Hujan Milik Bhara Part 3
Tidak lama dokter keluar dari ruangan IGD, Ibu berbaju merah segera menghampiri Pak Dokter. “Bagaimana Pak Dokter, keadaan suami saya?” tanyanya dengan tidak sabar kepada Pak Dokter.
Tangisnya pecah tidak tertahan lagi, memilukan hati,tulang-tulang tubuhnya tidak sanggup menopang badannya mendengar penjelasan Pak Dokter, kalau nyawa suaminya tidak bisa tertolong lagi. Sebelum berkata-kata kegelapan sudah menelannya. Tubuhnya lemas lunglai jatuh pingsan.
“Pak kamu tidak boleh mati pak” ucapnya lirih setelah siuman di samping jenazah suaminya. Dengan di pandu Zesa dan Bhara mereka menuju keluar dari kamar mayat hendak menghubungi saudaranya.
***
Hari ini adalah hari kedua Zesa dan Bhara menempati rumah barunya. Musim hujan kembali mengguyur kota yang menjadi tempat pilihan Zesa dan Bhara untuk tinggal dan membangun rumah barunya. Zesa sangat menikmati suasana rumah barunya, begitu juga dengan Bhara.
Siang beranjak sore, langit mulai gelap, angin bersemilir berhembus kencang. Zesa dan Bhara yang sedang menkmati empang di belakang rumah baru mereka terpaksa segera beranjak meninggalkan empang.
Sebelum mereka berjalan sampai di rumahnya. Hujan menyerbu mereka dengan rinai rintik hujan yang makin lama semakin membesar. Zesa dan Bhara memutuskan untuk berteduh di dekat gazebo yang berada tidak jauh dari pintu belakang rumah.
“Tuh kan bajuku basah lagi, sebel aku sama hujan!” Zesa mulai menggerutu dan memaki hujan yang telah membuat bajunya basah. Bhara tidak berkata apa-apa. Bhara hanya meminta Zesa untuk menunggu sebentar di gazebo dengan baju yang mulai basah terciprat air hujan.
Bhara segera berlari menuju rumahnya menembus hujan untuk segera mengambil payung. Sementara Zesa menunggu Bhara mengambil payung, angin berhembus cukup kencang membelai kerudung Zesa yang panjang terurai. Hujan seakan tidak peduli dengan Zesa yang mulai merasa kedinginan. Bola matanya menangkap cahaya kilat di langit yang disusul bunyi petir yang menggelegar.
Zesa benar-benar merasa takut, apalagi ini adalah tempat baru dan asing bagi Zesa. Hatinya mulai gelisah menunggu Bhara yang tidak kunjung datang. Zesa teringat ibu berbaju merah yang dulu sempat mereka tolong saat mengalami kecelakaan . Namun takdir berkata lain ibu berbaju merah harus kehilangan suaminya untuk selamanya. Ada sesak di dada Zesa, matanya yang bulat berbulu lentik mulai mencari-cari bayangan Bhara ke setiap sudut rumah, Bhara tidak terlihat juga.
“Tidak, aku tidak mau kehilangan Bhara!” teriak Zesa dalam hati sambil berlari menembus hujan menuju pintu belakang. Sebelum sampai di pintu Bhara muncul membawa payung . Melihat Zesa berlari menembus hujan Bhara sangat khawatir, Zesa paling tidak suka hujan.
“Bhara! Bhara! Jangan tinggalkan aku, aku takut” teriak Zesa mendekati Bhara. Badan Zesa gemetar wajahnya pucat pasi ketakutan, Zesa segera memeluk Bhara. Bhara merasa bersalah telah membuat Zesa ketakutan dan gemetar badanya. “Zesa! Kamu tidak apa-apa khan?” tanya Bhara merenggangkan pelukannya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Zesa yang masih pucat pasi menenangkan Zesa yang masih gemetaran.
“Bhara jangan tinggalkan aku, kenapa kamu lama sekali ambil payungnya?” isak Zesa. “Zesa, maafkan aku ya!" Dipekunya kembali Zesa dengan erat, jendela kamar kita terbuka lebar dan air hujannya masuk ke kamar, aku takut kamu pasti akan sangat tidak nyaman jika kamar kita basah terkena hujan, jadi aku sempatkan untuk menguncinya sebentar” jelas Bhara.
“Sekarang kamu pasti merasa kesal bajumu basah kuyup terkena hujan, bukankah aku sudah bilang memintamu untuk menungguku, kenapa kamu nekat berlari menembus hujan?” tanya Bhara menelisik. Zesa melepaskan pelukkannya., sikap Bhara yang tulus penuh perhatian dan selalu mengkhawatirkan Zesa membuat hati Zesa luluh terharu.
“Bhara, sekarang aku tidak membenci hujan lagi, aku lebih benci dan takut jika kamu berlama-lama jauh dariku. Bhara hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan Zesa, benarkah Zesa telah melupakan Reza laki-laki yang pernah membuat hidupnya hancur. Dan kini Zesa membuka hatinya lagi untuknya. Ada bahagia yang tidak bisa disembunyikan di wajah Bhara. Dipeluknya Zesa erat-erat.
Zesa melepaskan pelukan Bhara dan mengambil payung yang dipegang Bhara melemparkannya jauh dari mereka. “Bhara, aku tidak butuh payung itu lagi, aku ingin menikmati hujan ini. Menikmati bersamamu. Hujan yang rintiknya seperti untaian kata-kata yang mengalir turun dari langit menggores kisah cerita menumbuhkan bukan hanya tanaman dan pepohonan tapi juga menumbuhkan cinta, rindu, takut kehilangan dan ingin selalu dekat denganmu Bhara” lanjut Zesa sembari membentangkan tangannya menangkap rinai hujan yang membasahi hatinya.
Hujan kemarin benar-benar membuat Zesa jatuh cinta pada Bhara. Bahkan saat musim kemarau tiba, Zesa berharap kemarau segera berlalu. Zesa menanti datangnya musim hujan. Sebenarnya Bhara masih bertanya-tanya dalam hati, peristiwa apa yang sebenarnya terjadi selama Zesa menunggunya di gazebo enam bulan lalu, hingga Zesa berlari menembus hujan, padahal yang Bhara tahu Zesa sangat membenci hujan.
***
Kemarau panjang tahun ini, mulai membuat Zesa dan Bhara resah, pasalnya mereka mulai kesulitan menampung air. PDAM yang biasanya sehari bisa mengalirkan air hingga berkali-kali, sekarang paling hanya satu kali. Apalagi kehadiran bayi munggil ditengah-tengah mereka bayi laki-laki yang kembar, membuat Zesa kerepotan menampung air untuk mencuci pakaian bayi mereka.
Keputusan Zesa untuk merawat bayi kembarnya sendiri akhirnya goyah, ketika mendapat kabar kalau Bhara suaminya mendapat tugas ke luar kota selama tiga pekan. Zesa menuruti apa yang dikatakan Bhara untuk mencari asisten rumah tangga yang akan membantu Zesa merawat kedua bayi kembarnya dan menemani Zesa selama Bhara pergi keluar kota.
Kepanikan Zesa memuncak saat kedua bayinya yang baru berumur sembilan bulan panas tinggi, Bi Tirah asisten rumah tangga yang dicarikan Bhara untuk membantu Zesa merawat kedua bayi kembarnya hari ini izin tidak berangkat karena sedang ada keperluan keluarga. Akhirnya Zesa menelfon Bhara di kantor.Tidak selang berapa lama, Bhara sudah sampai di depan rumah. Bhara segera menghampiri Zesa yang masih panik dengan kondisi Royan dan Raihan bayi kembarnya yang sedang sakit. Bhara memutuskan membawa bayi kembarnya ke rumah sakit.
Di perjalan menuju ke rumah sakit, salah satu bayi kembarnya Royan mengalami kejang. “Ayah! Astaghfirulloh , Royan kejang yah!” Zesa panik tingkat dewa, begitupun Bhara. Bhara mempercepat laju mobilnya.”Sabar bunda, astaghfirullohal’adzim, anak-anak kita pasti akan baik-baik saja”ucap Bhara menenangkan Zesa yang sudah dipuncak kepanikannya.
Zesa terus saja berdoa tanpa henti, wajahnya pucat pasi melihat kedua bayi kembarnya di rawat di ruang intensif perawatan bayi. Bhara tidak bisa berbuat banyak, ia mendekati Zesa dan merengkuh Zesa dalam pelukannya.
Zesa pasrah dalam pelukkan Bhara sambil terus berdoa untuk kedua bayi kembarnya. Pandangan mata Zesa tidak lepas dari kedua bayinya. Terlihat butir mata mulai membasahi pipinya yang putih bersih.
Bhara semakin tidak kuasa menahan rasa sedih dan pilu dalam hatinya, apalagi melihat wanita yang ia cintai sepenuh hati menangis dalam pelukannya. Di usapnya dengan lembut air mata di pipi Zesa dengan kedua tangannya, “Bunda, sabar sayang, bayi kita pasti akan baik-baik saja” ucap Bhara sekali lagi menenangkan Zesa.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar