Rosnadeli Kartini S

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Tak Seindah Senja Di Purnama Bagian 5 ( Day 24)

Tak Seindah Senja Di Purnama Bagian 5 ( Day 24)

Saya celingak-celinguk mencari keberadaan Pak Rian. Setelah mengucapkan terima kasih kepada resepsionis, saya gegas menuju pintu keluar. Namun, lelaki itu tak saya temukan.

Saya mencari tempat duduk. Bagaimanapun bangun pagi dengan kondisi yang tak mendukung membuat kepala sakit. Saya ingat betul tadi malam tak bisa memejamkan mata barang sejenak. Entah mengapa, begitu banyak pertanyaan, kenangan yang melintas di benak secara bersamaan. Itu semua membuat pikiran saya meloncat-loncat.

Saya memegang perut yang tiba-tiba saja berbunyi. Ah, lambung ini minta diisi rupanya.

Suara klakson mengagetkan saya, terlebih saat kaca mobil diturunkan, dan saya dapat melihat Pak Rian tengah memegang setir tanpa memandang ke arah saya. Saya pura-pura tak peduli. Lalu melayangkan pandangan ke sisi lain. Dia mengulang kembali klaksonnya hingga berkali-kali, membuat beberapa orang memandang ke arah kami seolah ingin mengatakan hentikan kebisingan ini.

Saya segera masuk di pintu belakang dan memalingkan wajah. Pak Rian tampak tidak peduli, segera dia menekan pedal dan mobil melaju di jalanan.

Kota di hari libur begitu padat. Lalu lalang kendaraan seperti air yang mengalir dari atas bukit, tak ada habisnya. Setiap lampu merah menyala maka deretan kendaraan berjejer seperti ekor ular. Kami harus menunggu hingga dua kali lampu merah hingga bisa berjalan kembali.

Saya berusaha menegar-negarkan hati dengan menggeser layar ponsel dan melihat foto di galeri. Sungguh, tak ada niat untuk memulai pembicaraan. Pak Rian tampak sedang sibuk berbicara melalui telepon, seperti ada seseorang yang tengah menunggunya di suatu tempat.

“Sudah turunkan saja saya di terminal bus, saya bisa pulang sendiri,” ungkap saya ketika mendengar dia berulangkali meminta maaf di telepon.

Dia berdeham lalu menepikan mobil di depan sebuah pusat perbelanjaan.

“Apa kau yakin? Apa tidak takut diculik atau digoda lelaki hidung belang?” tanyanya sambil menoleh ke belakang.

Saya tertawa, menertawakan semua kejadian yang telah terjadi, juga tentang pertanyaan konyolnya.

“Hai Tuan Muda yang baik hati dan tidak sombong, saya bukan anak kecil lagi. Sepertinya saya justru harus lebih hati-hati dengan lelaki tak berhidung di depan saya ini,” jawab saya yang langsung dibalas dengan derai tawanya. Saya sempat terkesima terlebih ketika hari ini dia tak mengenakan kaca mata. Lelaki itu tampak lebih segar dan tentu menggoda.

“Oke, kalau itu maumu. Akan saya kabulkan. Padahal saya sudah berniat ingin mengantar pulang, tapi sudah lah. Lagi pula, gara-gara kamu kencan saya hampir saja gagal.” Pak Rian berujar lalu melajukan kembali mobilnya.

Saya mengangguk setuju, walau entah mengapa tiba-tiba saya merasa ada cahaya yang meredup di hati. Ah, ternyata lelaki ini sudah ada yang punya.

**

Bus berjalan pelan, saya duduk di dekat jendela sambil memandang deretan pohon sawit yang seolah bergerak. Alunan musik terdengar lembut di telinga, memanjakan mata dan badan yang hendak beristirahat. Biasanya saya akan mudah terlelap di dalam perjalanan lalu terjaga saat sudah sampai di tujuan. Namun, kali ini berbeda. Ada yang tertinggal dan tak mudah untuk dilupakan. Kenangan semalam di Pekanbaru rasanya layak untuk diulang kembali kilasannya. Ah, saya merasa tak siap untuk melupakannya.

Satu jam lebih saya habiskan untuk melamun saja. Beruntung tadi saya sempat belanja cemilan, hingga sisa perjalanan saya isi dengan mengunyah. Bus tampak terisi, walau tidak penuh. Orang-orang lebih senang naik kendaraan pribadi. Apalagi semenjak jalan tol Pekanbaru-Dumai sudah diresmikan.

Saat melihat marka jalan, saya bersiap-siap, sebentar lagi bus akan berhenti di terminal. Namun, seketika jantung saya seakan berhenti berdetak saat menyadari proposal tak ada di dalam tas. Keringat dingin hadir begitu saja, lalu dengan kewarasan yang masih ada, saya mencoba mengingat kembali alur perjalanan.

Tiba-tiba ponselnya saya berdering, menampilkan nama Bu Santi di layar.

“Ya ampun, Nir, kamu di mana? Tangan kanan Pak Bos sudah sampai di rumah Ibu,” ucapnya dengan nada suara yang mengkhawatirkan.

“Tangan kanan Pak Bos? Bukankah itu artinya Pak Rian?” Saya bertanya dalam hati, apa maksud semuanya ini. Apa Pak Rian telah sampai ke Dumai sebelum saya tiba. Tapi ada masalah apa?

#Tantangan_gurusiana365

#Day24

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Salam literasi

30 Jan
Balas

Salam literasi, Bu. Terimakasih atas apresiasinya

05 Feb
Balas



search

New Post