Bahasa Medan Bahasa Ibuku
Bahasa Medan Bahasa Ibuku
Oleh: Salamah
Berbicara bahasa ibu untuk kalangan warga di kotaku sangat bervariasi. Menurut sejarahnya, Tebing Tinggi pertama sekali didatangi masyarakat Simalungun. Jika kita melihat bentuk bangunan tua yang masih ada, sangat jelas pola suku Melayu. Ini terbukti dengan corak Melayu pada Anjungan Sri Mersing di Lapangan Merdeka yang menjadi salah satu ikon kotaku.
Dominasi bahasa yang terdengar dimana-mana dan selalu digunakan masyarakat adalah bahasa Jawa, Tapanuli Selatan dan Batak Toba. Selebihnya bahasa Medan lah yang merajai. Keadaan ini membuat banyak anak tak mengenal lagi bahasa ibunya. Kecenderungan bahasa Medan yang sangat dipengaruhi bahasa Indonesia dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari juga memengaruhi anak tak terbiasa dengan bahasa ibunya.
Sama halnya dengan diriku yang terlahir dari ibu bersuku Jawa dan ayah berdarah Palembang. Keseharian di rumah sejak kecil tak terdengar kedua bahasa daerah yang dimiliki orang tua. Jika ibuku bertemu saudara-saudaranya barulah bahasa Jawa digunakan mereka. Meskipun demikian aku selalu mendengarkan teman-temanku saat bermain di masa kecil dulu yang berbicara dalam bahasa Jawa. Sedikit banyaknya aku memahami jika keluarga ibuku saling bercengkerama.
Bagaimana dengan anak-anakku? Bahasa ibu yang kuberikan adalah bahasa sehari-hari yang lazim dipakai masyarakat sekitarku. Kami menyebutnya bahasa Medan. Seharusnya mereka mendapatkan bahasa Palembang dariku karena andai orang bertanya apa sukuku tentu itu jawabnya. Keadaan merubah semuanya. Mereka menikmati bahasa ibunya mengarah ke bahasa Nasional, bahasa Indonesia.
Bagi suku Batak, marga yang disandang menunjukkan bahasa yang dipakai. Anak-anakku memiliki marga yang bisa dipastikan harus pandai berbahasa daerah suku yang dimilikinya meskipun pada penuturan panggilan pada orang yang terpaut kesukuannya. Bahasa daerah menjadi bahasa ibu. Kalimat ini lebih sesuai untuk kondisi yang dimiliki anak-anak berdarah Batak.
Menurut Wikipedia, bahasa ibu adalah bahasa yang pertama dipakai dalam komunikasi pertama seorang anak dengan orang tuanya serta menjadikan bahasa ibu sebagai alat komunikasi sehari-hari. Dikutip dari laman www.kemdikbud.go.id tentang Kemdikbud Turut Peringati Hari Bahasa Ibu Internasional 24 Februari 2020 menyatakan bahwa bahasa ibu adalah bahasa yang pertama kali dipelajari seseorang sejak kecil secara alamiah dan menjadi dasar sarana komunikasi serta pemahaman terhadap lingkungannya. Di laman ini Plt Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) mengatakan bahwa urusan bahasa daerah dan bahasa ibu adalah ciri atau variabel utama dari kebhinekaan, jangan sampai ciri kebhinekaan itu rusak.
Suatu kali ketika anak-anakku masih kecil berkunjung ke daerah yang bahasa ibunya berbeda. Mereka sangat kesulitan karena satu sama lain tak saling mengerti bahasa masing-masing. “Kami ditokoh-tokohi”, kalimat ini bagi anak setempat tak dipahami. Maksudnya mereka ditipu tetapi sebenarnya tidak. Ini bentuk kesalahpahaman karena bahasa. Atas dasar itu pula pergi kemanapun, mereka akan mempelajari bahasa ibu masyarakat setempat. Alasannya klise, tak mau ditokoh-tokohi.
Bagi anak-anak yang sejak awal diperkenalkan bahasa Medan sebagai bahasa ibu, mereka tetap bangga karena itu bahasa daerah setempat. Jika mereka berbicara sangat diyakini orang-orang yang mendengarkan akan memahaminya. Bahasa Medan cenderung mrip dengan bahasa Melayu. Daerah manapun dapat mengerti bahasa ini karena kata-katanya bagian dari bahasa Indonesia.
Dadang Sunendar selaku Plt Kepala Badan Bahasa di laman www.kemdikbud.go.id mengatakan bahwa apabila orang Indonesia mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, bertanggung jawab dalam melestarikan bahasa daerah dan menguasai bahasa asing, maka Sumber Daya Manusia Indonesia akan unggul ke depan. Menanggapi perkataan Pak Dadang, pemilik bahasa Medan telah menguasai dua dari tiga poin yang disampaikannya. Meskipun dari kedua orang tuaku memperkenalkan bahasa Medan dalam keluarga dan kuwariskan pada anak-anakku, namun kami bangga memiliki bahasa Medan sebagai bahasa ibu.
Biodata Penulis
Dra. Salamah M.Pd. guru SMP Negeri 1 Tebing Tinggi ini dilahirkan di Tebing Tinggi pada 21 Juli 1969 telah menyelesaikan pendidikan S2 dari Unimed pada tahun 2013. Buku yang telah ditulisnya berjudul Catatan Short Course di New Zealand (2018), Kuliner Malam Tebing Tinggi dalam Lensa (2019), Tebing Tinggiku Manis di Gurusiana (2021).
Beberapa buku antologi bersama pemenang lomba bulanan di gurusiana sudah dihasilkannya. . Penulis dapat dihubungi di email [email protected] atau WA 082260351560
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen ulasannya, Bunda. Salam literasi
Terima kasih Pak, salam literasi.