Jiwa sosial Satriyo tetap tak berubah. Sejak kecil, jiwa berbaginya sudah nampak. Dari masih ada ayahnya, atau sekarang, tinggal kami bertiga pun, tidak merubah karakter sosialnya. Aku tak perlu bingung, kalau wafer satu kaleng hilang dari lemari, atau buah di kulkas cepat habis. Paling-paling dibawanya ke tempat teman-temannya ngumpul.

Dalam hal pelajaranpun, Satriyo lebih gampang menangkap ilmu-ilmu sosial. Pelajaran yang bersifat hafalan, Satriyo cepat dan senang. Tetapi kalau belajar matematika, agak lambat.

Malam ini, Aku membimbingnya, mengerjakan tugas matematika, materi pecahan. Agak tertatih-tatih, Satriyo berusaha memahami soal-soal yang kami bahas. Ketika membahas pecahan 8 di bagi 8, Satriyo spontan menjawab 0. Aku agak kesel, hal sepele saja salah. Ku ulangi dengan perumpamaan, Mamak mempunyai anak 2, Mas Dewa dan Satriyo. Mamak punya 2 roti, di bagi untuk 2 anak mamak. Adik dan mas Dewa, masing-masing dapat berapa. Satriyo memandangku dengan wajah sedih, “Trusss, Mamak dapat apa?’