Janji
Matahari sudah berada di ufuk barat, namun terik panas masih menyengat. Weekend ini aku ingin bersantai di rumah setelah lima hari berkutat dengan pekerjaan yang membuatku penat. Aku berbaring di depan kipas angin sambIl menonton sinetron di TV, sesekali membalas pesan Whatsapp yang masuk di handphoneku.
“Runi !! Kesini cepat, Nduk!” Panggil Ayah dari halaman belakang rumah.
Namaku Arunika Putri, namun orang-orang memanggilku Runi. Ayah dan Ibuku juga sering memanggilku ‘Nduk’ (bahasa Jawa) yang berarti ‘Nak’.
“Kenapa, Yah ?” sahutku dari dalam rumah sedikit berteriak.
“Sini, Nduk, bantu Ayah membersihkan rumput! Sekalian bawakan arit kesini” sambungnya.
“Kok aku sih, Yah? Aku kan perempuan !” ujarku sambil menghampiri Ayah dengan wajah merengut. “Besok saja tunggu Mas Putra pulang.”, sambungku.
Mangata Putra, biasa kupanggil Mas Putra, adalah kakakku sekaligus anak laki-laki kesayangan Ayah. Menurutku, Ayah lebih sering menghabiskan waktu dengannya dari pada denganku. Namun sudah hampir satu tahun ini Mas Putra bekerja di salah satu perusahaan bonafit di luar kota, jadi hanya seminggu sekali ia pulang.
“Memangnya kenapa kalau perempuan?” ucap Ayah sambil menoleh dan tersenyum ke arahku.
Kupandangi peluh yang setengah menetes di dahinya. Wajahnya bersinar terkena pantulan sinar matahari sore itu. Ia mendekat dan memegang bahuku, lalu berkata, “Nduk… anak perempuan itu harus kuat, harus mandiri. Memangnya kenapa kalau perempuan mengerjakan pekerjaan laki-laki? Justru bagus kan, ndak akan ada laki-laki yang meremehkan kamu nantinya.”
“Nduk, tidak semua laki-laki itu bisa kamu andalkan, jadi jangan selalu bergantung kepada laki-laki. Saat ini Ayah atau Masmu bisa mengerjakan semuanya untuk kamu. Tapi Ayah dan Masmu juga tidak bisa selamanya ada bersama kamu. Suatu saat nanti akan ada saat dimana kamu harus mengerjakan segalanya sendiri.” Sambungnya sambil menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut.
“Iih.. Ayah kok jadi ceramah sih? Iya iya..ini aku bantuin bersihin rumputnya.” Ucapku sambil tertawa kecil mencairkan suasana. Aku tidak suka suasana yang terlalu serius saat bersama Ayah. Mungkin aku terlihat seperti menghiraukan kata-katanya, tetapi semua nasihatnya diam-diam masuk kedalam pikiranku dan meresap di hatiku.
Aku mengumpulkan rumput-rumput yang telah dicabut Ayah. Sesekali kupandangi tubuhnya. Rambutnya masih cukup hitam di usianya yang sudah lebih dari setengah abad. Tangan kasar dan kekar menampakkan urat-urat yang menonjol ke permukaan kulitnya, bukti perjuangan dan kerja kerasnya sejak ia kecil. Tubuhnya yang masih gagah dan bugar pertanda kerap berolahraga. Banyak yang bilang Ayahku tampan dan tampak awet muda di usianya kini yang sudah lebih dari setengah abad.
“Nduk !” panggilan Ayah membuyarkan lamunanku. “Kok ngelamun? Bawa rumput-rumput ini ke tempat sampah ya, nanti kita bakar” ujarnya.
“Eh iya Yah, gak ngelamun kok. Nanti aku saja yang bakar, Ayah masuk saja ke rumah.” Jawabku tersadar dari lamunan.
“Memang kamu bisa sendiri?” candanya mengejekku.
“Bisa kok, cuma bakar sampah sih kecil?” Jawabku sombong sambil menjentikkan jari.
“Hahaha, yasudah hati-hati. Jangan ditinggal sampai apinya habis ya.” Tawa Ayah sambil berjalan masuk ke rumah.
******
Cuaca malam ini cukup panas. Aku duduk di teras belakang untuk mencari angin sambil scroll Instagram di HPku. Sesekali kusedot es teh manis yang ada di meja di depanku. Tiba-tiba Ayah datang dan duduk di kursi sebelahku. Aku memandanginya dengan aneh, mengapa ia pakai jaket panas-panas begini.
“Yah… gak gerah pake jaket? Ini kan puuanas.” Tanyaku.
“Enggak, dingin kok.” Jawabnya.
Aneh, aku saja dari tadi kegerahan sampai kipas-kipas dan sampai bikin es teh manis malam-malam begini, batinku. Baru saja aku ingin bertanya lagi, Ayah sudah melanjutkan bicaranya.
“Gimana kerjaan kamu di kantor pajak itu, Nduk? Kamu senang kerja disana?”
“Senang kok, Yah, kerjaannya gak terlalu sulit, bosku baik, teman – teman disana juga asik.” Jawabku.
Sudah enam bulan aku bekerja di kantor pajak. Sebenarnya Ayahku ingin aku menjadi guru, tetapi aku yang pemalu dan gak pintar ngomong ini merasa kurang percaya diri, jadi aku lebih memilih pekerjaan yang tidak mengharuskan aku untuk banyak bicara.
“Nduk, kamu sudah punya pacar?” tanyanya lagi.
Aku yang sedang menyedot es teh tersedak mendengar pertanyaan Ayah.
“Uhuk.. Uhuk… Ayah apa sih kok tiba-tiba nanya gitu? Aku belum punya pacar kok.” Sahutku malu sambil mengelap es teh yang sedikit menetes di kursi.
“Hahaha, kamu ini kenapa Nduk, baru ditanya seperti itu sudah salah tingkah?” Tawanya meledek. “Kamu ini kan sudah cukup umur untuk punya pasangan, jadi wajar kalau Ayah bertanya. Itu kan juga tanggung jawab Ayah untuk mencarikanmu pasangan.” Sambungnya.
Belum sempat aku menanggapi perkataannya, ia melanjutkan lagi. “Jadi bagaimana kriteria pasanganmu, Nduk?”
Aku jarang sekali dekat dengan laki-laki. Bahkan sampai saat ini belum juga terpikir olehku seperti apa lelaki idamanku. Kasih sayang yang Ayah berikan kepadaku selama ini membuatku merasa cukup, cukup untuk tidak mecari perhatian atau kasih sayang dari lelaki lain.
“Hmmm…..yang seperti Ayah ada? Kalau ada carikan saja yang seperti Ayah” Jawabku dengan senyum.
“Kamu ini… mana ada yang seperti Ayah? Ayah ini kan limited edition. Haha” Ujarnya sambil tertawa. “Tapi nanti pasti Ayah carikan yang terbaik untuk kamu.” Sambungnya dengan senyum.
******
Sudah beberapa hari ini kulihat Ayah jarang keluar kamar. Biasanya Ayah tidak pernah absen olahraga setiap pagi atau sekedar duduk di teras belakang sambil minum teh. Aku juga tidak melihatnya makan di dapur, hanya sesekali melihatnya berjalan ke kamar mandi.
“Bu, Ayah tumben di kamar terus?” Tanyaku pada Ibu.
“ Ayahmu sedang kurang sehat sudah lima hari ini, Nduk. Kepalanya sakit sekali katanya. Sudah minum obat warung tapi masih blm juga sembuh” jawab Ibu
Kenapa aku bisa tidak tahu kalau Ayah sakit? Batinku.
“Diperiksakan saja ke dokter bu kalau begitu.”usulku.
“Kemarin sudah ibu bilang begitu, tapi Ayahmu ndak mau. Nanti ibu bilang lagi.”
Akhirnya Ayah bersedia diantarkan ke dokter, itupun dengan bujukan Ibu berkali-kali. Dokter mendiagnosa Ayah tekena Thypus dan harus dirawat inap. Namun karena kondisi pandemi, kami tidak diizinkan untuk menemani Ayah. Sementara itu, akan ada perawat laki-laki yang akan melayani Ayah selama di rumah sakit dan akan mengabarkan kondisi Ayah melalui telepon.
Hari berganti minggu. Sudah satu minggu Ayah berada di rumah sakit, namun kondisi Ayah masih belum membaik. Perawat rumah sakit itu beberapa kali menelponku untuk memberitahu kabar Ayah. Perawat itu bilang Thypus Ayah sudah membaik, tetapi ada yang tidak beres dengan paru-parunya. Ayah sering mengeluh sesak napas sampai harus menggunakan alat bantu pernapasan. Hampir setiap hari kami menelpon atau video call Ayah untuk menanyakan kabar dan menyemangatinya. Saat menelpon, kudengar perawat itu juga begitu telaten merawat dan menghibur Ayah sehingga membuat perasaanku sedikit tenang.
Dua minggu berlalu, namun kondisi Ayah bukannya membaik. Perawat bilang paru-parunya sudah dipenuhi cairan. Bahkan kini ia sudah tidak mampu menggunakan HPnya sendiri. Kegelisahan mulai muncul dari hati dan pikiranku. Aku mencoba mengisi pikiranku dengan pikiran-pikiran positif tentang Ayah, namun kegelisahan itu selalu datang. Sejak saat itu, setiap kali ada panggilan masuk di HPku dari perawat rumah sakit, jantungku berdetak kencang, menduga- duga ada kabar apa tentang Ayahku. Apakah kali ini kabar baik atau kabar buruk ? Pikiranku tidak bisa fokus, aku sangat khawatir membayangkan hal yang paling buruk. Aku ingin sekali menemui Ayah, tetapi peraturan rumah sakit membuat kami sulit untuk bertemu.
Hari ini tepat tiga minggu Ayah berbaring di rumah sakit. Tak terasa sudah selama itu kami tidak bertemu Ayah. Sore itu sekitar pukul 4, sebuah panggilan video masuk dari nomor perawat rumah sakit. Ah, ini pasti Ayah yg ingin bicara. Benar saja, perawat itu bilang Ayah sangat rindu anak-anak dan istrinya. Ia langsung mengarahkan kamera HP nya ke wajah Ayah agar ia bisa melihatku. Langsung kupanggil Ibu dan Mas Putra agar bisa melihat Ayah juga. Melihat kondisi Ayah sekarang, hampir saja air mataku menetes. Tubuh yang tadinya tegap dan gagah, kini menjadi kurus dan pucat. Kata-kata yang keluar dari mulutnya pun sudah tidak begitu jelas.
“Bu, Nduk, Le (panggilan Nak untuk anak laki-laki)… Ayah kangen, mau pulang.” Ucapnya terbata-bata.
“Kami juga kangen Ayah. Ayah cepat sehat ya, nanti kita kumpul sama-sama lagi di rumah.” Mas Putra menyemangati.
“Ayah mau pulang sekarang saja, nanti kalian kesini ya jemput Ayah.” Rengeknya seperti anak kecil.
Aku, Mas Putra, dan Ibu saling berpandangan. Kami ingin sekali kesana.
“Iya, nanti ba’da maghrib aku, Ibu, dan Mas Putra kesana ya Yah. Tapi Ayah makan yang banyak ya, biar nanti saat kami kesana Ayah lebih sehat dan boleh pulang.” Jawabku.
Setelah kami mengakhiri panggilan video dengan Ayah, Mas Putra berbicara dengan perawat itu, meminta izin agar kami bisa bertemu Ayah sekali saja malam ini. Kami tahu Ayah tidak mungkin bisa pulang, tapi setidaknya kami bisa bertemu untuk sekedar melepas rindu. Akhirnya dengan berbagai negosiasi dari Mas Putra, kami mendapat izin untuk datang menemui Ayah.
Adzan maghrib berkumandang. Aku bergegas mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat. Rasanya aku sudah tidak sabar untuk ke Rumah Sakit menemui ayah setelah shalat. Aku sudah sangat rindu kepadanya. Tepat setelah kuucapkan salam shalat maghrib, belum sempat kupanjatkan do’a apapun, HPku kembali berdering. “Siapa yang menelpon di waktu maghrib begini? Apa dia tidak tahu ini waktunya orang untuk sholat?” batinku. Kutengok layar HPku, ternyata perawat rumah sakit itu yang menelpon.
“Assalamualaikum”. Kuucapkan salam kepadanya.
“Walaikumussalam.” Jawabnya. Ada yang berbeda dari nada suara perawat itu. Suaranya tidak semangat seperti biasanya saat kudengar ia menyemangati Ayahku setiap hari. Ia berbicara perlahan dan sedikit terbata-bata seperti kebingungan merangkai kalimat yang ingin disampaikannya kepadaku.
Seketika tubuhku bagai tersambar petir, aku mendengar kabar yang tidak pernah sedikitpun aku bayangkan. Kabar yang dalam sekejap menghancurkan seluruh harapanku, seluruh keoptimisan yang aku ciptakan di pikiranku beberapa minggu ini. Dadaku terasa sesak, jantungku terasa berhenti berdetak mendengar kabar itu. Samar-samar masih kudengar perawat itu berbicara, namun otakku sudah tidak bisa mencerna kata-katanya lagi. Tubuhku lemas, suaraku tercekat. Seketika air mata mengalir di pipiku. Semakin lama semakin deras, dan pecahlah tangisanku.
“Aku terlambat.” batinku. Aku berjanji akan menemuinya hari ini selepas shalat maghrib, tetapi ia pergi sebelum aku datang. “Kenapa Ayah tidak mau menungguku sebentar saja? Aku hanya melaksanakan shalat maghrib dan akan langsung mengunjunginya. Bukankah Ayah yang selalu mengingatkan aku untuk selalu mengutamakan shalat?” Aku terisak, seluruh tubuhku bergetar.
Mendengar tangisku, Ibuku dan Mas Putra yang sedang mengaji di ruang tamu bergegas masuk ke kamarku.
“Kenapa, Nduk ?” tanya Ibuku.
Aku mencoba berdiri dengan lututku yang masih bergetar. Kupeluk ibuku sambil menangis, “Ayah Bu…”. Jawabku
Mas Putra tampaknya sudah mengerti apa yang terjadi. Ia langsung memelukku dan Ibuku. Tak ada yang sanggup menahan air mata yang tumpah, kami bertiga berpelukan saling menguatkan.
Malam itu tepat pergantian tahun. Langit cerah dan dipenuhi bintang. Suara terompet dan kembang api saling bersahutan di luar rumah. Disaat semua orang berteriak dan tertawa bahagia merayakan pergantian tahun bersama, saat itu di dalam rumah yang kudengar hanya isak tangis yang meraung bersahutan melepas kepergian Ayah.
Pagi ini, matahari sedikit mengintip dibalik awan kelabu. Ambulans mengaum memekikkan telinga. Aku dan Ibuku berdiri limbung di pintu pemakaman, mengantarkan kekasih hati kami ke tempat peristirahatan terakhirnya. Mas Putra bersama beberapa orang lainnya turun ke liang lahat, bersiap memasukkan jenazah. Beberapa saat kemudian, liang lahat sudah tertimbun rapat. Nisan bertuliskan sebuah nama menancap diujungnya. Aku bersimpuh di depan pusara, menatap tidak percaya. Air mata yang sejak tadi kutahan, akhirnya jatuh juga. Bagaimana bisa setelah tiga minggu tidak saling bertemu, lalu Ayah pergi untuk selamanya tanpa pamit dan tanpa pesan apapun?
Angin membelai jilbab panjangku. Seketika ingatanku terbang jauh ke masa lalu. Malam itu aku demam tinggi. Rumah kami cukup jauh dari fasilitas kesehatan. Kami juga belum memiliki kendaraan. Ayah tergopoh-gopoh menggendongku berkilo-kilo meter menuju klinik terdekat. Masih teringat jelas wajah paniknya saat itu. Sambil menggendongku di bahunya, tangannya terus menggenggam erat tanganku.
Ayah tidak pernah memanjakanku. Sejak kecil aku diajarkan arti dari usaha dan perjuangan. Ingatanku melompat ke masa aku duduk di Sekolah Dasar.
“Bu, aku mau jalan-jalan ke Dufan. Teman-temanku sudah pernah kesana semua loh bu.” pintaku ke Ibu.
“Coba bilang sama Ayahmu.” Jawab Ibu.
“Yah.. nanti libur kenaikan kelas kita jalan-jalan ke Dufan ya?” rengekku kepada Ayah.
“Boleh, asalkan kamu mendapat peringkat 3 besar di kelas.” Ucapnya.
“Beneran? Janji ya, Yah ! Tapi kalo gak peringkat 3 besar gimana?” tanyaku lagi.
“Iya janji. Kalau ndak dapat peringkat 3 besar ya ndak jadi ke Dufan, sampai kamu berhasil dapat 3 besar.” Jawabnya sambil tertawa kecil.
Sebetulnya, aku pernah cemburu melihat Ayah lebih dekat dengan Mas Putra dibandingkan aku. Aku mengadu kepada ibu, “Ayah kok pilih kasih sih bu, Ayah lebih sayang sama Mas Putra.”
“Siapa yang bilang? Nduk, Ayahmu itu juga sangat sayang kepadamu, hanya saja Ayah ndak pernah menunjukkan kepadamu.” Ucapnya
“Kamu tau Nduk, dulu waktu kamu mau kuliah di Semarang, Ibu dan Ayah mengantarmu ke stasiun, kamu ingat?” lanjut ibu.
“Ingat bu, terus? Jawabku masih bingung.
“Waktu itu ibu memeluk dan menciummu, tapi Ayahmu hanya memandang saja. Apa kamu tahu, setelah keretamu pergi, Ia bilang juga ingin memelukmu, tapi ia takut air matanya menetes di depanmu. Sebagai laki-laki, ia ndak mau terlihat cengeng didepanmu.” kata Ibu.
“Ibu sering menelponmu saat kamu di Semarang, sebetulnya Ayahmu yang selalu mengingatkan Ibu. Kenapa bukan Ayah sendiri yang menelponmu? Ia takut kalau mendengar suaramu malah menambah kerinduannya kepadamu” Lanjutnya.
“Dik, ayo kita pulang. Sudah mulai gerimis”. Mas Putra menyadarkanku dari lamunan. “Iya Mas.” Jawabku. Dengan berat kami melangkah meninggalkan makam Ayah. Aku menengok ke arah Mas Putra. Terlihat sekali kesedihan di wajahnya. Aku tau ia sedang berusaha untuk tidak mengeluarkan air matanya. Ia hanya ingin terlihat tegar dihadapan aku dan Ibu.
Sudah satu minggu sejak kepergian Ayah, namun hatiku masih terasa sakit saat mengingatnya.
“Tok..tok.. Assalamualaikum” seseorang mengetuk pintu dari luar. Kudengar Ibu sudah mempersilahkan orang itu masuk dan mengobrol dengannya. Pikirku mungkin salah satu kerabat kami yang berkunjung untuk berbela sungkawa. Tiba-tiba ibu memanggil, “Nduk, bisa ke ruang tamu? Ada yang mau bertemu.” Ajaknya.
Aku berjalan di belakang Ibu sambil menebak-nebak siapa tamu yang datang ini, kenapa ia mau bertemu denganku? Seorang pria muda duduk di sofa dan menatapku. Aku tidak tahu siapa dia dan belum pernah bertemu sebelumnya.
“Ini Mbak Arunika ya?” Tanyanya kepadaku dan Ibu.
Suara pria ini tidak asing di telingaku. “Iya, Mas ini siapa ya , dan ada perlu apa ?” tanyaku bingung.
“Saya Adi Wasana, perawat yang merawat Pak Abdullah (ayahku) saat beliau sakit.” Ia memperkenalkan diri kepadaku.
Oh pantas saja aku seperti mengenal suaranya. Aku belum pernah melihat wajahnya karena selama di rumah sakit ia selalu mengenakan APD.
“Selama di rumah sakit kami banyak mengobrol, Pak Abdullah sering bercerita tentang keluarganya, terutama tentang putrinya, Arunika. Sebelum berpulang, Almarhum menitipkan surat ini untuk Istri dan anak-anaknya.”ujarnya.
Iya memberikan kami tiga buah surat, satu untuk Ibu, satu untuk Mas Putra, dan satu untukku. Aku tidak tahu apa isi surat untuk Ibu dan MaS Putra. Aku hanya membuka surat yang ditujukan untukku.
Untuk anak perempuan Ayah, Arunika Putri
Nduk… Saat surat ini sampai padamu, itu artinya Ayah sudah tidak bisa menemani hari-harimu lagi. Ayah bangga, putri Ayah kini telah menjadi anak perempuan yang kuat dan mandiri. Apa kamu tahu, Nduk.. Ayah sangat menyayangimu. Maaf Ayah tidak pernah mengatakannya kepadamu.
Nduk… Ayah pernah berjanji padamu untuk mencarikan seseorang untuk menemani hidupmu. Ayah senang, sebelum Ayah pergi Ayah telah menemukannya untukmu. Allah SWT telah mengaturnya begitu indah.
Namanya Adi Wasana. Ia yang selalu menemani dan mendengarkan cerita Ayah disaat Ayah kesepian. Kami banyak bercerita. Ayah tidak menyangka, ternyata ia adalah putra kawan baik Ayah yang lama sekali tidak berjumpa. Dia anak yang baik. Ayah yakin ia mampu menjaga dan menemanimu hidupmu. Ayah titipkan kamu kepadanya, Nduk. Menikahlah dengan dia.
Membaca surat itu, dadaku sesak. Betapa besar cinta Ayah kepadaku. Ayah bukanlah pria kaya raya bak raja, tetapi ia memiliki cinta yang sangat kaya untukku dan keluarga. Tidak pernah sekalipun ia melupakan janjinya, bahkan saat sakitpun, masih saja ia memikirkan janjinya kepadaku.
Adi Wasana, wujud dari janji terakhir Ayah kepadaku. Aku percaya dengan pria pilihan Ayah itu. Sejak saat itu, aku dan Mas Adi mulai saling mengenal. Tiga bulan kemudian, di hadapan keluargaku dan keluarganya, pria yang kini menjadi teman hidupku itu mengucapkan janji suci pernikahan. Ia berjanji akan selalu menyayangiku dan menjagaku seperti yang pernah ia ucapkan pada Ayah. Kini janji itu bukan hanya janji kepada Ayah, tetapi juga kepadaku, kepada seluruh keluargaku, dan kepada Allah SWT.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Tulisannya keren dan inspiratif. Salam Literasi.
Mantap