SASTRA SUSASTRA
Bagaimana sebaiknya mengajarkan sastra? Itu bukan pertanyaan pertama yang harus dijawab oleh seorang guru sastra. Karena mula-mula yang harus dijawabnya adalah: apakah sastra itu? Kemudian, menyusul pertanyaan: apa yang dimaksudkan dengan mengajarkan? Dapatkah sastra diajarkan? Lalu siapa saja yang hendak dibelajarkannya pada sastra.
Mungkin setelah itu seorang guru sastra mendapatkan beberapa pegangan untuk untuk menjawab, walau pun tidak benar-benar tuntas tentang: bagaimana mengajarkan pelajaran sastra. Tetapi sementara itu, pertanyaan lain sudah buru-buru hendak mengejar. Sebuah pertanyaan yang sesungguhnya ada di luar sastra. Apa, siapa dan bagaimana sebenarnya apa yang disebut “guru” itu. Apakah itu sebuah lembaga atau orang?
Sastra menurut etimologinya adalah tulisan. Sedangkan kesusastraan adalah segala tulisan yang indah. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah yang tidak indah tidak termasuk sastra. Apa batas/syarat keindahan itu. Bagaimana kalau ada sebuah karya yang sama sekali tidak indah, tetapi mengandung ekspresi yang sangat penting, sehingga menuntun imajinasi mengembara ke sesuatu yang lain, yang mengantarkan ke pada makna-makna yang mendasar, sehingga menciptakan haru?. Apa itu juga keindahan? Kalau begitu keindahan itu bisa tidak indah?
Lalu bagaimana dengan sastra lisan yang menjadi salah satu kekuatan di dalam tradisi kita, apa itu bukan sastra hanya karena tidak tertulis? Sebuah sastra lisan Bali yang dikenal dengan nama Men Kelodang ( Bu Kelodang), misalnya, (atau ambillah sastra lisan yang mana pun) transkripsinya bila dibaca akan terasa patah dan tak indah.
Tetapi bila dibunyikan, lewat mulut seorang nenek untuk didengarkan oleh cucunya yang sedang tumbuh, ia menjadi sebuah tenung yang mengandung berbagai aspek. Di situ ada pendidikan moral yang diam-diam menjadi kekayaan batin calon penerus generasi itu di masa depan. Sastra lisan adalah sebuah lab, sebuah kepustakaan yang berwujud bunyi yang sangat besar artinya pada tradisi Timur yang menempatkan pembelajaran sebagai proses yang non formal yang disebut magang atau nyantrik..
Sastra dalam pemahaman saya, adalah segala bentuk ekspresi dengan memakai bahasa sebagai basisnya. Dengan membuat kapling yang begitu lebar dan umum, maka kita seperti menjaring ikan dengan pukat harimau. Bukan hanya apa yang tertulis, apa yang tidak tertulis pun bisa masuk dalam sastra. Tidak hanya yang su (indah), catatan-catatan, surat-surat, renungan, berita-berita, apalagi cerita dan puisi, anekdot, graffiti, bahkan pidato, doa dan pernyataan-pernyataan, apabila semuanya mengandung ekspresi, itu adalah sastra.
Dengan memandang sastra dengan kaca mata lebar seperti itu, lingkup sastra mendadak membludak menyentuh segala sektor kehidupan. Tidak ada satu sudut kehidupan pun yang tidak mempergunakan bahasa sebagai alat komunikasinya. Segala hal kena gigit oleh sastra. Teknologi dan dagang pun tak mampu bebas dari sastra.
Dengan kata lain, tak ada bidang yang tak terkait dengan sastra. Karenanya, bila sastra tiba-tiba menjadi sesuatu yang terisolir dalam kehidupan, pasti ada sesuatu yang telah sesat . Termasuk kesesatan dalam mengajarkan sastra itu sendiri.
Bila di masa lalu, pelajaran sastra hanya dikunyah oleh anak-anak bagian A (budaya) di SMA, bahkan kemudian nyaris dibuang, karena jam pelajarannya dikanibal oleh pelajaran tata bahasa, maka sebenarnya sudah terjadi kesalahan besar. Sastra harus dibelajarkan kepada semua jurusan, karena tanpa menguasai sastra, tata bahasa hanya akan menjadi alat menyambung pikiran/logika dan bukan menyambung rasa. Dan tanpa kehidupan rasa, semua cabang ilmu pengetahuan bukan hanya kering, membosankan, tidak manusiawi, tetapi juga tidak beradab.
Dengan memandang sastra seperti itu, tak ada yang tidak terjamah oleh sastra. Sastra sendiri sebaliknya juga tidak hanya terpatok pada dirinya sendiri. Sastra tak terkunci pada keindahan, kemolekan dan tulisan tok. Sastra tak hanya masturbasi kata-kata, tetapi idiom idiom bahasa, yang menjadi kanal-kanal ekspresi ke segala bidang, baik seni-budaya, teknologi, ekonomi maupun masalah-masalah sosial-politik, pendidikan, pemerintahan bahkan juga agama.Tak heran, kalau di berbagai kampus yang sudah mapan, pembelajaran sastra, dikaitkan dengan sejarah dan politik. Karya-karya sastra tidak lagi hanya berhenti sebagai bacaan pelipur lara, tetapi juga menjadi dokumen sosial-politik terhadap kurun masa di saat pengarangnya hidup. Dari sebuah cerpen, misalnya, seorang professor pengamat politik di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat, membahas masalah G-30-S.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar