Guru Harus Eksis Tidak Boleh Narsis
“Guru Harus Eksis Tidak Boleh Narsis” ungkapan ini cukup membuat telak semua peserta diklat Sagu Sabu pada IN kedua, Minggu 29 Januari 2017. Ungkapan yang keluar dari bibir PemRed Media Guru, Eko Prasetyo ini benar-benar menjadi cemeti khususnya saya pribadi. Memang benar apa yang disampaikan oleh suhu kami ini, bahwa seorang guru harus eksis jika tidak mau dikatakan ‘mati suri’. Mengapa saya katakan demikian? Sebab guru sebagai agen perubahan harus terus bergerak sepanjang zaman, sehingga dalam pembelajaran mereka akan selalu mengedepankan berbagai kreasi dan inovasi. Nah, inilah indikator bahwa makhluk hidup itu tidak mati yakni dia akan terus bergerak.
Hanya yang menjadi masalah sekarang bagaimanakah aplikasi eksistensi tersebut? Menurut dua begawan di kawah candradimuka Media Guru bahwa seorang guru jika ingin eksis maka harus menulis, menulis, dan menulis. Itulah senjata rahasia yang sakti mandra guna yang diwariskan kepada kami murid-muridnya yang nota bene hampir semuanya adalah guru. Dan untuk bisa menjaga agar senjata itu tetap sakti maka para murid guru ini harus getol mengasahnya dengan membaca sebab jika guru sudah tidak mau mengasah dengan membaca maka senjata yang berupa tulisan ini akan tumpul. Yang lebih ekstrem lagi jika para guru sudah tidak membaca lagi maka guru-guru seperti ini layak diberi predikat “mantan”. Padahal kita semua tahu bahwa kedudukan guru sama terhormatnya dengan ayah dan ibu, yang ketiganya tidak layak diberi predikat “mantan”.
Jika seorang guru sudah menulis, dia akan menggores sebuah sejarah dan dia akan dikenang sepanjang masa. Selain itu guru penulis akan menjadi pegiat literasi sejati dan abadi sebab tulisannya akan tersimpan di relung sanubari semua insan dan yang lebih penting dari itu semua bahwa tulisan kebaikannya akan menjadi ladang pahala di kehidupan akherat kelak serta akan terus mengalir di sungai-sungai “Aden” Allah swt.
Guru penulis sejatinya adalah guru pembelajar artinya guru itu akan menjadi orang yang akan belajar sepanjang hayatnya. Dia akan merasa selalu kekurangan ilmu sehingga hal ini akan membentuk karakter rendah hati dan rendah diri, selalu membuka hati dan membuka diri, dan dengan sendirinya akan senantiasa berbagi, dan ujung dari semua itu kejujuranlah yang akan dikedepankan karena hakikat belajar ilmu atau menuntut ilmu adalah belajar tentang perkataan-perkataan dan maknanya menurut pengertian para ulama tentang ilmu, atau ilmu adalah asma-asma dan obyek-obyek yang ditunjukkan, hal ini menyiratkan bahwa di dalam ilmu mengandung kebenaran dan identik dengan kejujuran.
Jika guru sudah penulis perlukah guru itu narsis? Menurut saya sudah tidak perlu lagi karena makna kata narsis jauh dari sifat atau karakter yang dimiliki guru penulis di atas. Lagi pula narsis bisa merusak amalan seorang guru penulis sebab menurut agama Islam seperti yang tertuang dalam Al Quran jika seseorang dalam beramal ingin dipuji atau ujub dengan diri sendiri maka seluruh amalan akan hilang bagai debu yang ditiup angin alias sia-sia.
Jadi tetaplah eksis dengan menulis dan tidak perlu narsis Bapak-Ibu guru, Anda terindikasi belum mendapat pengakuan atau masih butuh pujian Jika masih masih narsis.

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar