Cinta Untuk Adinda (67)
#tantangan_365_hari_ketigaratustujuhpuluhempat_24032021
“Hati-hati di jalan, ingat pesanku! Jangan hindari masalah, selesaikanlah dengan kepala dingin, jangan emosi.” Bu Mala menepuk lembut pundak Adinda yang sudah duduk di atas motornya.
“Insyaallah, tapi untuk saat ini, aku belum ingin ketemu dulu dengan Kak Rangga, nanti jatuhnya aku malah emosi lagi seperti tadi.” Adinda berusaha tersenyum dan mencerna setiap kata yang terlontar dari bibir sahabatnya.
“Terserah kamu, yang penting, jangan sampai berlarut-larut.” Adinda mengangguk , kemudian menyalakan motor maticnya dan berlalu meningalkan komplek perumahan yang masih terlihat sepi penghuninya. Hatinya sedikit lega, setelah sedikit berbagi beban dengan sahabatnya.
“Tumben pulang sore Nduk? Katanya nggak ada jam tambahan?” sapa Ibu ketika putri kesayangannya tiba di halaman rumah. Ibu yang sedang sibuk menyiram tanaman di halaman rumah, tampak sedikit terkejut mendapati putrinya pulang di jam yang berbeda.
“Nggih, Bu, barusan mampir ke rumah Bu Mala, kebetulan tadi dia nggak bawa motor, jadi Dinda antar sampai ke rumah,” sahut Dinda sambil mencium punggung tangan sang ibu.
“Dinda masuk dulu ya Bu, mau bersih-bersih badan,”
Adinda berlalu menuju ke dalam, sedangkan ibu kembali melanjutkan aktivitasnya menyiram berbagai tanaman hias yang ada di halaman rumah.
Malam hari, setelah sholat isya, Adinda merebahkan tubuh lelahnya di ranjang kamar yang bernuansa warna biru, warna favoritnya. Tiba-tiba dia teringat akan ponselnya yang sedari tadi belum disentuh. Diambilnya ransel Eiger warna biru diatas meja kerjanya. Diraihnya benda persegi berwarna hitam itu, kemudian dinyalakannya. Tampak ratusan pesan yang belum terbaca. Matanya tertumbuk pada salah satu pengirim pesan. Ternyata banyak pesan yang telah dikirim oleh Rangga.
[Dinda, kamu dimana?] Adinda melihat waktu yang tertera disitu, ternyata pesan itu dikirim setelah dia pulang dari toko donat .
[aku ke rumah yaa]
[Dindaa…kenapa pesanku kamu abaikan aja?]
[Dinda sayaaang] dan masih banyak lagi pesan yang seolah-olah menyiratkan kalau laki-laki itu khawatir dengan kondisi Adinda.
Adinda menghela napas panjang. Saat ini sebenarnya dia sangat rindu dengan sosok laki-laki yang sebentar lagi akan melamarnya. Namun entah kenapa rasa rindu itu kalah oleh emosi sesaatnya, yang ada dalam ingatannya saat ini adalah peristiwa tadi siang yang begitu menorehkan luka.
Ditutupnya ponsel tanpa bermaksud membalas pesan. Kembali direbahkannya tubuh yang terasa lelah.
Tok!Tok!
Adinda yang matanya belum terpejam penuh, mendadak tersentak mendengar pintu kamarnya diketuk. Dia bergegas bangun dari ranjang dan membuka pintu kamarnya.
“Ada apa, Buk?” tanya Adinda begitu melihat wajah ibu menyembul dibalik pintu kamarnya.
“Makan dulu sana! kamu belum makan kan?”
“Dinda masih kenyang, Buk,” sahut Adinda dengan malas. Kemudian menunduk, menghindari tatapan sang ibu.
“Nduk? Kamu kenapa?” Ibu mengangkat dagu anak gadisnya.
‘Dinda nggak papa, Bu.” Adinda berusaha tersenyum, agar sang ibu tidak curiga.
“Nduk, mulutmu boleh bohong, tapi matamu nggak bisa, ayo cerita sama ibuk.” Ibu membimbing Adinda , kemudian keduanya duduk di tepi ranjang.
“Ayo cerita,” bujuk ibu sembari menatap lekat anak gadisnya yang saat ini terlihat sedih. Tampak mata bening dihadapannya mulai berkaca. Ibu merangkul pundak Adinda, membenamkan kepala dengan rambut terurai itu ke dadanya. Dielusnya rambut legam yang dulu sering minta dikepang setiap mau berangkat ke sekolah.
“Kenapa, Nduk?”
“Kak Rangga….”Adinda mulai terisak
“Rangga kenapa?” Dengan lembut ibu mengusap kepala Adinda yang bergerak karn tangis yang sesenggukan. Ibu menanti anak gadisnya sedikit tenang.
“Bu.” Tiba-tiba Adinda mengurai pelukan sang ibu, kemudian mendongakkan kepala menatap lekat wanita terkasihnya.
“Iya Nduk.” Ibu menatap lembut gadis didepannya.
“Tadi siang, Dinda lihat Kak Rangga dengan seorang wanita di kafe, mereka bercengkrama dengan mesra.” Sejenak ibu mengerutkan keningnya, kemudian melepas senyum ke arah gadis yang usianya beranjak dua puluh empat tahun.
“Oalah Nduk, Nduk, kirain masalah apa,”
“Kok Ibu begitu.” Adinda terkejut melihat tanggapan sang ibu yang biasa saja.
*SA*
Bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar