Menjelang pukul dua belas adalah waktu krusial. Anak-anak di kelasku 6D sudah resah ingin pulang. Tapi, sebagai gurunya aku merasa tanggung. Ada tugas rumah yang belum kuberikan. Terpaksa anak-anak mencatat tugas terlebih dahulu.

Tiba-tiba, terdengar protes siswa yang duduk terdepan dan paling dekat dengan mejaku.

“Uh, bau apa nih?” kata Dita sambil menutup hidungnya.

“Kamu kentut yang Dita?” tuduh Minah ke teman sebangkunya itu.

“Tidak, sumpah!” kata Dita sambil mengulurkan tangannya. Anak-anak yang lain turut menutup hidung dan saling berpandangan. Mungkin pula mereka saling curiga.

Seperti kebiasaan, kemudian anak-anak menyanyikan lagu Dang-dang-tut.

“Dang-dang-tut daun ceremai, siapa yang kentut boolnya rame!” Lagu itu berakhir di Dita, karena itu Dita lah yang dituduh kentut.

Meskipun menyangkal, tapi anak-anak tidak menggubris dan menuduh Dita biang menyebarnya bau kentut di ruang kelas.

“Eh, jangan menuduh sembarangan. Itu namanya fitnah. Daripada ribut, lebih baik, coba sekarang tarik nafas!” Anehnya anak-anak menurut saja apa yang aku sampaikan.

Bel pulang berbunyi. Setelah bersalaman, anak-anak berhamburan keluar kelas. Tapi, Dita masih menangis saat meninggalkan ruangan.

Tiba-tiba perutku tak bisa diajak kompromi. Mules tak tertahankan. “Wah, ini gak bisa ditunda lagi” kataku sambil melangkah keluar kelas setengah berlari.