Senja dengan pesonanya. Burit tak lagi mengait. Sambekala mencengkram jiwa. Waswas lebih awas dari kedua matakau. Selalu setelah bayangan maghrib sudah berada di penghujung waktu biru.

Banyak lagi yang menikamkau, dari keputusan yang tidak tangguh, pengaruh orang lain; keras kepala! Seolah kau budak hina! Kendali habis dikoyak, dengan alasan yang dibuat seolah logis. Persetan empati simpati.

Angin berhembus, membawa udara hampa? Tidak begitu. Ketika malam tiba udara di gunung lebih cepat mendingin. Namun, tidak dengan keresahan, ia beralih bentuk, mencari tempat terrapuh di hatikau, sehingga sembilu kembali menguar.

Tak ada teman, berpura-pura senang. Merangkak di kegelapan cahaya, di sejuknya senyuman tipuan, untaian palsu penuh racun. Ke mana harus dilabuhkan? Apa adanya saja tidak cukup. Selalu jadi persetanan, selalu salah dan disalahkan.

Angin darat bertiup dari laut, daratan menjadi lebih cepat dingin, sedangkan di lautan? Masihkah kausesalkan, kesalahan langkah dengan ombak keresahan? Berkali-kali sembuh, berjuta kali lebih banyak lagi kautenggelamkan jiwa itu di dasar lautan resah yang mengerikan.

Menguras daya, menepikan tujuan, menyiksa. Khawatir; masa depan, sebab melihat, mengukur yang sudah dimiliki dengan kepemilikan orang lain, lesu yang—tak dibiarkan menepi, disiksa dengan mengayun kaki tangan di atas lautan gelap kekhawatiran.

Angin fohn, angin jatuh. Yang lebih kausuka dan tak perlu banyak teori, dirikau wujud murni dari angin berbahaya itu. Merenggut dengan tensi panas, kering. Membuat mati tanaman yang dilalui, manusia pun sakit ketika berbenturan dengannya.

.

Cls, RTD, Jum310524, 17.15, halub©