Sanria elmi

Nama yang diberikan oleh ortu Sanria Elmi Tempat tugas sebelumnya:SMP N 3 Lubuk Batu Jaya kab. Indragiri Hulu-Riau Tempat tugas saat ini: SMP Negeri 2 Lubuk B...

Selengkapnya
Navigasi Web
RAHASIA HATI Episode 38
postermywall

RAHASIA HATI Episode 38

08/12/2020

RAHASIA HATI

Episode 38

Oleh: Sanria Elmi

Malam terasa semakin singkat, waktu seakan berpacu dalam poros hati yang kian menghimpit. Film yang disuguhkan tak lagi mampu kusimak seiring derap hati yang berselimut cemburu. Aku mencoba membuang rasa yang menghujam menikamkan belati di hulu hati, tercabik namn tak berdarah. Tak nampak tapi dapat dirasa. Gegana, gelisah galau merana membungkus rahasia hati yang kian subur tumbuh di kalbu yang membisu.

Selama perjalanan menuju asrama bersama Mas Warso, kebekuan itu makin nyata. Mas Warso telah berupaya mencairkan bekunya hatiku tapi hati ini kian keras membatu membatku semakin direjam pilu.

“Kenapa sih Ra, kok diam aja? Mas salah ya?”

Kalimat yang terucap dari bibirnya tetap terdengar merdu, penuh sayang namun hatiku terlanjur terbakar api yang tak kasat mata. Hangus bagai jelaga menjadi bara yang redup namun asap itu kian mengepul di sudut jiwa yang tak berdaya.

“Sayang, ngomong dong. Kalau Mas salah, Mas minta maaf. Mas nggak bermaksud menyakiti hatimu, Ra.”

Sekeras apa sebenarnya hatiku yang membatu, kalimat permohonan dari dia yang begitu sempurna di mataku tak mampu meluluhkan benteng keegoan diri ini. Aku tidak mengerti mengapa hatiku seperti itu.

“Maafkan aku Mas, aku tidak mampu menjelaskan tentang api yang berkobar membakar puing rasaku,” batinku dalam sesal.

Kulirik lelaki yang duduk di belakang setir di sampingku. Dia begitu memesona, tak memiliki kekurangan sedikitpun di mataku. Dia begitu sempurna, lelaki idaman hati. Mungkin ini yang menyebabkan rasaku menjadi mati suri.

“Mas, aku yang harus minta maaf,” ujarku mengalah dengan keegoan diri.

“Ya, kenapa? Kenapa harus minta maaf?”

“Aku banyak salah pada Mas.”

“Nggak sayang, kamu nggak salah apa-apa. Bila rasa cemburu membakar hati, itu tandanya ada rasa yang tumbuh yaitu rasa cinta.”

Mas Warso mampu membaca hatiku yang tertutup atau hanya sekedar berfilosofi untuk sebuah argumentasi yang pantas. Aku mengakui kebenarannya walau tak terucap dari bibirku.

“Mas, aku minta maaf ya atas keegoan hatiku.”

“Keegoan hati? Seperti apa sayang?”

“Mas, jangan tanyakan hal itu, cukuplah hanya aku yang tahu. Mas lelaki baik yang kupuja dan kusanjung bak raja yang telah menguasai seluruh jagad hatiku,” bisikku dalam hati.

“Ra, jangan bikin Mas bingung dong!”

“Nggak usah bingung Mas, anggap saja aku lagi nggak konsen.”

“Nggak konsen kenapa? Tentu ada sebabnya. Mas nggak boleh tahu penyebabnya?”

“Mas lelaki baik yang penuh perhatian, aku senang bisa bertemu dengan Mas.”

“Lalu kenapa Mas nggak boleh tahu?”

“Suatu saat Mas juga akan tahu.”

“Baiklah Ra, Mas tidak akan memaksanya. Hanya perlu Ra tahu bahwa Mas benar-benar sayang sama kamu dan jika boleh, lebih dari itu. Simpanlah semua pengakuan Mas jika Ra mau dan sudi menympannya jika tidak, Mas tidak memaksa karena keterpaksaan itu hanya akan membawa penyesalan dalam diri. Maafkan Mas yang telah membangun harap dan menabur rasa padamu Ra.”

Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. setiap kata yang terucap menjadi rangkaian kalimat yang begitu indah, membuatku kehilangan kata-kata untuk menimpalinya. Diamku dengan debar di dada mengambarkan tentang rasa yang sama mewakili setiap jawaban yang harus kuberikan.

“Terimakasih Mas, sesungguhnya aku tak pantas menerima semua itu dari Mas.”

“Pantas atau tidaknya, biarkan waktu saja yang menjawab. Jika yang baik takkan berubah buruk begitu juga sebaliknya.”

“Sekali lagi terimakasih Mas. Aku tak bisa berkata apa-apa untuk menjawab semua itu.”

“Ya Ra, bagi Mas, Ra tahu dan bersedia mendengarkan semua pengakuan rasa Mas padamu itu sudah lebih dari cukup dibandingkan dengan jawaban apapun. Mas akan menikmati setiap rasa yang mengalir di urat nadi ini bagaikan menikmati racikan kopi tanpa melihat wadah yang tidak akan mengubah kualitas rasa itu.”

“Mas, bagiku kau pun begitu, kau adalah kopi itu,” batinku.

Perang batin antara jujur dan terbuka berakhir sudah. Tak ada yang perlu diperdebatkan, semua sudah jelas. Baik perasaan Mas Warso mapun hatiku. Hanya yang membedakan terletak pada cara mengakuinya. Mas Warso telah berterus terang sementara pengakuanku hanya sebatas dalam lubuk hati yang terpenjara dalam rangkaian harap.

“Mas, handphone-nya,” ujarku ketika melihat handphone Mas Warso berkelip-kelip.

“Bantuin Mas ngangkatnya ya,” pintanya tanpa ragu.

“Tapi Mas,” ujarku ragu.

“Nggak apa-apa angkat saja dan naikkan volumenya!”

Aku menuruti permintaannya.

“Mas yang jawab ya.”

“Ya, sayang.”

Aku menggeser tombol jawab pada handphone Mas Warso yang tidak terkunci sama sekali.

“Assalamualaikum,” ujar Mas Warso ketika panggilan sudah tersambung.

“Waalaikumsalam, War kamu lagi di mana?”

“Lagi di jalan Ma. Ada apa Ma?”

“Kamu bisa pulang sekarang?”

“Ada hal penting apa Ma?”

“Nanti saja Mama jelaskan di rumah.”

“Baik Ma, tapi aku ngantarin teman dulu ke asrama ya Ma.”

“Kamu sama teman? Cewek apa cowok?”

“Cewek Ma.”

“Kalau dia mau ikut, bawa saja ke rumah, besok pagi kan bisa diantar ke asrama. Toh di rumah banyak kamar yang kosong. Tapi kalau dia sungkan, antar saja dulu.”

“Ya Ma.”

“Ya sudah, mama tutup dulu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Sambungan sudah terputus. Kutatap Mas Warso dengan wajah yang tetap seperti sebelumnya.

“Gimana Ra?”

“Apanya?”

“Permintaan mama tadi.”

“Mas, aku isin.”

“Pinter ngomong jawa?”

“Kan aku tinggal di trans Mas, sikit-sikit bisalah.”

“Pasti mama senang kalau ketemu kamu.”

“Mas nanti akan bilang apa tentang aku sama Mama Mas?”

“Soal itu jangan kuatir, Mas akan katakan yang sejujurnya.”

“Nggak, aku nggak mau Mas. Nanti Mama Mas menganggap aku apa jika dia tahu aku sudah bertunangan.”

“Kamu tenang aja, Mas yang akan menceritakannya.”

“Nggak Mas, aku nggak mau Mama Mas kecewa.”

“Jadi Mas harus bilang apa?”

“Teman.”

“Baik Mas setuju, TTM ya?”

“TTM opo Mas?”

“Teman Tapi Mesra.”

“Ah, Mas bercanda aja.”

“Habisnya kamu terlalu serius sih. Kalau masalah perasaan boleh serius sayang tapi masalah menjalani kehidupan semua harus balance. Ada saatnya serius dan ada masa untuk bercanda. Hidup ini sudah rumit, kita nggak boleh memperumitnya lagi.”

“Ya, Mas. Kalau masalah itu emang Mas jagonya.”

Akhirnya kami memutuskan menuju ke rumah Mas Warso. Dalam hitungan menit kami sudah sampai di rumah orang tuanya. Kulirik jam digital di mobil Mas warso sudah menunjukkan angka 11 lewat lima menit.

“Mas, ternyata sudah lumayan malam.”

“Baru jam sebelas, nggak apa-apa, jangan kuatir.”

Kami berdua turun dari mobil yang disambut langsung oleh wanita sebaya Bunda. Beliau adalah Mama Mas Warso. Kusalamai beliau sembari memperkenalkan diri.

“Ayo masuk,” ajak Mama Mas Warso.

Aku mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah yang lumayan besar menurut pandanganku.

“Ra, kamu bisa tidur di kamar ini,” ujar beliau ramah setelah menunjukkan kamar yang bisa kutempati.

“Terimakasih Tante,” sahutku.

“Panggil mama saja, nggak usah sungkan.”

“Ya, Ma.”

Mama Mas Warso mengajakku untuk masuk ke kamar yang bisa kutempati. Aku terkagum melihatnya, kamar yang jauh lebih dari sempurna di mataku.

“Dudukla;h, Mama mau bicara sebentar.”

“Ya, Ma.

Aku duduk di bibir ranjang yang beralaskan seprai motif bunga mawar.

“O, ya, kamu sejak kapan kenal dengan Warsono?”

Mama Mas Warso turut duduk di bibir ranjang sembari menatap menanti jawabanku.

“Sudah sejak aku kuliah Ma. Tapi aku nggak dekat dengannya. Dia kebetulan satu jurusan sama temanku jadi aku kenal dia.”

“Jadi kalian tak punya hubungan apa-apa?”

Dheg! Jantungku hampir meloncat dari rongga dada dan berdegub lebih kencang dibandingkan degub jantungku ketika mendengar pengakuan Mas Warso. Aku tidak mungkin mengakui kalau aku punya hubungan dengan Mas Warso karena pengakuan itu hanya ada dalam hatiku.

Aku menggeleng, “Tidak Ma.”

Pengakuanku yang mengingkari kata hati membuat batinku kembali harus merasakan rasa nyeri di sudut kalbu. Tapi aku tidak punya pilihan lain.

“Syukurlah, tadi Mama sengaja minta agar Warso membawamu ke sini karena dia bilang sedang pergi dengan temannya. Setelah tahu bahwa temannya itu adalah perempuan. Mama ingin tahu dan ingin memastikan bahwa kalian benar-benar hanya berteman.”

“Ya Ma.”

Aku hanya mengiyakan ucapannya walaupun aku tidak tahu apa tujuan Mama Mas Warso.

“Warso belum cerita tentang hal ini. Mama sudah menemukan jodoh yang terbaik untuknya. Dulu dia pernah bertunangan tetapi tunangannya meninggal.”

“Meninggal?” batinku.

“Dia sakit dan dia tidak tertolong lagi. Sejak saat itu Warso menutup diri, tapi setelah dia bekerja sepertinya dia sudah mulai membuka diri. Sebenarnya sebelum kegiatan diklat kemarin Mama berencana mengenalkan dia sama calonnya tapi Mama pikir itu bukan waktu yang tepat.”

“Semoga Mas Warso berjodoh ya Ma.”

Kalimat itu kurancang setelah bersaha berdamai dengan hatiku yang bergejolak.

“Aamiin, kamu memang gadis yang baik.”

Aku mencoba tersenyum semanis yang kubisa sekalipun hatiku harus menangis mendengarnya.

“Ah, aku terlalu egois. Seharusnya aku bahagia dan bisa menerima kenyataan untuk kebahagiaan Mas Warso,” batinku.

“Ra, Mama keluar dulu, kamu istirahatlah!”

“Ya Ma, terimakasih banyak.”

Mama Mas Warso meninggalkanku. Segudang gundah yang belum mampu kuredakan semakin menderaku. Kalau saja aku tidak memikirkan Mama Mas Warso yang sudah berbaik hati memberitahukan semua tentang Mas Warso rasanya aku ingin pergi, berlari sejauh yang kubisa.

***

Bu Riana mendekati Warso di ruang tamu.

“Rani mana Ma?”

“Di kamar, sudah malam biarlah dia istirahat.”

“Ya Ma, kalau begitu aku juga mau ke kamarku dulu.”

“Sebentar War, Mama mau bicara, penting!”

“Masalah apa Ma?”

“Masalah kamu War.”

“Masalah aku?”

“Ya, War. Usia kamu sudah hampir kepala tiga, Mama ini sudah tua jadi Mama harap kamu bisa secepatnya menikah.”

“Ma, aku juga sedang memikirkannya.”

“Kamu kelamaan mikir, keburu direbut orang.”

“Ya sabar dong Ma.”

“Mama sudah terlalu lama bersabar. Besok kamu sudah selesai diklat kan?”

“Sudah Ma, tapi aku mau ngantar Rani ke Trans Ma.”

“Apa? Mama nggak ngerti maksudnya. Tadi Mama sudah tanya Rani. Dia bilang kalian nggak ada hubungan apa-apa.”

“Ya, Ma. Rani itu emang temanku. Dia juga temannya ponakan Om Azwan.”

“O gitu.”

“Ya Ma.”

“Kamu yakin bahwa dia hanya sebatas teman?”

Warso terdiam mencoba mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan mamanya.

“Untuk sementara sepertinya begitu Ma.”

“Mama nggak ngerti jalan pikiranmu War.”

“Ma, ada waktunya nanti aku kabari Mama tentang kelanjutannya.”

“Mama makin bingung. Kamu punya rasa dengannya?”

“Aku belum bisa jelaskan sekarang Ma.”

“Baiklah, Mama tunggu.”

“Terimakasih Ma.”

“Kalau begitu lusa kamu punya waktu kan?”

“Insyaallah Ma.”

“Ya sudah, Mama tidur dulu.”

“Ya Ma.”

Warso tidak jadi melangkah ke kamarnya, seribu bayang dan pertanyaan mamanya kembali terbayang. Dia mencoba mencerna kata-kata Mamanya.

“Lusa? Sebenarnya Mama punya rencana apa ya?” batinnya berselimut curiga.

“Apakah dia mau menjodohkanku? Ah! Tidak, aku tidak mau menikah tanpa rasa cinta,” berontak batinnya.

“Atau mama mau tahu tentang perasaanku sama Ra?” pikirnya lagi dalam harap.

“Ra, andai saja kau belum bertunangan aku pasti mengatakan pada mama tentang perasaanku padamu sekrang juga,” sesalnya.

***

Aku mengganti pakaianku dengan baju tidur yang sempat kubeli sebelum pulang. Aku merebahkan tubuhku di ranjang yang berkasur empuk dan nyaman. akan tetapi hatiku dirundung resah dan kecamuk yang tak menentu. Belum rasa cemburu di hatiku lenyap, pernyataan Mama Mas Warso menambah denting pilu bak kematian menggema di sudut hatiku yang terasa kian sunyi.

Perih, begitu sakit mendera di hulu hatiku. Aku tak mampu menafikkan rasaku lagi tapi aku juga tidak berkeinginan untuk berterus terang pada Mas Warso apalagi mamanya sudah menemukan pilihan yang tepat untuknya.

“Mengapa aku jadi begini,” sesalku.

Malam terasa semakin sunyi membawaku berkelana dalam hayal pilu yang tak menentu.

“Haruskah kusesali?”

Aku berusaha membujuk hati agar menerima semua kenyataan tapi hati ini terasa semakin remuk hancur berderai.

Lamunanku buyar ketika kudengar ketukan di depan pintu kamar yang kutempati.

“Aku harus tidur, Mas Warso nggak boleh tahu tentang kecamuk batinku.”

“Ra, kamu sudah tidur?”

Aku mendengar suara Mas Warso tapi aku tidak menyahutinya hingga akhirnya kudengar langkah kaki yang menjauh. Aku lega, setidaknya aku tidak menambah masalah dalam kehidupan Mas Warso.

Aku kembali teringat akan filosofi dari hakikat kopi kehidupan yang ingin kucoba meresapi, memahami dan mengimplementasikannya dalam kehidupanku. Senyum di bibirku masih mampu kusunggingkan dalam menata hati. Terbayang tugas yang akan kuemban dalam tanggung jawabku sebagai abdi negara.

“Aku yakin setiap tanya pasti ada jawabannya, setiap drama pasti ada endingnya,” batinku mencoba berdamai dengan gegana.

Kudekap mimpi dan harapan hingga akhirnya aku pun tertidur menjemput pagi dan hari esok.

Bersambung.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Apa jawabannya? endingnya? Ditunggu lanjutannya

08 Dec
Balas

Terimakasih

08 Dec

Keren sekali buu

08 Dec
Balas

Terimakasih Bu

09 Dec

Keren, selalu bikin penasaran bunda.Lanjutkan dengan karya berikutnya agar terwujud buku tunggal kumpulan cerita pendek. Terimakasih telah setia mengunjungi sriyonospd.gurusiana.id untuk saling SKSS

08 Dec
Balas

Terimakasih

08 Dec

Bagaimana ya kelanjutan hubungan Rani dan Warso. Baik kutunggu saja lanjutannya.

08 Dec
Balas

Terimakasih Bu Teti SDH mampir

08 Dec

Semakin seru nih dilema Rani. sehat dan sukses selalu bucantik

08 Dec
Balas

Terimakasih

08 Dec

Akankah hubungan Rani dan Warso berlanjut?

08 Dec
Balas

Terimakasih Pak

08 Dec

Semakin menarik dan semakin asyik jadi lebih besar penasarannya. Keren Bunda. Salam sehat dan sukses selalu Bunda

08 Dec
Balas

Terimakasih Bu cantik

08 Dec

cerpennya keren Bucan, ditunggu lanjutannya

08 Dec
Balas

Terimakasih Bu Defi

08 Dec

Makin keren dan menarik ibubcantik sahabatku... Keren dan sangat suka... Sukses buat sahabatku yang hebat.. Salam santun

08 Dec
Balas

Terimakasih Bunsay

09 Dec

Selalu keren bundaku. Ditunggu kelanjutannya. Salam sukses selalu.

08 Dec
Balas

Terimakasih Bu

08 Dec

Keren Bu. Semakin seru ..

08 Dec
Balas

Terimakasih pak

08 Dec

Keren Ibu. Kalau memang sayang, dan benar-benar cinta..tolong katakan. Sukses ya Bu. Salam.

08 Dec
Balas

He..he..he... Terimakasih bucantik

08 Dec

Betspa sabarnya Warso. Keren bunda Sanria

09 Dec
Balas

Terimakasih

09 Dec

Keren bunda ceritanya semakin klimaks sukses selalu bunda cantiik..

08 Dec
Balas

Terimakasih

08 Dec

Keren bu, sudah lama saya tidak berkunjung. Sudah banyak episode rahasia hatinya.

08 Dec
Balas

Ya Bu, bisa dimaklumi, terimakasih sudah menyempatkan hadir

09 Dec



search

New Post