Rosnadeli Kartini S

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Teman Hidup

Teman Hidup

Teman Hidup

Narti menyandarkan punggung ke bangku di taman kota. Desiran angin di kala sore mampu memberinya rasa aman dan nyaman.

Di sini, di kota ini hanya tempat ini yang mampu memberinya arti sebagai manusia, yang mau menerima kekurangannya tanpa menghina, yang tersenyum tulus tanpa meminta imbalan apapun.

Bunga-bunga asoka berjejer bagai pagar, aneka warnanya tersusun rapi. Di mulai dari merah, kuning, dan merah muda. Sepertinya, para pekerja yang menanam bunga itu sudah memprediksi letak keindahannya. Begitu juga pohon Pucuk Merah yang berjejer sepanjang jalan. Dari jauh akan terlihat nuansa merah menaungi jalan hingga sampai ke pendopo utama.

Di depan pendopo itu, arena bermain anak-anak sengaja disediakan pemerintah kota sebagai tempat berkumpul keluarga. Ada yang membawa sepeda, sepatu roda, atau papan seluncur. Riuh kata, gelak tawa mengisyaratkan bahwa kebahagiaan tengah mengitari mereka.

Tidak dengan Narti, perempuan muda itu hanya mampu menarik napas dalam lalu menerawang. Pikirannya seolah menembus awan putih yang tengah berarak.

“Kau tahu kenapa jika pesawat jatuh selalu dicari kotak hitamnya, Nar?” tanya Samsul, suatu hari saat mereka tengah duduk di taman kota ini.

“Mana mungkin aku tahu, Sam, naik pesawat saja tidak pernah,” jawab Narti lalu tersenyum.

“Ya, enggak mesti naik dulu juga, Nar, baru tahu.” Samsul berujar lalu memandang lurus ke arah pedagang bakso bakar. Di depan sana ramai anak-anak mengantri ingin membeli panganan itu.

Narti tak mau membalas, dia tahu sikap Samsul, jika sudah begitu jawabannya, pasti lelaki itu sedang kesal.

Bagi Narti cukuplah Samsul mau menjadi teman bicaranya, dia tak mengharapkan banyak. Cukup untuk didengar saja Narti sudah senang. Hanya Samsul yang mengerti dirinya. Luka, bahagia tak ada yang terlewati. Samsul selalu setia menjadi pendengar, dia adalah teman hidup sesungguhnya.

“Karena di dalam kotak hitam itu terekam semua jejak, Nar. Dia seperti otak manusia,” terang Samsul dengan mata berbinar. Bola matanya yang hitam seperti arang, seolah menyala.

“Ah, andai otak kita mampu diambil lalu dilihat rekamannya, tentu akan sangat menyenangkan, bukan?”

Narti menggeleng, dia benar-benar tidak tahu. Apa pernyataan Samsul itu benar. Lelaki hitam manis itu selalu punya pernyataan di luar kemampuan Narti. Itu yang membuat mereka kerap tak sejalan dalam berbicara. Namun, baik Samsul dan Narti tak punya teman lain selain berdua.

“Apa yang kau ingin lihat dari rekaman otakmu, Sam. Bukankah kita bisa mengingat apa yang ingin kita ingat, dan melupakan apa yang kita tidak mau?” Narti bertanya tanpa memandang Samsul. Pandangannya juga tertuju ke arah bakso bakar itu, aroma bakarannya menggoda selera. Narti memegang perutnya yang belum diisi sejak siang.

Kemudian Narti tersadar saat Samsul tak menimpali jawabannya, dia melihat wajah Samsul yang berubah. Matanya tak lagi menyala, redup seolah terkena siraman air dingin.

“Aku ingin melupakan pertemuan kita, Nar.”

Narti menghela napas dengan berat, jawaban dari Samsul sudah dapat ditebaknya. Namun, dia tidak menyangka Samsul akan secepat itu mengutarakannya.

Narti berusaha tak terpengaruh dengan jawaban Samsul, walaupun hatinya tergores.

Pernyataan itu seolah menampar kesadarannya.

Dia lalu kembali bertanya dalam hati. Benarkah kita bisa melupakan apa yang tak ingin kita ingat? Dan, hanya mengingat apa yang membuat kita tersenyum.

Ah, jika semudah itu tentu Narti tak akan bertahan dalam keadaan ini.

Narti menyelipkan rambutnya ke telinga, desiran angin sore kian kencang. Namun, tak ada tanda-tanda mau hujan. Awan putih masih tetap memesona di atas sana, ditingkahi cahaya senja, alam seolah tengah memamerkan keindahannya.

Narti melihat sebelah kiri bahunya, tak ada Samsul lagi di sana. Padahal, ingatan tentang lelaki itu ingin dihapusnya. Dia ingin melupakan semua dan memulai hidup baru. Sama seperti yang dilakukan lelaki itu terhadapnya. Namun, itu tak mudah. Dia tetap tak bisa memilih ingatan mana yang harus tetap tinggal.

**

“ Dasar Narti, tak ada angin tak ada hujan tahunya hanya ketawa sendiri,” cibir seorang tetangga lalu diamini oleh yang lainnya.

Narti tak peduli dia hanya memandang sekilas kerumunan ibu-ibu lalu mengumbar tawa.

Tawanya menggema, mengisi kekosongan gang buntu yang dilewatinya.

Kemudian, dia berhenti sejenak saat melihat sebuah rumah kosong tak berpenghuni. Narti berjalan mendekat ke arah bangunan itu. Cat putih sudah mengelupas, kusen jendela lapuk dimakan rayap. Namun, dia tetap melangkah lalu berusaha membuka pintu rumah.

“Saaam, aku sudah datang, Sam. Bukalah pintunya,” ucapnya lantang seraya mengetuk pintu dengan keras.

“Saaam, maafkan aku, Sam, aku tak akan meninggalkanmu lagi.” Ucapannya semakin melemah seiring rombongan anak meneriakinya dengan sebutan gila.

Narti terduduk lemas di depan pintu. Air matanya tak mau berhenti, sementara teriakan anak-anak itu semakin kuat. Lalu, sebuah lemparan batu mengenai punggungnya.

Segera Narti berdiri lalu berteriak kencang, “ Hey, tahu apa kalian tentang hidup, hah!”

“Samsul itu lelaki baik-baik, bukan seperti yang kalian tuduhkan.”

Napasnya memburu dengan tangan berkecak pinggang.

“Kemari kalian! Panggil si Gustafa itu sekalian,” serunya yang tentu hanya disambut oleh angin.

Narti muntab, segera dia menggulung lengan bajunya lalu mengejar anak-anak yang telah berpencar. Dia berlari sambil berteriak. Namun, anak-anak itu telah menghilang, bersembunyi entah dimana.

Narti menghentikan langkah saat menyadari hanya ada angin di depannya. Dia tersungkur kembali di tepi jalan gang buntu.

Samsul telah pergi meninggalkan sejuta kenangan. Lelaki itu lebih memilih bekerja kembali di negeri orang untuk mengumpulkan rupiah. Sementara, Narti terlunta-lunta dikejar rasa bersalah karena telah menipu dirinya sendiri.

Bukan, bukan, dia ingin menipu siapapun, ini lebih karena dia tak mau Samsul terluka jika mengetahui keadaannya.

Di negri seberang itulah mereka ditakdirkan bertemu, lalu sepakat untuk pulang agar bisa memulai hidup baru berdua. Narti pulang terlebih dahulu ke kampung halaman untuk mengabarkan berita bahagia itu. Namun, semua berakhir saat Gustafa—preman kampung—berniat mengantarnya pulang ke rumah. Lelaki bejat itu merontohkan mahkota Narti, lalu menuduh Samsullah yang melakukannya.

Narti bingung. Perempuan itu tersadar saat terbaring lemah di rumah kosong. Tak ada orang yang ditemuinya selain Samsul yang menatapnya dengan pandangan sinis.

Kilatan kenangan itu membuat Narti meraung-raung, menarik rambutnya sendiri dengan napas yang memburu.

Tak ada yang peduli lagi. Semua pergi menjauh, meninggalkan perempuan muda itu dalam keheningan paling dalam.

Mentari semakin condong ke barat, awan putih telah berubah warna seiring dengan suara tilawah dari pengeras suara Musala.

Narti kembali berdiri lalu menyeka peluh dan air mata. Dia berjalan menuju asal suara.

“Aku akan baik-baik saja tanpa dirinya, aku bisa bertahan. Bukankah Tuhan selalu menurut prasangka hambanya?” Narti menguatkan diri lalu tertatih.

“Masa-masa ini hanya serupa batu kerikil,” ucapnya terus menyakinkan diri.

Sebuah sepeda motor terparkir di depan musala, Narti mematut wajah dan melihat betapa dirinya telah banyak berubah. Dia terpaku hingga sebuah suara menyentakkan lamunannya.

“Ayo, Nar, masuk. Ini ibu bawakan baju ganti dan mukena. Kau bisa membersihkan dirimu di sana.” Perempuan tua yang menegurnya itu tersenyum, tak ada wajah penghakiman yang tersirat.

Narti membeku. Dia tak menyangka masih ada manusia yang berhati malaikat.

“Ayo cepat, sebelum azan berkumandang,” ucapnya lalu menuntun Narti menuju kamar mandi.

Narti mengangguk. Tiba-tiba hatinya dipenuhi oleh letupan kegembiraan. Begitu cepat Tuhan mengabulkan permintaannya, mengirimkan orang untuk membantunya.

Ah, mengapa tak dari dulu dia berprasangka baik.

“Tak usah kau pikirkan masa lalu, Nar. Gustafa sudah mendapat hukuman atas perilakunya,” ucap perempuan tua itu sesaat sesudah Narti keluar dari kamar mandi.

Mata Narti berbinar lalu memeluk perempuan tua itu yang tak lain merupakan ibu dari Gustafa.

“Maafkan ibu, Nar. Kau berhak untuk bahagia.”

Narti mengangguk, lalu menyadari ternyata teman hidup yang terbaik adalah berprasangka baik pula.

Dumai, 23 Januari 2022

#Tantangan_gurusiana365

#Day17

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post