Selain sebagai penghuni lama, aku juga satu-satunya yang tersisa dari generasiku yang masih bertahan di sini. Para penghuni baru datang dan pergi. Aneka rupa tabiat mereka. Meski tidak sama, tapi aku merasakan sikap mereka rata-rata begitu angkuh kepadaku. Bentuk tubuh dan warna-warna mereka memang indah dan unik. Berbeda denganku yang mereka sebut si buruk rupa. Kelebihanku hanya satu, Alfin begitu menyayangiku. Ia sering sekali mengajak kami mengobrol, tapi aku bisa merasakan perhatiannya yang lebih kepadaku. Alfin juga sering menunjukkan aku kepada teman-temannya dan menceritakanku dengan bangga dan antusias. Bahkan katanya, hargaku fantastis.

Sampai suatu hari, ada seorang tamu yang mengunjungi kami. Tanpa banyak bicara, si tamu fokus memperhatikanku. Ia pun tersenyum dan berbicara sebentar dengan Pak Ilman, ayah Alfin. Entah apa yang terjadi, sama sekali aku tidak bisa menduganya. Yang pasti, setelah itu aku melihat kesedihan di mata Alfin. Sejak pulang sekolah Alfin tampak berlama-lama memperhatikanku. Sorot matanya menyiratkan seolah akan ada perpisahan di antara kami. Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati.

“Saya terima ikan langka ini ya, Pak. Dan ini uangnya. Saya pamit,” ucap si tamu yang datang kemarin. Dari plastik yang ditenteng si tamu, aku bisa melihat jelas kesedihan Alfin. Pak Ilman tampak memeluknya dan menjelaskan bahwa uang dari penjualanku bisa dipakai untuk ibunya yang sedang sakit. Entah apa yang harus aku rasakan, sedih atau bahagia.

Lebak, 05042021