CINTA UNTUK HAFIZAH (1)
#Cerbung
Tantangan Menulis Hari Ke-25
#TantanganGurusiana
Bagian 1. Mahasiswa PPL Itu
Hidung Hafizah terasa dingin. Ia memijat pelipis kirinya yang terasa nyeri. Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul dua dini hari. Biasanya, ia tak pernah tidur selarut ini. Tangannya sudah berhenti melipati baju terakhir di dalam lemari sejak lima menit yang lalu. Ia memandangi lekat-lekat wajah orang yang paling ia kasihi yang kini pulas tertidur di ranjangnya. Besok, keputusan besar dalam hidupnya akan dimulai. Hafizah meregangkan tangannya ke atas, kemudian merabahkan tubuh di samping ibunda tercinta yang mala mini memutuskan tidur bersamanya, sebelum besok ia pergi.
Sebelum sempurna terpejam, mata Hafizah memindai satu-satu barang yang ada di kamarnya. Lemari kayu dua pintu, gorden polos berwarna toska, cermin kecil dan meja serba guna di bawahnya, di mana ia biasa meletakkan hampir segalanya di atasnya: bedak bayi, sisir, tas, buku-buku, bros jilbab, bahkan handuk kalau ia sedang buru-buru dan tak sempat menjemurnya di belakang. Semuanya ia rekam baik-baik dalam ingatannya, sebab pasti ia bakal merindukan tiap sudut dan peristiwa yang terjadi di rumah ini, rumah di mana ia lahir dan dibesarkan orangtuanya.
***
Dua tahun yang lalu.
“Iyuuung …!”
“Iya, Ummi … Iyung lupa! Udah nggak sempat!”
Tin! Tin!
Bunyi klakson becak motor (betor) Abah sudah memekik. Hafizah –yang dipanggil “Iyung”, sebutan untuk anak perempuan sulung di keluarga etnis Melayu- dan Hasbi, adik laki-lakinya yang duduk di kelas 7 SMP, bergegas naik ke bettor sang Abah yang sudah tak sabar menunggu.
Ummi geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak gadisnya dan bergegas menyambar handuk basah di atas meja, dan menjemurnya ke jemuran di halaman belakang.
Hafizah duduk dengan gelisah, berulang kali ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas. Hasbi baru turun di depan sekolahnya, SMP Negeri 8, lalu mencium tangan Abah dan mengucapkan salam.
“Bah, ngebut, Bah,” ujar Hafizah tak sabaran sebaik Hasbi sudah memasuki gerbang sekolahnya.
“Ngebut, ngebut. Salahmu sendiri, makanya lain kali bangun lebih pagi,” jawab Abah yang menjalankan betornya dengan kecepatan sedang, tak peduli dengan anaknya yang cemas takut dihukum guru piket karena terlambat datang.
Hafizah tak sempat memperhatikan sudah pukul berapa saat dia tiba. Tidak ada guru piket yang biasanya berjaga di depan gerbang, menerima salam dari siswa-siswa yang datang, dan menghukum siapa saja yang terlambat.
‘Tumben,’ batin Hafizah dalam hati.
Ternyata semua orang sedang berkumpul di lapangan sekolahnya, SMK Negeri 1. Hafizah urung ke kelas dan menaruh tas ranselnya. Ia ikut masuk ke barisan di mana teman-teman sekelasnya sudah berdiri sejak tadi.
Di depan barisan para siswa, terdapat sekitar dua puluh orang, lelaki dan wanita, dengan seragam berwarna putih dan hitam.
“Ada apa?” tanya Hafizah menoel bahu Vera, salah satu teman sekelasnya.
“Mahasiswa PPL dari Unimed,” jawab Vera.
“Oh,” sahut Hafizah pendek.
Tahun lalu, saat masih duduk di kelas 10, sekolahnya sudah pernah menerima mahasiswa PPL. Dan ini tahun kedua bagi Hafizah menerima kunjungan mahasiswa-mahsiswa yang akan mempraktekkan ilmunya dari Universitas Negeri Medan itu.
Semua mahasiswa memperkenalkan diri satu-satu. Siswa yang kebanyakan perempuan itu menjerit kegirangan seperti fans yang sedang berjumpa artis idolanya, saat dua orang mahasiswa Pendidikan Jasmani bernama Irham dan Boby bergantian memperkenalkan diri. Memang, di antara kedua puluh orang yang ada di depan lapangan saat itu, keduanya termasuk yang cukup tampan. Namun bagi Hafizah, kedua laki-laki berbadan atletis itu bukan yang menarik perhatiannya. Melainkan seseorang yang akan memperkenalkan diri sebentar lagi.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalaaam ….” Kali ini giliran siswa yang putra bersuit-suit gembira.
“Perkenalkan, nama saya Nur Aini. Salam kenal.”
Tepuk tangan riuh bergemuruh. Mahasiswa yang bernama Aini itu putih dan cantik. Namun yang menarik perhatian Hafizah adalah jilbab kakak itu yang terulur panjang hingga ke dada. Tahun lalu, tidak ada mahasiswa PPL di SMK Negeri 1 yang berpenampilan serupa kakak itu. Kalau tidak berjilbab, yang lainnya berjilbab kecil seperti dirinya yang kadang dilitkan ke leher dan menampakkan bagian dada.
Usai perkenalan, semua siswa diminta bersalam-salaman dengan para mahasiswa itu yang sebentar lagi akan menggantikan sebagian tugas guru-guru mereka selama tiga bulan ke depan.
Beberapa anak perempuan berseru dengan noraknya seusai bersalaman dengan Irham dan Boby.
“Duh, ganteng banget, sih? Siapa ya, yang kali ini beruntung jadi pacar Bang Irham dan Bang Boby?” kata Vera berbisik di dekat Hafizah.
“Ih, kalo aku sih, ogah.”
Sudah bukan rahasia lagi kalau para mahasiswa PPL yang laki-laki, terutama jurusan Penjas, sering mencari ‘mangsa’ alias pacar anak sekolah saat masa praktek mengajarnya. Dan Hafizah benci praktik semacam itu.
Dari kejauhan, Hafizah melihat bagaimana Kak Aini menangkupkan kedua tangannya ke dada saat siswa laki-laki mengulurkan tangannya hendak bersalaman.
‘Mengapa mesti begitu?’ batin Hafizah penasaran.
Usai acara perkenalan, siswa-siswa diperintahkan masuk ke kelas. Hafizah dan Vera berjalan beriringan ke kelas mereka, XI Akuntasi 2.
Hafizah sedang memasukkan tasnya ke dalam laci dan mengeluarkan buku akuntansi perpajakannya saat Bu Manurung, wali kelasnya masuk dan membawa seseorang.
“Selamat pagi, anak-anak!” sapa Bu Manurung yang membuat semua siswa di kelas Hafizah menghentikan aktivitasnya. Tak ada yang berani berisik atau menyela, sebab siapa pun tahu kalau Bu Manurung marah, bisa berabe konsekuensinya.
“Pagi, Bu …!”
“Ini Bu Aini, sudah kenal ‘kan, tadi waktu di lapangan?”
“Sudah, Bu …!”
“Belum, Bu …!” kata sebagian anak laki-lakinya yang jumlahnya cuma enam orang di kelas itu.
“Huuu …!” ejek beberapa anak perempuannya.
“Sudah DIAM! DENGAR!” anak lelaki yang kini bertingkah tak berkutik ketika Bu Manurung sudah menggeram dengan suara bak beruang grizzlynya.
“Mulai hari ini, Bu Aini akan menjadi wali kelas bayangan dan guru akuntansi perpajakan, menggantikan saya, selama tiga bulan ke depan.”
“Horeee …!” Sebagian besar bertepuk tangan membuat keriuhan yang membuat Bu Manurung marah dan menjewer Hendra, yang dianggapnya sebagai biang keroknya. Semua siswa sontak terdiam lagi, tapi tak lama. Sebaik wali kelas mereka meninggalkan ruangan dan Bu Aini, mereka mulai berisik kegirangan.
“Sudah, ya. Sudah. Sebelum belajar, kita perkenalan sekali lagi, ya? Setuju?”
“Setuju, Bu …!” Bu Aini menyuruh semua siswa memperkenalkan diri satu per satu. Banyak hal yang tak penting turut disebut anak-anak itu, misalnya jumlah mantan pacar, jenis peliharaan di rumah, hingga makanan dan jajanan kesukaan di kantin sekolah. Bu Aini hanya bisa meringis melihat kelakuan calon siswa-siswanya itu. Setelah perkenalan usai, Bu Aini memperkenankan anak-anak itu menanyakan sesuatu yang ingin mereka ketahui tentangnya.
Hafizah merasa kasihan melihat mahasiswa calon guru itu. Ia curiga, sebagian besar teman-temannya sengaja melontarkan bermacam pertanyaan receh dan aneh kepada Bu Aini, selain diniatkan untuk menggoda, lebih ditujukan agar mata pelajaran akuntansi perpajakan yang termasuk sulit ini dapat diulur sampai habis satu les pelajaran.
“Sudah, ya, nanyanya. Buka buku kalian,” tutup Bu Aini.
“Bu, satu lagi, Bu!” Hendra mengacungkan tangan.
“Ya, Hendra, silakan.” Bu Aini langsung mengenali Hendra, mungkin karena dia yang ditegur Bu Manurung tadi dan yang paling banyak melontarkan banyolan.
“Ibu udah punya pacar?”
Gerrr ….
Seisi kelas tertawa riuh dibumbui dengan siul-siulan anak lelakinya yang bagi Hafizah terdengar begitu menyebalkan.
‘Kenapa dalam otak mereka isinya pacaran melulu?’ batinnya kesal.
“Nggak,” jawab Bu Aini singkat.
“Ah, mana mungkin. Ibu kan cantik, pasti banyak yang suka ibu.”
Dalam hati Hafizah pun bertanya-tanya. Wajah Aini yang seperti perpaduan Cina dan Arab itu, pasti banyak yang ingin menjadikannya kekasih.
“Pacaran itu haram,” kata Aini yang menimbulkan bunyi “huuu” dari sebagian siswa yang rata-rata sudah punya gandengan. Gadis itu tersenyum menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi.
“Sampai di mana pelajaran kalian? Oya, Hendra, tolong pimpin teman-temannya berdoa,” lanjutnya lagi, tak peduli suara berisik di belakang yang protes mengapa melanjutkan pelajaran.
“Aneh. Ngapain sekolah kalau nggak mau belajar,” desis Hafizah yang kedengaran oleh Vera, teman sebangkunya.
“Yang lebih aneh kata-kata Bu Aini tadi. Masa, pacaran haram? Baru dengar ini aku,” kata Vera yang memang mempunyai pacar, anak kelas XI DKV 1. Hafizah hanya mengangkat bahu.
“Mana aku tahu,” katanya tak peduli dan langsung menyimak penjelasan Bu Aini tentang jenis-jenis pajak dengan rasa ingin tahu.
***
(Bersambung)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Pilihan katanya keren, Bu. Saya suka deskripsi situasinya, tergambar secara detail. Barakallah, Bu. Salam kenal ya.
Terima kasih, Bu. Salam kenal juga.
Keren menewen
Tengkyu manengkyu :))