Cinta Untuk Adinda(59)
#tantangan_365_hari_ketigaratusduapuluhempat_02022021
“Apa? kok bisa?” Adinda menatap heran sepasang pengantin baru itu secara bergantian.
“Tamu bulananku datang,” bisik Arini tepat di telinga sahabatnya, sontak Adinda terbahak mendengarnya, antara geli dan kasihan yang bercampur jadi satu. Saking tebahaknya sampai-sampai air matanya keluar. Arini segera mencubit pinggang sahabatnya. Dua laki-laki dihadapannya yang tak mendengar ucapan Arini,hanya bengong menatap kedua wanita yang entah sedang menertawakan apa.
“Udah dong ketawanya! Aku malu kalau pacarmu sampai tahu,” bisik Arini sembari tersipu.
“Nih perempuan-perempuan pada ngetawain apa sih?” tanya Rangga dengan wajah terheran-heran.
“Nggak papa Kak, ya udah yuk kita pulang, kami pamit dulu ya, oh iya Rin…”Adinda menatap sahabatnya sembari menahan senyum.
“Apa Din?”
“Semoga tamunya segera pulang ya,” Adinda mengedipkan sebelah matanya sembari tersenyum menatap pasangan suami istri itu secara bergantian. Kembali pinggang Adinda dihujani dengan cubitan kecil oleh sahabatnya.
Sehabis dhuhur, Adinda beserta Bayu dan Rangga segera bertolak dari kota Solo, supaya tak terlalu malam sampai di Pekalongan. Bu Rahma melepas ketiganya dengan berat hati, terutama putra sulungnya. Bagaimanapun juga Rangga adalah anak laki-laki satu-satunya di rumah itu. Tetapi kedua orang tua Rangga menyadari bahwa ini adalah konsekuensi atas izinnya ketika putranya akan mengikuti tes CPNS di Pekalongan, sehingga ketika diterima menjadi PNS dinas kesehatan kota tersebut, mereka harus mengikhlaskan putranya hidup sendiri di kota itu. Beruntunglah ada Bayu, senior yang sudah dianggapnya seperti saudara yang siap membantu segala sesuatunya, termasuk mencarikan rumah yang tak jauh darinya..
***
Sejak bertemu orang tua Rangga, Adinda semakin yakin untuk menjadikan dokter muda itu sebagai pendamping hidupnya. Awalnya dia sempat ragu bagaimana tanggapan orang tua Rangga nantinya, karena melihat kondisi ekonomi keluarga Rangga yang berbeda dengan keluarganya yang sederhana. Tetapi ternyata dugaan Adinda salah, justru keluarga Rangga menyambutnya dengan hangat.
Terbersit rasa bahagia ketika sang mama dokter muda itu bersikap hangat ketika ngobrol berdua, sehingga Adinda tak merasa canggung.
Kini tak ada alasan bagi Adinda untuk menolak dokter muda itu. Sementara itu melihat Adinda yang mulai bisa membuka hatinya, Rangga semakin memperhatikan gadis itu, sekarang ini dia mulai rajin mengirimkan pesan-pesan lewat ponselnya, sesekali juga menelponnya , walaupun hanya sekedar menanyakan sudah makan belum? Sedang apa? tetapi justru pesan-pesan sederhana itulah yang membuat Adinda jadi meleleh. Sejak dirinya dirawat di rumah sakit,dia merasa terharu dengan perhatian yang diberikan laki-laki itu, hingga akhirnya rasa sayang itu hadir dalam hatinya.
Setelah tugasnya di poli selesai, sejenak Rangga meluruskan punggungnya yang tersa sedikit pegal. Diambilnya ponsel yang berada di laci mejanya.
[sayang, lagi ngajar ya?] sembari tersenyum Rangga mengirimkan sebuah pesan singkat pada kekasihnya. Tanda centang tak kunjung berwarna biru. Beneran lagi ngajar dia, batin Rangga. Kemudian kembali netranya fokus menatap layar monitor dihadapannya,
[lebay! Pake manggil sayang segala!] bibir Rangga membentuk garis lengkung keatas. Hatinya bersorak ketika gadis itu sudah membalas pesannya dan dia berhasil membuat gadis itu ngomel, karena semakin manyun bibir gadis itu , membuatnya semakin gemas.
[lho! kan sayang sama calon istri, emang nggak boleh?]
[Baru calon, belum istri, jadi nggak boleh panggil sayang!]
[Ok deh! siap! dari pada calon istriku jadi cemberut gitu]
[udah tau lagi ngajar, nanya! Ada apa?]
[jangan galak-galak dong] Adinda tersenyum, berhasil menggoda laki-laki yang sekarang ini selalu membuatnya berdesir setiap mengingatnya.
[iya, gimana]
[pulang jam berapa? Makan siang bareng yuk!]
[jam 1, sepertinya baru dua hari yang lalu kita makan bareng, kok hari ini mau makan bareng lagi]
[udah kangen banget sih] Adinda tersipu, wajahnya tampak merona.
[oke, ketemu dikafe biasa ya] Adinda segera mengakhiri obrolannya, karena kalau tidak segera diakhiri, tak akan ada habisnya laki-laki itu menggodanya.
“ciee! Yang sebentar lagi mau dilamar, senyum-senyum aja dari tadi,” tiba-tiba Bu Mala sudah duduk disebelahnya. Duduk di bangku panjang deket taman yang terletak didepan ruang guru, adalah tempat faforitnya . Meski terkadang hanya sekedar untuk melepas lelah , setelah seharian mengajar, selama tujuh jam pelajaran. Dan bisa dipastikan, teman-temannya sesama lajang pasti akan segera menyusulnya, hingga kemudian berlanjut dengan acara ngobrol bersama.
“Husstt! Jangan keras- keras kalau bicara lamaran,” bisik Adinda sembari mengerjapkan sebelah matanya.
“Lho! emang kenapa?”
“Aku takut,”
“Takut kenapa?”
“Pengalaman kemarin membuatku sedikit tertutup untuk masalah ini, kemarin kan hampir semua isi kantor ini tahu kalau aku sudah punya calon, seorang dosen di Solo, tapi apa? setelah itu, ternyata aku putus, aku malu Bu, aku takut terulang lagi,”
“Tapi ini kan beneran, kamu mau lamaran,”
“Nanti kalau pas aku mau nikahan aja kabar-kabari nya ya, aku hanya berhati-hati saja kok Bu, makanya nggak aku ekspose,”
“Ya udah, semoga semuanya lancar ya, sampai hari pernikahanmu,” Bu Mala mengusap pundak sahabatnya.
“Aamiin, makasih Bu,”
***
Bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar