DOLPHIN REWARD MOTIVATION Terapi Efektif Membentuk Karakter Disiplin
Jika boleh berkata jujur, sebagai guru hari ini rasanya ingin menjerit sekuat tenaga. Marah, kecewa, geram, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Rentetan peristiwa di luar nalar yang mewarnai dunia pendidikan benar-benar menjadikan guru tertekan. Guru yang katanya pahlawan, ternyata hari ini hanyalah punakawan. Guru yang harusnya dihormati, hari ini seolah tak bertaji.
Bagaimana tidak, berbagai peristiwa terkini seolah semakin memojokkan guru ke pinggiran. Melihat kelakuan milenial, Genzi dan generasi Alpha yang tak terkendali. Miris. Banyak kasus viral yang seolah mendiskreditkan guru. Pak Guru Sambudi yang divonis penjara karena mencubit murid yang tidak mau salat, Bu Guru Khusnul yang jadi tersangka karena ada muridnya yang cedera dan dinilai lalai menjaga, Pak Guru Zaharman yang buta karena matanya diketapel orang tua murid yang tidak terima anaknya dimarahi karena merokok dan yang terbaru Ibu Guru Supriani yang dijebloskan ke penjara karena mendisiplinkan anak polisi.
Marwah dan wibawa guru tak lagi terjaga. Maraknya kasus guru yang dipidanakan oleh wali siswa menjadi bukti betapa tipisnya kepercayaan masyarakat dan rendahnya penghargaan mereka terhadap sosok guru. Guru yang seharusnya digugu dan ditiru (diikuti dan diteladanai), hari ini justru diakronimkan dalam meme humor guru artinya wagu tur kuru (songong dan kurus). Jika ditelusuri, akar masalah dari hal tersebut adalah akumulasi berbagai hal vital. Selain pengaruh konten-konten viral yang tak mendidik, perubahan paradigma di tingkat masyarakat tertentu juga turut memberikan andil. Kehidupan hedonism dan materialism yang mengakar di budaya masyarakat kita hari ini, juga menyumbang munculnya sikap meremehkan profesi guru yang sudah umum dengan label sederhana dan bersahaja. Di sisi lain, tentu tidak menafikan maraknya oknum guru berkasus yang terjerat masalah tak bermoral dan bahkan mungkin tak layak disebut guru karena perbuatan dan laku kriminal yang dilakukannya. Viralnya kasus penggelapan, korupsi, penipuan, pelecehan dan pelaku kekerasan fisik yang dilakukan oleh banyak oknum guru menjadi sasaran bulan-bulanan netizen nyinyir khas negeri +62. Akibatnya, Integritas dan kapabilitas guru sebagai sosok teladan yang diidolakan pun terjun bebas. Meskipun, pada faktanya masih banyak guru berprestasi dengan integritas dan kualitas yang tak terbatas.
Pola pikir, gaya hidup, style fashion, mindset berpikir generasi muda benar-benar sangat dipengaruhi para sosialita. Pesohor viral, selebgram, youtuber, tiktoter, semuanya menjadi panutan yang diadopsi dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, saat dunia maya menjadi panutan, maka dunia nyata pun terlupakan. Guru sebagai agen perubahan menjadi serba salah di era digital. Kebutuhan teknologi super tinggi dengan berbagai macam aplikasi digital, mau tak mau mewajibkan guru mengizinkan siswa mengakses gadget. Di sisi lain, lemahnya pengawasan dan kesibukan orang tua, menjadikan gadget sumber petaka. Terlebih bagi siswa-siswi pemula yang belum bisa memaksimalkan fungsi nalarnya untuk memfilter semua informasi yang diiterima. Belum lagi buruknya pergaulan bebas, tanpa peduli pranata dan aturan yang semakin menghancurkan identitas jiwa generasi penerus bangsa. Meski masih banyak generasi yang berprestasi, namun tak sedikit pula yang sudah terkontaminasi oleh berbagai pengaruh negative yang merusak karakter dan mereduksi nalar warasnya.
Kondisi darurat etika para generasi muda, kiranya perlu segera diberikan langkah konstruktif yang solutif. Jika tidak ingin negeri ini hilang tanpa pewaris, tentu harus bergegas membenahinya. Displin menjadi kunci utama dari kesuksesan. Perbaikan pertama tentu dimulai dari individu siswa. Jika per individu bagus, maka akan terbentuk masyarakat yang juga bagus. Dengan disiplin akan muncul keteraturan hidup yang berimbas pada kedamaian dan kemakmuran kehidupan bangsa dan negara. Maka, hal urgent yang diprioritaskan adalah membentuk karakter disiplin dari pembiasaan.
Jika generasi zaman dulu menggunakan terapi punishment, kiranya di zaman dunia terbalik ini, kita bisa menggunakan kebalikannya, terapi reward. Mendengar cerita kakek atau orang tua zaman dahulu saat mereka bersekolah, guru benar-benar menjadi sentral. Tak ada protes apalagi tindakan balas dendam jika guru melakukan kekerasan saat mendidik. Bahkan kadang orangtua justru memarahi anaknya yang tidak menaati gurunya. Tentu kekerasan yang dimaksudkan masih dalam batas kewajaran dalam perspektif mendidik dan mengarahkan ke jalan kebaikan. Sunguh ironi jika dibandingkan kondisi hari ini.
Namun, kita juga harus menyadari bahwa perubahan adalah niscaya. Zaman dan keadaan sudah jauh berbeda hingga wajar pula jika banyak hal yang berubah. Mendampingi generasi hari ini, kita berposisi sebagai mitra, kawan dan bukan lagi sebagai guru ansich. Hari ini, apapun harus kita diskusikan dengan mereka. Membuat aturan untuk menciptakan keteraturan pun harus diawali dengan kesepakatan. Dengan demikian, aturan yang berasal dari sebuah kesepakatan akan mudah dilaksanakan karena tidak bersumber dari sebuah keterpaksaan. Kesadaran diri menjadi dasar kuat kedisiplinan. Maka digunakankanlah strategi motivasi hadiah lumba-lumba (Dolphin Reward Motivation).
Strategi Dolphin Reward Motivation diilhami dari bagaimana seekor lumba-lumba yang notabene hewan tak berakal, bisa menjadi sangat patuh terhadap perintah pelatihnya. Usut punya ust, jika ditelisik lebih jauh ternyata setiap berhasil melakukan suatu aksi semisal melompat atau melewati gelang-gelang besi, sang pelatih selalu memberinya imbalan/hadiah berupa makanan.
Ternyata reward berupa sesuatu yang menyenangkan menjadi motivasi utama anak dalam banyak hal termasuk berdisiplin. Contoh kecil dalam pembelajaran : sering diadakan kuis yang rewardnya hanya berupa Bintang, ternyata jauh lebih efektif merangsang partisipasi dan keaktifan anak dalam proses pembelajaran. Yang perlu diperhatikan bahwa pemberian reward bukanlah menjadikan para siswa bermental budak yang melakukan sesuatu hanya karena ingin mendapatkan reward saja. Namun, lebih dari itu, selain menumbuhkan motivasi pada diri anak, juga dalam teori Behaviorisme disebutkan bahwa sesuatu yang dilakukan berulang kali akan menjadi kebiasaan. Awalnya mungkin hanya award oriented, tapi lama kelamaan akan menjadi kebiasaaan. Kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus atau kontinue lama kelamaan akan menjadi karakter yang menyatu pada individu siswa-siswi kita.
Terbentuknya karakter disiplin pada siswa, selain factor tersebut, juga harus didukung adanya inter relationship yang baik antara guru, siswa dan orang tua. Guru kreatif memberikan berbagai stimulus, siswa aktif memberikan respon dan orangtua melakukan drill untuk sebuah pembiasaan di rumah. Tentunya dibutuhkan korelasi san koordinasi optimal untuk menjadikan sebuah system berdaya guna dengan paripurna. Jika koordinasi paripurna tercipta, maka bisa dipastikan pembentukan karakter disiplin pada individu siswa akan terealisasikan dengan sempurna.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereen tulisannya mantap