Bertahan di Tatanan Kelas Elit Sepakbola (Refleksi Perjuangan Tim Nasional U-23 Indonesia)
Saeful Hadi
Satu rangkaian episode “kisah sepakbola Indonesia” telah usai. Drama yang di skenario awal hanya “kisah mencapai 8 besar” tersebut malah ada skenario tambahan yaitu berkunjung ke Paris, Prancis sebagai sebuah bonus bagi yang terus menyimak dengan setia dan penuh nasionalisme (he..he.., biar nggak tegang.. yuk rileks dulu!). Sebuah catatan sejarah yang tidak terprediksi dengan “tepat” di awal jalan cerita, terutama dengan kiprah “sang anak bawang” atau tim debutan yang tentu saja bukan hanya mengejutkan tapi banyak pula yang “tidak suka”. Mengapa demikian?
Jika dikembalikan ke target awal cerita, tidaklah usah kita banyak mengeluh dan pula menghakimi semua realita yang terjadi. Jelas kalau pun kecewa, ya wajar karena kalau iklimnya selalu menganggap “harus menang terus” pasti yang hadir dongkol. Namun nanti dulu! Perjalanan itu tidak segampang yang kita rasakan sebagai penonton atau bahkan pengamat amatiran, saat hadir di “level persaingan kelas elit”, bumbu-bumbu masakan eh riak-riak “keanehan” adalah hal-hal yang semestinya kita sudah mulai menikmati. Se-nyeleneh apapun pemberitaan tentang “hal yang tidak wajar, hal yang tidak adil, hal yang merugikan”, tetap saja kita harus menerima hasilnya. Lalu kita menyerah? Nanti dulu!
Pembaca paham kan ospek? Ya “kawah candradimuka” sebagai uji mental dan uji nyali menjelang menjadi “bagian dari sebuah komunitas” (khususnya bagi calon mahasiswa baru di kampus) tersebut seringkali menimbulkan hal-hal yang di luar nalar bahkan “kejam”. Saya bukan berarti menoleransi kekerasan dan saya sangat setuju itu tidak boleh ada atau wajib dilenyapkan, namun faktanya seringkali kondisi tersebut adalah ujian mental yang luar biasa dan bisa membentuk karakter kuat terhadap segala situasi yang dihadapi. Tapi apakah berhenti atau hilang? Ah jangan tanya lagi itu, yang jelas sampai tulisan ini tertuang tetap saja “bullying” itu masih ada. Entah kapan berakhirnya, selama masih percaya mitos Thomas Hobbes, “homo homini lupus” atau manusia sebagai serigala bagi manusia lainnya! Lalu apa kaitannya dengan sepakbola?
Pertanyaan tersebut sekaligus juga sisi lain dari pertanyaan, “Dimana kah posisi atau ada di sebelah mana di struktur kekuatan sepakbola dunia, bagi Tim Nasional Indonesia?” Inilah yang seringkali para pembaca, para penggemar bola dan para pecinta Timnas tidak mengetahui dan memahaminya. Akibatnya bukan saja berlebihan terhadap ekspektasi, pula mereka yang tidak “mengerti sepenuhnya sepakbola” melancarkan aksi hujatan, hinaan dan sebar kebencian, jika ditemukan realita tidak sesuai harapan. Jika dibaca pada perspektif etnografi sepakbola dunia (wuih ilmiah banget bahasanya), sampaikan saja pertanyaaan, Indonesia ada di posisi mana sih di sebuah kerajaan sepakbola dunia? Jadi wahai saudaraku, sekarang haruslah lebih memahami bagaimana peta kekuatan sepakbola dunia dan bisa menyadari sepenuhnya kita ada poisisi mana saat ini.
Banyak aspek harus kita sadari bahwa kita berposisinya harus “tahu diri” dan terus ingin belajar, tanpa terjun lagi ke bawah atau balik kanan kembali ke setelan lama. Kita wajib sekuat kemampuan untuk naik kelas! Ada sebuah pertanyaan yang penting saya ajukan, “Apakah ketika Indonesia kalah dari Qatar di partai perdana grup A pada Putaran Final Piala Asia U-23 membuat Indonesia langsung tersingkir atau kemudian babak belur dan pulang cepat dengan penuh rasa malu?” Jawabannya tidak kan! Padahal terkesan ketika kita begitu “dizalami” saat itu melawan tuan rumah, sepertinya akan berakhir semuanya! Sepertinya sudah datang kiamat! Faktanya kemudian Indonesia bangkit bahkan tanpa diduga justru mampu mengalahkan dua lawan berikutnya yang di atas kertas dianggap juga sangat berat, yaitu Australia dan Jordania. Indonesia pun mencetak sejarah lolos ke babak 8 besar pertama kali di debutnya pada turnamen Piala Asia U-23! Hebat!
Ketika sang “anak bawang” ini tiba-tiba “nyelonong” terus dan bahkan membuat salah satu raksasa sepakbola Asia, Republik Korea terjatuh menggelepar ketika rekornya hancur, tentu saja tatanan elit itu kaget setengah mati dan mungkin merasa, “ini anak bau kencur sudah kelewatan!” Nama Indonesia ada di jajaran elit 4 besar (bahkan tidak bisa diikuti oleh tuan rumah yang ambisius, Qatar yang takdirnya harus kandas oleh Jepang di 8 besar) tentu saja tidaklah lagi dianggap sebelah mata dan harus mulai diwaspadai termasuk dengan “skenario” yang lain dengan lebih “cantik”. Sah-sah saja, bagi “pengelola” untuk menentukan bagaimana “jalannya peta” itu bisa menarik dan menjual daripada sekadar melotot terus dengan kehadiran “anak baru” di lingkaran elit yang menggemaskan.
Sihir sepakbola kelas elit, haruslah disadari bukan sekadar pergulatan teknik, fisik atau strategi permainan atau pangsa pasar pemain, namun juga adu mental, tekanan psikologis dan riak-riak invisible hand yang tidak kita sadari atau tidak terlihat secara kasat mata. Versi saya, sangat wajar Rizky Ridho dan kawan-kawan akhirnya bercampur dalam nuansa “gugup” dengan kelelahan yang teramat sangat, sehingga akhirnya tidak bisa menjaga stabilitas konsistensi. Kondisi demikian, maka secara psikologis para pemain menjadi kehilangan fokus dan tidak cepat bereaksi dalam situasi pertandingan yang begitu penting. Jika melihat peta kita ada dimana, situasi yang dihadapi para pemain adalah wajar karena alur ceritanya ada di masa “ospek”. Mentalitas turnamen kelas elit belum sepenuhnya kita jiwai bahkan mungkin masih remang-remang.
Bumbu cerita tidaklah kemudian sesederhana itu. Prestasi cemerlang yang dicapai, adalah konsekuensinya mendapatkan resistensi yang luar biasa, khususnya yang “bergumul dengan euforia” tanpa perpijak ke bumi. Misalnya ketika target hanya 8 besar, kemudian berhasil lolos ke semifinal, adalah wajar bagi sebagian penggemar “yang masih awam” berpikir bahwa “harus menang lagi”. Sementara kondisi di lapangan tidaklah seideal yang dibayangkan, terutama faktor-faktor non teknis, seperti dinamika keputusan wasit, rentetan jadwal pertandingan yang mepet dan melelahkan serta durasi waktu pertandingan yang sangat menyiksa. Kondisi tersebut “diperparah” dengan situasi tidak selamanya pemain andalan utuh dalam starting line up atau ada yang absen, entah karena akumulasi kartu atau cedera, sementara para pengganti atau pemain cadangan, belum sepenuhnya satu “level” dengan pemain andalan yang menjadi skema terbaik pelatih. Kedalaman tim adalah wajib tertata dengan memadai jika ingin mengarungi kelas elit, tidak bisa hanya mengandalkan satu dua pemain itu-itu saja.
Pergulatan permasalahan tersebut sepertinya sampai juga di Paris kemarin. Guinea versi saya, tidaklah seistimewa atau seganas Senegal, Maroko, Mesir, Tunisia atau Nigeria sebagai tim raksasa Afrika. Namun situasi “ketegangan dalam lingkungan struktur elit” cukup memengaruhi bahwa Indonesia agak bermain “kaku” atau “grogi”. Persoalannya bukan semata-mata absennya Rizky Ridho, Justin Hubner atau tidak hadirnya Elkan Baggot, tetapi memang situasi pertandingan membuat “kelas elit” tersebut sangatlah menguras emosi, psikologis dan konsentrasi. Dinamika kemudian bertambah, bahwa kita baru merasakan kalau “serangan aneh” seperti kontroversi kepemimpinan wasit menjadi semakin memperumit keadaan, padahal dahulu misalnya di Piala Dunia 1986, bagaimana Inggris harus menangis tujuh hari tujuh malam dengan gol tangan Tuhan Diego Maradona dan sampai detik ini negeri monarki besar tersebut belum pernah lagi juara sejak 1966, padahal liganya adalah yang terbaik atau nomor wahid di dunia.
Kegugupan Indonesia terlepas dari adanya drama kontroversial wasit mau tidak mau lebih dominan dalam menentukan hasil akhir kemarin melawan Guinea. Pada situasi pertandingan yang sangat penting seperti itu, tentu saja fokus harus benar-benar seratus persen termasuk kondisi fisik. Hadirnya dua hadiah penalti untuk Guinea, walaupun prosesnya perlu diperdebatkan, adalah produk kesalahan sendiri karena tekanan situasi pertandingan. Bukan para pemain kita tidak cerdas, namun “tekanan pertandingan” yang kelas elit, kita belum sepenuhnya siap sehingga ada di mana momen kita kehilangan konsentrasi atau fokus menurun termasuk kegagalan menyamakan kedudukan yang terus berulang. Pada kondisi demikian, para pemain tidak perlu dipersalahkan karena mereka sedang dalam “program ospek” menuju stabilitas kelas elit. Intinya disini harus siap jatuh bangun!
Lalu kita ngoyo dan menyerah? Nanti dulu! Tantangan cuaca yang berbeda jauh dengan Indonesia walaupun dalam tim ada beberapa abroad yang bermain di Eropa, untuk faktor ini sepertinya Pratama Arhan dan kawan-kawan berhasil mengatasinya. 90 menit plus tambahan waktu yang cukup lama, para pemain tidak terlihat bermasalah mengenai hal tersebut. Namun, ya kembali ke konstelasi elit, tidak cukup hanya permasalahan teknis, fisik maupun mental, juga keberuntungan dan tidak lengah dalam situasi genting. Jadi tak ada kata kita “kalah”, hanya kita belum beruntung dan belum rezekinya, plus masih harus menjalani “proses ospek” secara intensif di tatanan kelas elit sepakbola agar terus eksis di dalamnya.
Fakta bahwa Indonesia belum bisa mewakili mendobrak mitos wakil Asia selalu kalah di partai play off adalah harus diterima dengan lapang dada dan jika dilihat dalam perspektif pendatang baru kelas elit adalah wajar. Siapapun harus bisa legowo dan menyadari bahwa level kita sebagai “pendatang” kelas tinggi tersebut. Setidaknya ada nama Indonesia dalam rangkaian gebyar sepakbola elit dunia pada fase play off memperebutkan satu tiket ke Olimpiade Paris adalah sebuah pencapaian manis, apapun hasilnya. Ini tercatat dalam sejarah. Oleh karena itu, tanpa mengurangi rasa hormat kepada siapapun, saya berharap hentikan segala hujatan, nyinyiran, cacian dan kebencian ketika saudara-saudara kita yang sudah berjuang memperoleh hasil yang tidak sesuai harapan. Ketika target atau standar sudah terlampaui berarti itu artinya sudah mencapai tahap “juara” dan bukan semata-mata mengangkat trofi atau piala.
Pembelajaran berharga yang semestinya menjadi bahan untuk memperbaiki kekurangan dari rangkaian cerita menjadi subjek ospek dalam tatanan elit sepakbola ini. Salah satunya PSSI segera membenahi kompetisi di dalam negeri, semaksimal mungkin dan sesegera mungkin. Mulai dari insfrastruktur seperti stadion, standarisasi mutu dalam klub dari berbagai aspek termasuk pembinaan usia muda, pembenahan wasit, situasi pertandingan yang menyesuaikan dengan tingkat elit seperti penggunaan VAR (Video Assistant Referee), pembinaan suporter serta berbagai aspek standar minimal untuk sebuah kompetisi yang lebih profesional dan modern. Ujungnya adalah bisa menghasilkan para pemain yang memiliki kemampuan tidak hanya teknis, fisik, juga mentalitas yang hebat. Bukan tidak mungkin, produk kompetisi domestik ini, klub-klubnya bisa berprestasi di tingkat Asia, maupun para pemain banyak diminati klub-klub besar luar negeri terutama Eropa. Pada kondisi ideal seperti itu, maka tidak ada lagi kekhawatiran pelatih Tim Nasional siapapun dia dengan gap kualitas antar pemain karena “persediaan” melimpah dan siap bertarung di level tinggi.
Mengakhiri tulisan yang cukup panjang lebar ini, saya mengajak penuh rasa hormat kepada siapapun terutama penggemar bola dan pecinta Timnas Indonesia, marilah jaga kondisi masuknya Garuda Asia ke jajaran elit ini dengan suasana yang sejuk. Kritiklah dengan santun dan proporsional serta berbasis data yang akurat. Boleh berbeda pendapat dan pandangan, namun bukan untuk saling menjatuhkan terutama bagi para pemain yang sudah berjuang mengerahkan segalanya. Percayakan sepenuhnya kepada tim pelatih, khususnya STY untuk memberikan yang terbaik, kita tinggal menonton, menyimak dan mendukung serta mendoakan sepenuhnya. Saya yakin Putaran Final Piala Dunia 2026 nanti ada naman Indonesia sebagai salah satu pesertanya. Aamiin ya rabbal alaamiin!
Yuk terus dukung dan doakan yang terbaik untuk Tim Nasional Indonesia!
Terima kasih Timnas U-23 Indonesia!
Salam Tim Nasional Indonesia!
Salam sepakbola!
Cineam, Kabupaten Tasikmalaya, 10 Mei 2024
Di ruang tamu rumah ibu bakda salat Jumat
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar