Sarnubi Muhammad

Budak dusun (baca; anak desa) yang lahir dan besar ditengah banyak kekurangan namun tumbuh dalam suasana religiusitas, orang pertama dalam keluarga yang Alhamdu...

Selengkapnya
Navigasi Web
Motong ParahNyadap karet

Motong ParahNyadap karet

Dalam bahasa daerah kami pohon ini namanya "parah" kalau bahasa Indonesianya karet, salah satu sumber penghasilan masyarakat dalam menghidupi anak isteri, menyekolahkan putra-putri mereka dan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Semasa kecil dulu dari umur 5 tahun saya sudah sangat "akrab" dengan pohon ini karena memang orang tua sdh mengenalkan dengan terjun langsung ikut menanamnya, meskipun awalnya adalah menanam padi di "umo" (baca;ladang), karena waktu itu sekira tahun 90an masyarakat masih bergantung dengan beras hasil ladang sendiri dan sangat jarang yang membeli beras. Dulu masyarakat daerah kami mayoritas adalah petani karet, keluarga kami diantaranya. Saat shubuh selesai para bapak-bapak, anak bujang (baca;perjaka) yang "rajin" bahkan emak-emak sudah bersiap untuk berangkat ke kebun karet, sembari mengamati cuaca, pulangnya ada yg jam 11.00 WIB, bahkan ada juga yang sampai waktu ashar. Namun, jangan khawatir mereka sudah siap semua bekal mulai dari kopi, teh, makan siang, anti nyamuk, kelengkapan sholat, bahkan anti "pacat" pun ada. Ada yang menarik dari rutinitas pergi ke kebun setelah subuh adalah agar dapat selesai lebih cepat dan getah karet cepat mengering, karena klu keringnya lambat jika hujan datang maka ketika getah itu tersiram air hujan otomatis getahnya akan larut bersama air, dan hal menarik lainnya jika waktunya getah dimasak maka membutuhkan waktu yg lebih lama dalam proses pengerjaannya hingga jadi, makanya harus pergi lebih pagi. Sebagai orang yang di besarkan dengan rutinitas ini, maka tentu sudah banyak mengecap pahit manisnya, belajar dr orang tua dari karet ini ia mampu mengenyam pendidikan hingga pondok pesantren Nurul Iman Sekoja (Seberang Kota Jambi), hingga kami pun mengikuti jejak beliau. Saya pribadi punya histori tersendiri dengan pekerjaan sebagai tukang "potong" (baca ;nyadap) karet, menarik, sedih, dan tak terlupakan hingga kini, maklum petani karet sangat akrab dengan bau busuk dan menyengat pula. Mau dkasih sabun berapa kalipun baunya takkan hilang, kecuali di bersihkan dengan sabun setelah itu dengan jeruk atau belimbing. Dan itu pun jika getahnya tidak lengket, maka akan bertambah lg harus dilepaskan karet yg lengket itu dahulu dengan cara di gosok-gosok kemudian baru di sabun lagi. Saat itu saya adalah salah satu siswa MA swasta di daerah saya, sekira tahun 2005 kira-kira kls 12 , sekolah kami ketika itu waktu masuknya kira-kira selepas Zuhur dan pulangnya setelah ashar dekat-dekat jam 17. Sebagai orang yg sehari-harinya menyadap karet pergi pagi sekali dan pulangnya jam 10.00 s/d jam 11.00, itu waktu biasa. Bukan waktu untuk menyadap sekaligus memasak getah (baca;karet) yang siap jual itu memakan waktu hingga jam 12 lewat. Pernah satu ketika saya berpacu dengan waktu harus menyelesaikan menyadap karet sekaligus membuatnya siap jual dengan proses yg panjang,melelahkan dan "bergumul" dengan getah yang encer maupun yg kering, berangkat pagi pokoknya harus selesai sebelum "lonceng" masuk sekolah berbunyi. Namun pekerjaan tidak sesuai target dan terlambat masuk sekolah, tetapi saya tetap memaksakan masuk kelas, untungnya waktu itu saya punya bapak/ibu guru yg baik-baik dan mereka sdh mengetahui kondisi kita sehingga di perbolehkan masuk kelas, namun saya tidak bisa duduk di tempat biasanya karena sdh ada kawan yg menempati dan saya memilih kursi yg kosong lainnya, kebenaran sdh ada kawan jg di sebelahnya. Beberapa menit duduk biasa saja, namun tak berapa lama kawan di samping berujar "ngapo kau busuk nian baunnyo". Aku menjawab "tadi motong jok, maklumlah orang susah jok. Ternyata aku baru sadar bahwa masih banyak getah menempel di tangan,.yg td lp dibersihkan karena terburu-buru mau masuk sekolah. Meskipun hati pedih namun raut muka tetap manis-manis bae, tapi jauh didasar hati tekad sudah tertanam aku tak mau jadi "tukang motong parah" selamanya, aku harus berubah. Seiring berjalannya waktu Juni tahun 2006 aku menyelesaikan pendidikan menengah di madrasah tersebut, namun aktivitas nyadap karet tetap berjalan sebagai tabungan persiapan untuk mendaftar kuliah di kota Jambi yang belum pernah kesana alias "Buto kelam". Singkat cerita setelah terdaftar jadi mahasiswa aktif, saat liburan tiba pulang ke kampung halaman tetap "motong karet" persiapan sebagai modal melanjutkan perkuliahan, di saat yg lain pulang kampung liburan nyantai-nyantai, aku tak bisa seperti mereka, karena aku sadar bahawa kita anak miskin yg butuh banyak uang untuk menyelesaikan perkuliahan, hingga meraih gelar sarjana di tahun 2010 aktivitas "motong parah" tetap di lakukan. Orang dusun khusus daerah saya jika pernah merasakan pekerjaan ini, maka kemungkinan dia orang kecil dan ekonomi kebawah, bahkan bisa jadi dia orang yg rajin meskipun ekonomi keatas. Salam Literasi
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post