Cinta Untuk Adinda(58)
#tantangan_365_hari_ketigaratusduapuluhdua_31012021
Hari minggu pagi, Rangga menepati janjinya untuk mengantar Adinda ke rumah Arini. Setelah berpamitan dengan Mama, yang sebenarnya masih ingin ngobrol banyak dengan calon menantunya, tak lupa pamit dengan Papa yang sedang asyik main catur dengan Mas Bayu, Rangga bergegas memacu mobilnya, meninggalkan halaman rumahnya.
“Sayang, apa kita nggak ganggu Arini? Pagi-pagi gini udah bangunin pengantin baru” tanya Rangga sembari mengemudikan mobilnya.
“Sayang?” Adinda menyeritkan alisnya, merasa janggal dengan panggilan itu.
“Kenapa?nggak boleh panggil sayang?”
“Nggak boleh! Ntar kalau udah nikah baru boleh panggil sayang dan masalah Arini, tenang aja, aku udah kasih kabar ke dia kalau aku kerumahnya pagi, karena siang aku harus pulang ke Pekalongan, begitu Pak Dokter,” ucap Adinda sembari menahan senyum.
“Baiklah! Bu Guru, sopir nurut apa kata Ibu,” sahut Rangga sembari menahan senyum dan tanpa menoleh kearah gadis yang saat ini sedang tertawa. Hingga akhirnya Rangga pun tak bisa menahan tawanya. Sepanjang perjalanan, Adinda banyak ngobrol tentang jalinan persahabatannya dengan Arini, dan sesekali nama Bima juga disebut, karena memang persahabatan mereka berempat. Adinda merasa bersyukur, ketika mengucapkan nama laki-laki itu, tak ada wajah muram dan air mata yang mengalir, sehingga Rangga juga tak merasa canggung untuk sesekali mengomentari cerita Adinda.
Tanpa terasa mobil Rangga sudah memasuki halaman rumah yang masih terlihat ramai lalu lalang orang yang sibuk membersihkan rumah Arini. Adinda bergegas menuju ruang tamu yang sudah terbuka lebar, sembari sesekali menyapa beberapa keluarga Arini yang dikenalnya.
“Nak Adinda!” seru wanita setengah baya yang keluar dari sekat penghubung antara ruang tengah dengan ruang tamu.
“Ibu!” Adinda mencium punggung tangan wanita yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri, kemudian memeluknya erat. Setelah mengurai pelukan, Rangga mendekat kemudian mencium punggung tangan wanita itu.
“Ini siapa Nduk?” Ibu Arini memindai sosok asing dihadapannya.
“Saya calon suaminya Dinda Bu,” sahut Rangga sembari tersenyum, Adinda membulatkan mata kearah Rangga.
“Masya Allah, ganteng banget, kapan nih nyusul Arini dan Ilham?”
“Insya Allah, mohon doanya Bu,” kembali Rangga menjawabnya.
“Insya Allah ibu doakan, semoga kalian berdua segera menyusul,”
“Oh iya,mau ketemu Arini? Sebentar ibu panggilkan, kalian duduk dulu ya” Ibu Arini tersenyum, kemudian berlalu dari hadapan sepasang muda-mudi itu,setelah mempersilakan keduanya duduk.
Tak lama kemudian seseorang membawakan dua gelas teh hangat dan beberapa cemilan . Tak lama kemudian Arini keluar diiringi suaminya. Tampak senyum cerah terurai dari wajah sepasang pengantin baru itu.
“Maaf ya Rin, Ham, aku ganggu kalian,” ujar Adinda tersipu malu. Dia benar-benar merasa nggak enak atas kedatangannya sepagi ini.
“Santai aja Din,”
“Sekali lagi aku minta maaf, aku nggak bakalan sepagi ini kesini, kalau nanti siang aku nggak balik ke Pekalongan, beneran deh!”
“Ya Allah Din, nggak usah sungkan kaya gitu kenapa? Seperti dulu itu sih, nggak usah sungkan sama aku, dan aku juga nggak merasa keganggu, ya nggak Mas?” Arini mengelus pundak sahabatnya sembari mentap kearah suaminya.
“Beneran Din, nggak usah sungkan gitu ahh! Kaya nggak tau siapa kami aja sih!” Ilham memukul lembut lengan sahabatnya. Adinda tersenyum lega setelah melihat kedua sahabatnya tersenyum .
“Ayo, mau cerita apa?” Arini mengerlingkan mata menatap sahabatnya.
“Mmm aku mau…,” Adinda menatap kearah Rangga dan Ilham bergantian, kemudian berallih menatap Arini.
“Oh iya ! aku paham, yuk ke taman belakang aja, Mas Ilham temani Mas Rangga dulu ya, aku mau mendengarkan cerita sahabatku tercinta dulu yaa,”Arini bangkit dari tempat duduk kemudian merangkulkan tangannya ke pundak sahabatnya dan berlalu dari hadapan dua laki-laki yang sedang tersenyum penuh arti menatap kedua sahabat yang saling menyayangi.
“Kamu pasti mau cerita tentang Mas Rangga kan? dia sepertinya sangat menyayangi kamu?”
“Apa iya Rin? Itulah yang ingin aku ceritakan sama kamu, kadang-kadang keraguan itu muncul, aku selalu ingat kisahku dengan Bima, takut kejadian itu terulang lagi, aku takut banget Rin,” Arini menggenggam erat tangan sahabatnya, tangan kirinya merangkul pundak gadis yang sedang menatapnya sendu.
“Dinda, aku yakin banget ,Mas Rangga sangat mencintaimu, kelihatan banget dari caranya menatapmu, benar-benar tatapan penuh cinta,” Arini tersenyum sembari mengeratkan genggamannya, berusaha membantu membuang keraguan yang terus bersemayam dihati sahabatnya.
“Mantapkan hatimu, Din! Atau jangan-jangan kamu masih ingat Bima?ngapain? buang jauh-jauh bayangan laki-laki itu, biarlah dia dengan kehidupannya sendiri, Allah sudah menunjukkkan laki-laki yang terbaik untuk kamu, kenapa musti ragu?” Ditatapnya wajah sendu Adinda, dihapusnya butiran bening yang mengalir dipipi mulus itu. Dalam hati, Adinda membenarkan ucapan sahabatnya. Selama ini dia hanya membuang-buang waktu saja untuk memikirkan laki-laki yang sudah punya masa depan sendiri. Adinda menghela napas panjang.
“Kamu benar Rin, selama ini aku memang bodoh, membuang waktu hanya untuk memikirkan Bima, sementara laki-laki yang jelas-jelas mencintaiku, aku abaikan begitu saja,”Adinda tertunduk sembari menahan isak.
“Nah, sekarang kamu sudah menyadarinya kan? mantapkan hatimu dengan Mas Rangga, aku yakin saat ini, dihatimu sudah mulai tumbuh benih-benih cinta kan?” Arini tersenyum menggoda sahabatnya . Adinda yang sedang menyusut air matanya mendadak tersipu malu.
“Kamu tuh!” Adinda mencubit lengan sahabatnya sembari tersenyum malu.
“Nah! Senyum gitu dong, biar cantiknya nggak hilang, ayo cuci muka dulu! terus pake bedakku, biar Mas Rangga nggak kaget lihat muka kamu, kirain kamu habis kuapa-apain lagi,” Arini terbahak sembari membimbing sahabatnya menuju kamar mandi.
“Rin, Ilham, makasih banget yaa, udah meluangkan waktu buatku, aku minta maaf banget udah ganggu istirahat kalian, harusnya kan saat ini kalian masih didalam kamar,” ucap Adinda sembari tersenyum menatap sepasang pengantin baru dihadapannya, sembari melirik Rangga yang juga sedang tersenyum penuh arti.
“Iih! Kamu Din! Apaan sih! beneran, aku nggak merasa terganggu kok,”
“Kita belum ngapa-ngapain kok Din,” sahut Ilham tersenyum, tak lama cubitan istrinya mendarat di pinggangnya.
“Iih! Buka rahasia aja! malu-maluin,” Arini pura-pura cemberut.
“Apa? kok bisa?” Adinda menatap heran sepasang pengantin baru itu secara bergantian.
***
Bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar