilang seketika. Eka ! Dia menelpon. Kuterima panggilan itu
“Halo…” terdengar disana suara empuk cowok seperti yang kudengar ketika aku bertelponan dengan mas Anto. aku tidak yakin ini beneran Eka, si stranger. aku tidak segera menjawab namun kulihat lagi layar handphone jangan-jangan aku salah melihat tadi. Tapi tidak salah kok, ini memang si Eka.
“Haloo…” terdengar lagi suara empuk di seberang sana. “Assalamualaikum, bu guru.”
Bener, dia memang Eka!
“Wa alaikum salaam.” Aku membalas ucapan salamnya.
“Mia, di mana dirimu?
“Aku di ruang tunggu, mas.”
“Tunggu ya, aku hampir sampai ke pintu.”
“Tapi kan aku tidak tahu mas Eka orangnya yang mana.”
“Nanti pastilah tahu.”
“Ciri-cirinya seperti apa mas?” tanyaku penasaran
“Hemm… aku pakai celana jeans biru, baju kotak-kotak coklat muda dan tas kulit slempang warna coklat dan sepatu merah.”
Kalimat Eka dengan suara empuknya membuatku memutar mata kesegala arah. Jelas yang disampaikan Eka adalah apa yang kupakai. Berarti Eka sudah bisa mengenali diriku. Aku mengedarkan kembali pandangan mata ke segala arah. Eka sudah melihatku berarti dia ada di ruang tunggu ini juga. Masih dengan memegang handphone di telinga, aku menjelajah area ruang tunggu itu dengan mataku. Aku berdiri dan kulihat sesosok cowok jangkung berkulit bersih, dengan celana jeans biru, hem putih kotak-kotak kecil-kecil warna biru, hijau, merah dengan sepatu kulit warna coklat tua berdiri bersandar pada pilar bangunan ruang tunggu itu. Tangannya masih memegang handphone di telinganya dan senyumnya pecah ketika aku menatapnya. Kaca mata hitam menutupi matanya tapi senyumnya mengembang dengan gigi putih rapi. Tangan satunya melambai ke arahku. Ganteng! Hatiku terasa hangat bercampur kaget dan juga masih tak percaya. Benarkah itu Eka? Cowok jangkung yang ganteng itu… aku tak bisa berkata-kata lagi. Tanganku yang masih memegang handphone dan menempel di telinga tanpa sadar turun bersamaan dengan Eka yang menurunkan tangannya sambil tersenyum di sana. Eka hanya berjarak sekitar 10 meter dari tempatku berdiri dan dia tentu bisa melihatku dengan jelas. Mungkin dia sudah mengamatiku sejak tadi.
Masih dengan senyumnya yang menawan, Eka melangkah menuju tempatku yang masih berdiri bengong tak tahu apa yang mesti kukatakan. Bahkan aku lupa mematikan handphone. Eka mendekat dengan langkah pasti. Ransel kecil hitam tersandang di bahu sebelah kiri.
“Assalamualaikum, bu guru.” Suara empuk itu menyadarkanku. Angin disekitarku seakan berhenti bergerak saat Eka mendekat dan mengucapkan salam. Tangannya terulur kearahku. Aku tahu, beberapa pasang mata memperhatikan aku dan Eka.
“Hai.. Mia. Kok bengong?” kalimat tanya itu meluncur lagi dari mulut cowok gagah di depanku. Aku menggelengkan kepala berusaha untuk menyadarkan diri dari pesona cowok di depanku. Tanganku terulur menjabat tangan yang entah berapa detik menungguku.
“Maaf, ini beneran mas Eka ya?” tanyaku masih ragu. Eka tergelak.
“Ealaah.. iyalah Mia. Masih tidak percaya juga?”
“Kan aku belum pernah lihat wajah mas Eka. Salah siapa pelit nggak mau kasih fotonya.” aku pura-pura mrengut menjawab kalimat Eka.
“Okelah… tapi ini beneran aku, Mia. Seperti janjiku, kamu bisa langsung melihat aku tidak hanya berupa foto kan?” Eka masih menggenggam tanganku. aku baru tersadar lalu kutarik tanganku ndari genggamannya.
“Ehmmm… iya sih. Terimakasih sudah datang meski ini mengagetkanku dan membuatku banyak pertanyaan, mas.” Jawabku.
“Oke, berarti banyak yang akan kita obrolkan ya. Bagaimana jika kita ngobrolnya sambil cari minum atau makan, Mia. Aku juga sudah lapar.”
“Baiklah. Di mana kita akan ngobrol, mas?” aku mengedarkan pandangannya di sana. Ada resto cepat saji di ruang tunggu itu. Aku menunjuk.
“Di sana mas?”
“Boleh, yok kita kesana.” Ajak Eka. Aku mengangguk. Tanganku dibimbing Eka ketika aku harus keluar dari deretan kursi besi ruang tunggu itu. Aku melangkah dengan jantung yang berdetak lebih keras dari biasanya. Kata teman-teman, aku termasuk cewek yang tingginya sudah lumayan untuk ukuran cewek Indonesia. Tapi berjalan di samping Eka, ujung kepalaku hanya sepundaknya Eka. aku harus mendongak keatas jika menatap mata Eka.
“Silahkan duduk, bu guru.” Kata Eka mempersilahkan aku duduk di depannya. Meja persegi kecil itu terasa sangat dekat ketika aku dan Eka duduk berhadapan sambil menunggu menu yang kami pesan. Aku duduk dan melepas selempang tas kulitku dan menaruhnya di pangkuanku. Eka duduk di depanku dan ranselnya di taruh di dekat kaki kirinya. Masih dengan senyum, Eka melepas kaca mata hitamnya. Kini wajah utuhnya terpampang jelas di depanku. aku berusaha menyembunyikan mataku dari tatapan elang Eka. aku takut Eka mendengar debur jantungku yang tambah tak bisa diatur. aku memalingkan wajah. Eka tiba-tiba memegang tanganku.
“Mia…lihat aku.” Kata Eka. Aku dengan enggan memalingkan wajah kearah Eka dan mataku bertemu dengan manik mata Eka yang hitam kecoklatan. Aku sekarang bisa dengan sangat jelas melihat Eka meski dengan jantung yang tidak mau kompromi. Ya Allah… redakan detak jantungku, aku memohon kepada Tuhan. Rambut Eka memang benar cepak, mata yang agak sipit dengan bola mata hitam kecoklatan, hidungnya mancung serasi dengan bentuk wajahnya yang agak oval. Giginya putih rapi dan bibirnya itu, senantiasa tersenyum. Kulitnya putih, bahkan aku merasa itu terlalu bersih untuk ukuran kulit cowok. Ah…, aku mengeluh dalam hati. Aku terjebak dalam pesonanya. Profil Eka adalah persis gambaran cowok ideal idamanku saat SMA. Seperti kebanyakan remaja, aku dulu juga punya gambaran cowok idaman, yaitu badannya tinggi, ganteng, giginya rapi, pakai baju kotak-kotak, bisa memainkan gitar dan baik hati. Itu cowok idola saat aku SMA. Namun faktanya, cowok yang aku dapatkan saat berpacaran dengan mas Anto tidak seperti itu. Tinggi badan Mas Anto tidak setinggi harapanku, tapi giginya rapi meski mas Anto perokok, wajahnya lumayan dan baik hati meski pada akhirnya menghilang tanpa kabar. Saat itu aku berpikir bahwa manusia itu tidak akan bisa sempurna, karena pasti ada kekurangannya. Jadi mengharap mendapatkan cowok seperti idaman yang dibayangkan, tentulah hampir tidak mungkin. Tapi Eka sepertinya 90% tipe yang kuangankan saat aku gadis muda usia SMA.
“Mia..kok bengong lagi?” ucapan Eka menyadarkan aku lagi dari pesona dan angan-anganku
“Eh..mas. maaf. Aku masih bingung.” Jawabku kikuk. Kini pandanganku ke meja di depannya.
“Jangan bingung, karena banyak yang harus kita obrolkan.”
“Iya.”
“Apa coba?” sambil tersenyum Eka bertanya seakan menggodaku yang masih juga bingung. Aku menghembuskan nafas dari mulut. Dengan begitu seakan aku ingin menepis kebingungan dan berusaha menguasai diriku
“Pertama-tama, aku bingung karena mas Eka yang selama ini menyembunyikan wajahnya, tiba-tiba langsung datang di hadapanku.”
“Aku hanya pengin tahu saja, bagaimana Mia berteman berinteraksi denganku tanpa melihat wajahku. Artinya pertemanan itu akan muncul tanpa ada tendensi apa-apa dulu. Memang aku curang, karena aku melihat foto profilnya Mia tapi Mia tak bisa melihatku. Tapi itulah alasannya.’
“Huuu….curang.’ jawabku mrengut. Tanpa sadar tanganku bergerak hendak mencubit tangan Eka namun tangan Eka dengan sigap menangkap dan menggenggam tanganku. aku kaget bahkan terdiam tak tahu apa yang harus dilakukannya untuk sesaat. Ketika sadar, aku segera menarik tanganku dari genggaman Eka.
“Mas, ada yang juga membuatku bingung juga.”
“Apa?”
“Kok suara mas Anto yang di telpon kemarin, bisa mirip dengan suara mas Eka? Sejak kemarin waktu telponan itu sebenarnya aku sudah ragu-ragu, apakah itu benar suara mas Anto? Aku pikir, apa suara mas Anto bisa berubah, atau aku yang sudah lupa dengan suara mas Anto karena sudah empat tahun tidak berkomunikasi. Bisakah mas Eka menjelaskan kebingunganku tentang masalah ini?”
Eka terdiam beberapa saat. Dan kemudian menu pesanan mereka datang.
“Kita makan dulu, Mia. Ayok. Aku lapar.” Kata Eka sambil mempersilahkan aku makan dan dia sendiri mulai makan. Eka makan dengan diam, dan wajahnya sepertinya berubah menjadi serius. Aku memperhatikan diam-diam perubahan air muka itu. Aku juga makan dalam diam. Tak sanggup aku menghabiskan makananku karena kepalaku penuh dengan pertanyaan. Kuhirup lemon tea panas sambil memperhatikan Eka menghabiskan makanannya. Eka menyelesaikan makannya dan mengelap mulutnya dengan tisu. Diminumnya lemon tea panas pelan-pelan. Matanya kini agak menerawang. Aku takut akan terjadi sesuatu karena air muka Eka yang berubah menjadi serius. Senyumnya tak nampak lagi. Seperti ada kabut kesedihan di wajahnya. Eka memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Digenggamnya tanganku lagi.
“Mia, aku akan bercerita. Mohon didengarkan baik-baik.” Aku membiarkan tanganku dalam genggaman Eka. Ada kehangatan mengalir dari sana. Aku hanya mengangguk.
“ Mia, sebenarnya akulah yang kemarin menelpon dirimu.”
“Hah? Apa mas?’ ucapanku tertahan agar tidak menjerit karena kaget. Tanganku yang hendak kutarik dari genggaman Eka itu digenggam kuat-kuat oleh Eka sehingga aku tidak bisa melepaskan diri.
“Ssst…. tenanglah. Aku akan menjelaskan dengan sejujur-jujurnya.”
“Mas Eka mempermainkan aku?” desisku agak tersinggung
“Bukan. Tidak, Mia. Aku tidak mempermainkanmu.”
“Lantas, kenapa mas Eka pura-pura menjadi mas Anto bahkan menggunakan nomor yang berbeda?” tanyaku tertahan. Suaraku agak bergetar. Eka makin erat menggenggam tanganku
“Makanya dengarkan, Mia. Agar kamu tidak salah paham.” Aku mengangguk.
“Aku siap mendengarkan, mas.”
“Kamu ingat, waktu awal kita chatingan, bahwa aku menyampaikan pesanmu pada Anto? Bahwa nomormu kuberikan pada Anto dan Anto bilang akan menelponmu?” Aku mengangguk membenarkan karena aku ingat memang itulah yang dikatakan Eka saat itu.
“Itu benar, Mia. Memang itulah yang terjadi. Anto sudah enam bulan di Aceh, aku menyampaikan pesanmu dan Anto bilang akan menelponmu saat aku berikan nomor handphonemu.”
“Lalu?”
“Tapi kemudian sesuatu terjadi. Sebulan setelah itu Anto kena tembak oleh gerombolan orang bersenjata di sana. Lukanya cukup serius sehingga dia dalam perawatan rumah sakit sana.”
“Astagfirullah..” tak sadar aku mengucapkan itu. Mataku menatap mata Eka yang mengabut. Di pandanganku, wajah Eka menjadi kadang-kadang menjauh..kadang-kadang mendekat. Aku takut kalau tiba-tiba aku pingsan di situ. Aku merasakan genggaman Eka makin erat seakan hendak memberi kekuatan. Mas Anto memang bukan siap-siapaku lagi, namun mendengar orang yang pernah kucintai terluka, tentu saja membuat aku sedih dan prihatin.
“Sejak terluka itu, Anto harus di rawat di rumah sakit hingga berbulan-bulan. Disana dia di rawat oleh perawat yang sepertinya menaruh hati pada Anto karena setiap hari bertemu. Karena kondisinya dan merasa perawat itu tulus merawatnya, Antopun membuka hatinya untuk perawat itu.”
Aku mengangguk-angguk pura-pura mengerti apa yang disampaikan Eka padahal aku tidak paham dengan jalan cerita yang disampaikan Eka. Aku merasa, mas Anto bebas melakukan apapun yang diinginkan, karena sudah bukan siapa-siapaku lagi. Cemburu? Tidaklah.. aku sudah merasa datar-datar saja ketika nama Anto pertama kali disebut Eka. Jadi, tidak apa-apa kan jika mas Anto mendapatkan pacar lagi? Aku melamun sendiri. Yang tidak habis kumengerti mengapa kemudian muncul nomor 461 yang mengaku-ngaku mas Anto dan menanyakan apakah dia bisa kembali menjadi kekasihku seperti dulu. Aku merasa marah dibohongi, merasa dipermainkan.
“Lha siapa itu nomor 461, mas?” tanyaku
“Itu benar nomornya Anto, Mia. Tapi semua chatnya dan telponnya ke kamu itu aku yang nulis dan aku yang menelpon.” Eka menjawab pertanyaanku dan itu membuatku menjadi marah karena merasa dipermainkan. Kutarik tanganku dari genggaman Eka tapi Eka tidak melepaskannya. Mata Eka seperti memohon aku untuk menerima penjelasannya.
“Dengarkan sampai selesai dulu, Mia.” Aku mengalah dan mengangguk.
“Aku banyak bertanya tentangmu pada Anto dan Antopun banyak bercerita tentangmu sehingga aku banyak tahu tentang dirimu. Anto mengatakan padaku bahwa dia tak berani berharap lagi padamu dan juga sekarang, karena kondisinya dia sudah menemukan seseorang disini, maka aku memberanikan diri bilang Anto bahwa aku akan masuk dalam kehidupanmu. Anto memberikan support padaku. Namun aku perlu tahu, bagaimana sebenarnya hatimu terhadap Anto. Sehingga aku meminjam telpon Anto untuk chatting denganmu dan juga menelponmu.”
Aku menggeleng-gelengkan kepala, seakan tak percaya ada kejadian seperti ini. Berarti kecurigaanku selama ini benar, bahwa suara 461 yang menelponku bukan suara mas Anto. Dan pertanyaan-pertanyaan mas Anto yang harus kupikirkan jawabannya sampai sepuluh hari, itu semua gara-gara Eka. Sandiwara Eka. Apa maksudnya? Aku menatap mata Eka tajam, seakan mencari kebenaran di sana.
“Apa sebenarnya maksud mas Eka? Mempermainkan saya? Menguji saya?”
“Mia, itu tidak penting sekarang. Aku sudah tahu hatimu tak lagi mengharap Anto kembali padamu. Itu yang penting. Karena mulai sekarang, aku yang akan menjaga hatimu…” Eka menatap lurus ke manik mataku tanpa ragu. Menghujam sedemikian dalam sehingga aku tak bisa berkata-kata karena kalimat itu sedemikian tiba-tiba. Aku mencerna kalimat Eka. Masih tak percaya.
“Maksudnya bagaimana, mas?”
“Hadduh….. sejak kapan ini bu guru menjadi bodoh?” mata Eka kembali berbinar. Kabutnya hilang, senyumnya mengembang. Tangan satunya Eka bergerak mengacak rambutku. Hatiku berdesr menerima perlakuannya
“Mas…, aku tak paham.”
“Byyuuhh…. Aku menginginkanmu menjadi istriku, Mia.” Kata Eka pasti. Kalimatnya seperti kilat yang menyambar di depan mataku dan membuatku berkunang-kunang. Aku terdiam. Kilasan peristiwa meloncat-loncat dalam pikiranku. Anto yang tiba-tiba menghilang, lalu ketemu Eka lewat chat, lalu bertemu pertama kali ini, dan sekarang Eka bilang ingin aku menjadi istrinya? Lelucon apa ini?
“Mas Eka kalau guyon jangan sebegitunya dong, Mas..” aku berusaha menetralkan suasana yang seakan-akan kaku.
“Tidak Mia. Meski aku belum lama sekali berkenalan denganmu, tapi aku tahu banyak tentangmu. Aku sudah merasa kamu sedemikian dekat denganku. Dan aku serius. Kamu mau kan?” aku terdiam. Tanganku menjadi dingin dan Eka masih menggenggamku erat tak dilepaskan meski aku berusaha menarik diri. Aku masih berusaha menyadarkan diriku bahwa ini benar-benar nyata. Hatiku yang selalu merasa gembira ketika chatingan dengan Eka, lalu sekarang menemukan fakta bahwa Eka si stranger ini seperti cowok impianku saat aku remaja, dan kini Eka tidak hanya menjadikanku kekasih, tapi ingin menjadikan aku istri! Benar-benar seperti mimpi.
“Mia… “ terdengar suara Eka lagi. Eka menggoyangkan tanganku yang masih ada dalam genggamannya. “Mau kan?” Aku mengangguk, mataku panas mengabut. Aku tahu, sebentar lagi pasti air mataku akan jatuh karena sosok Eka menjadi kabur dalam pandanganku.
“Ealaah… bu guru malah nangis. Malu ah, nanti aku dikira orang jahat lho..” kalimat Eka menyadarkanku. Senyumnya mengembang. Kedua tangan Eka melepaskan genggamannya dan bergerak menghapus air mata yang jatuh di pipiku
“Alhamdulillah…tidak sia-sia ini perjalananku dari Jakarta ke Semarang.” guman Eka namun aku masih bisa mendengarnya. Kupukul lengan Eka dengan keras.
“Eit… apa-apaan nih. Bu guru mau alih profesi jadi petinju kah?” Eka menggoda
“Kenapa sih, mas Eka mengagetkan seperti ini?” suaraku agak serak karena menahan tangis di hatiku.
“Aku? Mengagetkan? Enggaklah… aku hanya tak mau kehilangan dirimu, Mia.”
“Tapi ini terlalu cepat dan tiba-tiba.”
“Tidak Mia, aku sudah nunggu kesempatan ini berbulan-bulan. Aku harus memastikan semuanya oke sehingga aku bisa maju tanpa halangan.”
“Tapi.. bagaimana jika dirimu tiba-tiba menghilang seperti mas Anto dulu?”
“Tidak, Mia. Tak lama lagi aku akan datang dengan orang tuaku. Aku masih mengatur waktunya untuk bisa melamarmu dihadapan bapak ibu. Setelah itu aku menikahimu dan membawamu ke Jakarta.” Aku tiba-tiba seperti ingat sesuatu.
“Bagaimana sekarang kondisinya mas Anto?” tanyaku. Eka tersenyum nakal.
“Mau tahu apa mau tahu banget?” matanya jenaka ketika bertanya begitu. Tanganku bergerak hendak mencubit namun Eka menangkap dan mencium jemariku sekilas. hatiku berdesir..’
“Anto masih pemulihan, tapi sudah tidak di rumah sakit. Ada di markas dia, dan perawatnya itu datang setiap hari. Cemburu, ya?” tanya Eka. Aku sekarang benar-benar memukul lengan Eka. Eka tertawa. Kami tak peduli beberapa pasang mata memperhatikan kami.
“Mas… kenapa yakin ingin memperistri aku padahal kita belum pernah bertemu?” tanyaku
“Itulah yang aku juga tidak tahu, Mia. Aku begitu yakin denganmu. Kamu akan menjadi istri yang baik, akan menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Hatiku yakin, sehingga aku bismillah saja dengan niat baik ini.”
“Ehmm… bagaimana jika aku tidak bisa mengikutimu ke Jakarta?”
“Kenapa?”
“Jakarta terlalu berisik untukku.”
“Kalau begitu nanti aku yang akan pindah mendekatimu. Yang paling dekat Semarang, itu Jogja atau Solo. Aku akan pindah kesini jika dirimu tak mau ikut ke Jakarta. Pokoknya kita cari jalan untuk bisa bersatu setelah menikah. Kamu mau?” tanya Eka dengan sungguh. Sepertinya Eka sudah memikirkan jauh ke depan. Aku terharu melihat kesungguhan Eka. Aku mengangguk. Eka terlihat tersenyum lega
“Mas… “
“Ya, sayang.” Aku tersenyum merasa lucu mendengar kata itu. Panggilan yang lebih dari empat tahun tak pernah kudengar.
“Sekarang boleh dong aku memanggilmu sayang.” Kata Eka lagi. Aku mengangguk.
“ Mas.. ini mas Eka mau nginap di mana?”
“Nginap? Kamu mau mengajakku menginap?” tanya Eka dengan mata nakal. Aku memukul lengan Eka pelan.
“Mesum.” Kataku
“Enggak. Kan Mia yang nanya.”
“ Ya kan ini di Semarang. Mas Eka tinggalnya di Jakarta. Makanya aku nanya mas Eka mau nginep di mana?”
“Oo.. kirain Mia ngajak aku nginap.” Senyum nakal Eka masih tersungging di bibirnya. “Tidak sayang, aku langsung pulang. Pesawatku nanti jam lima, aku mbalik ke Jakarta lagi.”
“Langsung pulang?” tanyaku
“Iya, kenapa sayang? Masih pengin bersamaku ya?” goda Eka. Tidak tahan aku untuk tidak mencubit Eka. Kucubit lengan Eka.
“Aduhh…” Eka mengaduh sambil mengusap bekas cubitanku. Aku tersenyum geli melihat Eka meringis. Ternyata Eka sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Dia kesini hanya dengan tujuan menemuiku, menyampaikan maksudnya dan kemudian pulang.
“Mia, ini masih satu jam lagi sebelum boarding pass. Ayok ajak aku jalan-jalan keliling sekitar bandara sini. Tidak sehat berjam-jam duduk saja.” Ajak Eka. Aku mengangguk lalu berdiri, mencangklong silang tas kulitku. Eka juga berdiri mencangklong ranselnya dan menggenggam tanganku mengajakku meninggalkan resto siap saji tersebut. Eka mengajakku keluar dari ruang tunggu dan berjalan menyusuri koridor panjang tempat mobil-mobil penjemput penumpang menunggu. Tangan Eka kokoh memeluk pundakku yang membuat aku merasa nyaman.
“Mas… ini sungguhan kan?’ tanyaku lagi
“Ya iyalah sayang. Masak jauh-jauh aku datang dari Jakarta ke Semarang hanya mau berbohong?”
“Tidak ingin ketemu bapak ibu?”
“Tidak sekarang, Mia. Besok saja sekalian saat aku datang bersama bapak ibuku ke rumah untuk melamarmu”
“Kapan itu?”
“Aku mau secepatnya, tapi aku harus mengurus pengajuan cutiku dulu. Semoga akhir bulan ini. Sekitar dua minggu lagi.”
“Secepat itu?” tanyaku seperti tak percaya
“Sebenarnya andai bisa , aku ingin menikahimu besok.” Aku berhenti dan Eka juga menghentikan langkahnya. Kami berhadapan. Aku mencari kesungguhan di mata Eka. Namun mata oppa ganteng yang ada di hadapanku ini hanya berupa lautan kesungguhan. Eka menarikku kedalam pelukannya dan aku merasakan kesungguhan yang membawaku ke samudera luas yang menghanyutkan dalam pesona. Aroma wangi Bulgari menyeruak dari tubuh Eka yang mengalirkan kehangatan ke seluruh sarafku.
“Mia… aku mencintaimu..” Eka berkata dalam desahan yang lembut. Aku hanya bisa memeluk Eka dengan erat. Bahagia hatiku tak terlukiskan. Aku membiarkan diriku hanyut dalam pesona Eka, calon suamiku.
TAMAT
Mijen, 22 Juli 2021. 01.40 WIB.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerpen keren
terimaksih bu fit atas semangatnya selalu
Luar biasa
bu puspa, terimaksih supportnya selalu. salam sehat