Sanria elmi

Nama yang diberikan oleh ortu Sanria Elmi Tempat tugas sebelumnya:SMP N 3 Lubuk Batu Jaya kab. Indragiri Hulu-Riau Tempat tugas saat ini: SMP Negeri 2 Lubuk B...

Selengkapnya
Navigasi Web
RAHASIA HATI Episode 8
Poster Mywall

RAHASIA HATI Episode 8

#Tagur 365, H-293 (02/11/2020)

RAHASIA HATI

Episode 8

Oleh: Sanria Elmi

Menyusuri jalan setapak seiring senyum mentari pagi, aku melangkah dengan penuh semangat. Aku ingat pesan kepala sekolahku bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung ke sekolah kami. Aku dengan hati penuh debaran melangkah dengan pasti. Aku tidak mau terlambat apalagi bakal ada tamu. Kali ini beban yang kubawa lumayan berat, tidak hanya isi tasku yang penuh dengan perangkat mengajar, tetapi lebih berat beban mental yang harus kusiapkan. Secara administrasi mungkin aku sudah siap delapan puluh lima persen, tetapi aku sebagai guru yang baru tiga bulan bertugas tetap merasa nerves. Aku tidak tahu dengan teman-temanku yang lain. Apakah mereka punya perasaan yang sama denganku.

Saat pertama aku bertugas di tempat yang baru, kepala sekolahku sudah memberikan bimbingan terutama persiapan perangkat mengajar. Buku kerja 1, 2, 3, dan 4 sudah kusediakan sesuai dengan kebutuhan. sebenarnya aku tidak perlu was-was dan merasa nerves. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga perasaan yang datangnya tiba-tiba tanpa diundang. Sama halnya dengan perasaanku yang penuh debaran ketika pertama kali aku mendapat perhatian khusus dari seseorang. Aku tidak pernah menginginkannya tetapi semua datang dengan tiba-tiba tanpa kusadari.

Aku mempercepat langkahku, meskipun aku belum terlambat. Akhirnya aku tiba di area sekolah dalam kondisi masih lengang. Hanya beberapa siswa yang berada di sekotar lokasi sekolah yang sudah terlihat satu-persatu.

“Masih lengang.”

Seperti biasanya, aku datang selalu lebih awal, tetapi ternyata aku salah. Ketika aku memasuki ruang majelis guru, langkahku terhenti. Kudengar tawa teman-temanku yang begitu renyah membuatku kepo.

Kuintip dari pintu tempatku berdiri, di sana ada Zamri yang sedang berakting melucu. Mereka tidak menyadari kehadiranku. Zamri dengan kocaknya menirukan sesuatu.

“Sial, dia memang si resek,” batinku geram.

“Hmm!”

Dehemanku tidak menghentikan lelucon Zamri, justru semakin panas dia meledekku. Wajahku berubah bagaikan kepiting yang baru nyempulng dalam air panas.

“Zamri!” jeritku menghentikannya.

Dia malah tertawa dan idenya semakin menjadi bagaikanjamur yang tumbuh di musim hujan. Sekalipun ia mengesalkan tetapi aku sebenarnya salut dengan kemampuan melawaknya. Hanya saja saat ini dia melakukan acting lucu tentang aku. Jelas menyebalkalkan bagiku.

“Apa kabar Ra,” sapanya seolah baru tahu kehadiranku.

“Seperti yang terlihat!” jawabku ketus.

Ia tergelak melihat ekspresiku dan merasa menang. Semua berlalu sebagai santapan pagi yang menunjukkan keakraban di sekolah kami. Sekalipun aku merasa kesal, tetapi aku senang dengan rasa kebersamaan yang tercipta. Lawakan Zamri seolah menjadi hiburan gratis yang bisa dinikmati, maklumlah tempat kami memang jauh dari sarana hiburan.

Tengah asyik bercanda, tiba-tiba Pak Wira masuk ke ruang kami. Zamri masih saja melucu padahal aku sudah memberi kode kalau ada kepala sekolah kami.

“Bisa tenang sebentar!” ujar Pak Wira berwibawa.

Zamri tiba-tiba terdiam, tetapi ia begitu pandai mengubah suasana yang penuh kelucuan menjadi serius.

“Ada Pak?” tanya Zamri lalu duduk di kursinya.

Pak Wira mengingatkan kembali akan tamu yang akan berkunjung ke sekolah kami. Beliau meminta agar administrasi mengajar dikumpulkan ke ruangnya bagi yang belum menyerahkannya.

“Baik Bapak/Ibuk, saya tunggu di ruangan saya sekarang.” Ujar Pak Wira sembari meninggalkan kami.

Aku tetap tenang, karena tugas sudah di-acc beliau sebelumnya. Zamri dan beberapa temanku yang lainnya mulai kasak-kusuk.

“Aduh!”

“Gimana nih?”

Zamri sedikit terlihat panik. Aku tahu dia paling ogah membuat hal yang begituan. Dia melirikku yang duduk tenang. Aku pura-pura tidak melihatnya.

“Sttt!”

“Sttt!”

“Ra!”

Ujar Zamri kepadaku.

“Apaan?” tanyaku sedikit keras.

“Pinjam dong!” pintanya.

“Apanya yang dipinjam, kelas kita kan beda,” jawabku.

“Nggak apa-apa, kan mapelnya sama,” sahutnya.

Kebetulan ada satu tingkatan kelas yang kumiliki sama dengan Zamri. Alhasil semua di-copy oleh Zamri.

***

Kedatangan tamu ke sekolah kami disambut dengan baik. Aku kebagian supervisi administrasi. Sekalipun aku sudah siap, tetap saja aku deg-degan berhadapan dengan orang-orang besar seperti mereka.

“Buk Maharani ya?” tanya beliau yang kuketahui namanya Muhaimin Ali.

“Ya Pak,” jawabku sopan.

Pengalaman pertamaku duduk di depan pengawas membuatku sedikit grogi.

“Buk Rani, boleh saya lihat perangkat KBM Ibuk?” tanya beliau.

Aku sudah menyiapkannya di dalam kantong yang kubawa.

“Ini Pak,” ujarku seraya menyerahkan seluruh perangkat yang kupunya.

Beliau memeriksanya satu persatu dokumen yang ada di tangan beliau, terkadang beliau bertanya seolah menguji pemahamanku. Aku menjawabnya sesuai dengan pengetahuanku. Beliau manggut-manggut. Aku tidak tahu apakah jawabanku benar atau salah menurut beliau. Tetapi aku yakin dengan jawabanku.

“Semuanya cukup baik, hanya mungkin ada beberapa hal yang perlu disesuaikan dengan kondisi sekolah,” ujar beliau setelah selesai membolak-balik dokumenku.

“Contohnya Pak?” tanyaku ingin tahu.

“Misalnya penggunaan media pembelajaran,” jawabnya.

Aku hanya manggut-manggut, namanya juga baru jadi guru dan aneka perubahan kurikulum yang belum begitu kupahami. Tetapi aku merasa sudah berusaha untuk menyesuaikannya. Namun aku berterimakasih karena dengan penjelasan beliau aku makin paham.

“Tetap semangat ya Buk. Suatu saat saya ingin melihat Buk Rani mengajar di kelas. Tapi untuk saat ini cukup ini dulu,” jelas beliau.

Setelah semuanya selesai, aku pamit dengan membawa semua perangkatku kembali ke ruang majelis guru.

“Gimana Ra?” tanya Yuna.

“Aman,” jawabku sembari tersenyum.

***

Waktu berjalan terasa begitu lama dari biasanya. Jam dinding di ruang majelis guru sudah menunjukkan angka 2 lewat tiga puluh menit. Panas matahari lumayan terik, aku ragu untuk melangkah keluar dari ruang majelis guru. Aku berniat untuk beristirahat sejenak sembari memeriksa pekerjaan siswaku.

“Nggak pulang Ra?” tanya Risa.

“Masih panas,” jawabku singkat.

“Aku duluan ya, belum zuhur nih,” ujarnya.

Aku mengangguk, kebetulan aku sudah shalat bersama anak-anak tadi di mushalla, jadi aku tidak perlu buru-buru. Beberapa orang temanku memilih tinggal bersamaku menanti panas berkurang di luar sana.

“Hmm!”

“Sepertinya ada yang menanti tuh!”

Tiba-tiba Mirna datang menghampiriku.

“Siapa?” tanyaku tanpa mengalihkan tatapanku dari tugas siswaku.

“Some one,” sahutnya.

“Some one siapa? Aku nggak ngerasa kok,” sahutku.

“Tuh, coba lihat!” ujar Mirna sembari menunjuk ke luar.

Aku hanya melihat orang yang berlalu-lalang di jalan depan sekolah kami.

“Nggak ada tuh,” jawabku.

“Ya udah, kalau gitu aku duluan ya,” ujarnya tanpa merasa bersalah.

Aku hanya mengangkat bahu setelah itu melanjutkan pekerjaanku.

“Siapa Ra?” tanya Aida.

“Siapa?” tanyaku balik tidak paham dengan pertanyaan Aida.

“Itu!”

Aku menoleh mengikuti arah telunjuk Aida.

“Nggak tahu,” jawabku asal.

“Ah, kok nggak tahu?” tanyanya.

“Maksudnya aku nggak tahu dia itu mau ngapain,” jawabku.

Kulihat dari balik kaca pembatas ruangan majelis guru, seseorang yang kurasa kenal sedang berbincang-bincang dengan Pak Wira. Mereka terlihat sangat akrab dan santai. Sesekali dia melihat ke arah majelis guru. Aku tetap melanjutkan pekerjaanku. Sementara Aida dan dua temanku yang lainnya sudah mulai berkemas untuk pulang.

“Ra, sepertinya sudah mulai redup, kamu nggak pulang?” tanya Aida.

“Tanggung Ai, tinggal dikit lagi,” sahutku.

“Kami pulang dulu ya,” sambungnya.

“Ya, hati-hati di jalan,” jawabku.

Pekerjaanku tinggal sedikit lagi, tapi aku merasa resah karena aku melihat dia masih ada di sana bersama Pak Wira.

“Rion ngapain ke sini?” tanya hatiku.

“Ah, bodo amat, toh dia lagi asyik ngobrol sama Pak Wira,” bantah hatiku.

Aku pelan-pelan berkemas, lalu pulang.

Degh! Aku terkejut bukan main. Rion tiba-tiba sudah berada di dekatku. Aku berusaha menutupi keterkejutanku.

“Buk Rani,” sapanya.

Aku balas sapaannya dengan senyum seperti biasanya. Tanpa makna apa-apa. aku tidak mau terlihat geer.

“Aku antar ya,” ujarnya sopan.

“Nggak usah Bang, rumahku kan dekat,” sahutku melanjutkan langkah kakiku.

“Gengsi ya Buk?”

“Nggaklah, ngapain juga gengsi.”

Dia mendorong motornya turut berjalan bersamaku. Aku bingung harus bagaimana. Mau mengusirnya itu hal yang tidak mungkin kulakukan. Apa hakku mengusirnya di jalan umum. Dia juga sopan menurut penilaianku.

“Ayolah, aku antar,” bujuknya.

Daripada dia terus mendorong motornya berjalan denganku, akhirnya aku terpaksa menerima tawarannya.

“Abang nggak pergi kerja?” tanyaku setelah duduk di belakangnya.

“Baru pulang,” jawabnya.

“Nggak capek?” tanyaku.

“Capek juga, namanya kerja serabutan,” sahutnya santai.

“Kenapa nggak istirahat?” tanyaku.

“Lagi malas aja. Tadi aku pingin nyari yang adem,” sahutnya.

Untung saja aku tidak kegeeran. Seperti masa silam bersama Raja. Aku kembali teringat kisahku betapa aku sangat kecewa ketika aku tahu Raja makan bersama Nadia, gadis yang penuh misteri. Dia berhasil merebut perhatian Raja dengan dalih sedang patah hati, minta pendapat Raja yang super idola.

Aku jengah melihatnya. Di depan mataku Nadia biasa-biasa saja, sekalipun dia patah hati toh tidak membuatnya mati. Apa perlunya dia mendekati Raja dan curhat kalau bukan modus. Anehnya, Raja terlalu polos dan percaya dengan modus Nadia.

“Astagfirullah!”

“Ngapain aku masih mengingat kisah yang sudah kukubur bersama masa laluku,” rutukku dalam hati.

“Hmm!”

“Buk Rani sudah makan?” tanya Rion.

“Sudah.”

“Makan di mana?”

“Di rumah.”

“Di rumah?”

“Kapan?”.

“Tadi pagi.”

“Emangnya Abang belum makan?”

“Belum, makan yuk!”

“Nggaklah, nanti merepotkan Abang lagi. Aku nggak mau orang salah paham tentang kita.”

“Lho, kenapa?”

Aku terdiam tak tahu bagaimana aku menjelaskannya. Aku benar-benar tidak mau terjebak dalam situasi begini.

“Nggak kenapa-napa,” jawabku.

“Ibuk malu makan bersamaku?”

“Bukan, bukan begitu, hanya nggak enak saja dilihat orang.”

“Artinya sama saja, Buk Rani malu makan sama aku.”

“Bedalah Bang. Aku lagi malas. Lain kali saja ya,” jawabku tetap terjebak dengan ucapanku sendiri.

“Benaran ya,” sahutnya senang.

“Isyaallah,” jawabku berat.

Batinku semakin tak siap jika peristiwa yang sama kembali terulang ketika hatiku mulai merasa tenang. aku tidak tahu bagaimana harus bersikap. Rion memang pemuda yang tidak terlihat kurang dari segi penampilan ataupu kesopanan. Dia sepertinya juga mudah bergaul.

Entahlah, aku juga tidak mengerti mengapa hatiku menolak bersamanya. Tetapi aku tidak mengatakannya dengan jujur. Aku kuatir dia tersinggung padaku.

***

Bersambung.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Rion sangat suka tuh, sehat dan sukses selalu bucantik

02 Nov
Balas

Terimakasih Bun

03 Nov

Ceritanya menarik Bun, didalam ceritanya mengandung pembelajaran. Salam sukses, Bun...

02 Nov
Balas

Terimakasih

03 Nov

Keren terus berkarya buk

02 Nov
Balas

Terimakasih Pak.

02 Nov

Makin keren dan membuat penasaran... Sukses ibu sayang, ditunggu lanjutannya, kisah indah dan menarik dari ibu cantik yang luar biasa... Salam santun

02 Nov
Balas

Terimakasih Bunda.

02 Nov

Semoga saja tidak ada yang tersinggung ya Bu.

02 Nov
Balas

Terimakasih Pak, Semoga tidak, karena cerita hanya fiktif, full imajinasi.

03 Nov

Ceritanya menarik Bunda, kehidupan sehari-hari tentang guru. Didalamnya mengandung pembelajaran, alur menarik dan mudah dipahami. Lanjut bun

02 Nov
Balas

Terimakasih Bunda.

02 Nov

Keren Bu.... Semoga ada kepastian untuk usaha si Rion

02 Nov
Balas

Terimakasih Pak, cinta itu butuh pengorbanan dan tidak selalu berjalan mulus

02 Nov

Cerita yg keren dan menginspirasi Bunda cantik

02 Nov
Balas

Terimakasih Bunda Sayang

02 Nov

Mantap cerita dunia kita ttg pembelajaran..Sukses sll ibu csntik nggih

02 Nov
Balas

Terimakasih Ibu.

02 Nov

Tambah keren ceritanya bunda...Ingin segera tahu kelanjutannya

02 Nov
Balas

terimakasih Pak

02 Nov

Luar biasa goresanmu cerpenis yang sangat handal, boleh nggak kirimkan lagunya di wa ku081342261892

02 Nov
Balas

Terimakasih Pak Sultan. insyaallah akan saya kirim

02 Nov

Wauw keren banget bunda..Rion...gmn ya kasihan jg ni bun..kelihatannya dia tulus sukses selalu bunda...

02 Nov
Balas

Terimakasih Bu Cantik.

02 Nov

Mantap bu

02 Nov
Balas

terimakasih

03 Nov



search

New Post