Gurusiana New's (5)
Salah Kaprah Memaknai Guru Ja dul
Oleh : Slamet Yuliono *)
-------------
SUNGGUH menyakitkan kalau orang yang sekarang menduduki posisi terhormat seperti telah Menteri, anggota DPR, Gubernur, Bupati, Camat, dan pengusaha sukses berucap: "... jadilah guru profesional dan berpikir kekinian jangan menjadi guru ja dul ...". Ini penyataan normatif dan dianggap wajar, seolah tidak ada yang salah dalam pilihan kata. Namun menjadi masalah besar kalau sudah dikaitkan dengan konsep ajar yang melarbelakangi ungkapan itu.
Ungkapan orang yang tidak bertanggung jawab seperti ini, sebenarnya menyakitkan dan perlu dipertanyakan kualitas keilmuannya. Ada beberapa alasan pembenar kenapa mereka-mereka yang 'sok' sukses dan telah menjadi sosok terpandang saat ini berucap seperti ini. Pertama, saat bersekolah dulu kecewa dengan perlakuan yang diberikan kepada dirinya. Kedua, merasa ditelantarkan karena 'beranggapan' saat bersekolah tidak diperhatikan, yang diurusi hanya mereka yang cantik dan tampan, anak orang terpandang, atau disegani karena hartanya. Ketiga, merasa disepelekan karena saat sekolah dianggap anak bodoh. Dan masih banyak alasan lain yang melatarbelakangi kekecewaan tersebut, dan saat ini dia punya 'power' dengan segala kekecewaan atas perilaku kurang menyenangkan dijadikan alasan pembenar.
Jauhkan kata ja dul pada guru. Karena orang yang sudah menyandang predikat bernama Guru adalah kunci utama keberhasilan proses belajar mengajar di sekolah. Siapapun Anda termasuk Presiden, semua pernah merasakan mendapat perhatian dan sekaligus kasih sayang dari guru. Sukses dan gagal itu urusan pribadi. Jangan 'biasa' menyalahkan guru, pasalnya ketika proses pembelajaran berlangsung guru dapat melakukan apa saja di kelas.
Ia bisa tampil sebagai figur yang menarik sehingga mampu menebarkan virus atau motivasi berprestasi. Atau sebaliknya, dengan otoritasnya di kelas yang begitu besar itu, seorang guru juga tidak menutup kemungkinan tampil sebagai sosok yang membosankan, instruktif, dan tidak mampu menjadi idola bagi anak didik di kelas mereka tetap guru.
Bahkan, dia juga bisa membuat pembelajaran yang mematikan kreativitas, menumpulkan daya nalar, mengabaikan aspek afektif, seperti halnya yang dimaksud oleh Paulo Freire dalam pembelajaran model banking concept of education atau learning to have-nya Erick Fromm.
Meskipun tidak menutup kemungkinan, sosok guru ideal itu harus tetap disampaikan oleh siapa saja. tetapi tidak sekali-kali berucap guru ja dul. Kalau ini terlontar dari orang yang kecewa dan asal ngomong. Percayalah Anda akan KUALAT. Wallahu a’lam bish-shawabi
--------------------------------
Turen - Malang, 6 Agustus 2018
*) Si Pembelajar, kini Mengajar di SMP Negeri 1 Turen - Malang
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar