Guyuran hujan siang hari ini benar-benar sangat dinanti-nanti Dino dan teman-temannya. Teriakan suara suka cita terdengar hingga rumah Mahmud. Terlihat dari kejauhan, nampak Mahmud menempelkan wajahnya ke kaca jendela rumahnya. Dia tidak bisa keluar, bergabung dengan teman-temannya yang bermain bola di depan rumah Dino.

"Bu, aku pengen main bola. Boleh ya?"

"Boleh. Tapi badanmu masih panas. Kalau sudah sehat, ibu pasti izinkan."

"Aku sekarang sudah tidak panas lagi. Coba ibu pegang!" sambil menuju ke ibunya.

"Adek, adek belum sembuh benar. Lain kali saja. Istirahat dulu sampai benar-benar sembuh."

Mahmud menenggelamkan wajahnya dalam-dalam. Kalau ibunya sudah melarang seperti itu, Mahmud tidak berani membantahnya. Tiba-tiba suara petir menghentikan langkahnya ke kamar.

"Ibu, aku takut," lari memeluk ibunya.

"Emm, gitu mau main bola."

Gema petir yang menggelegar tak menghentikan Dino dan teman-temannya bermain bola. Tubuh mereka basah kuyup, penuh lumpur. Tak terasa hari sudah menjelang petang. Tanpa ada aba-aba, dengan sendirinya mereka membubarkan diri menuju ke rumah masing-masing.

"Jangan lupa yaaa... aku tunggu di musholla. Hari ini giliranmu adzan lho Alif,"

"Siap... kamu jangan telat juga Din,"

Selokan sepanjang jalan banjir. Bau genting yang khas semakin menambah kesegaran. Lantunan ayat-ayat pendek di musholla mulai terdengar. Meski jalanan basah, Dino dan teman-temannya sudah berkumpul di musholla. Setelah mengambil air wudhu satu per satu berinisiatif untuk menyapu, menata Alquran yang kurang rapi, atau membersihkan debu yang menempel di kaca.