Rosnadeli Kartini S

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Tak Seindah Senja di Pirnama ( Bagian.8)

Tak Seindah Senja di Pirnama ( Bagian.8)

Saya membesarkan mata dan membuka mulut, tak percaya kesimpulan yang diucapkan oleh Nek Yan. Sementara Pak Rian juga melakukan hal yang sama, dia terbatuk-batuk lalu segera meneguk minuman.

“Lo ... enggak usah malu-malu, Nennek senang akhirnya kamu dapat jodoh juga.” Nek Yan menepuk bahu saya lalu duduk kembali di kursinya kemudian mulai berkisah tentang semua masa lalu saya. Nek Yan masih ada hubungan saudara dengan Nenek saya. Lain waktu akan saya kisahkan tentangnya.

Ingin rasanya menyumbat mulut Nek Yan dengan daun sirih tetapi perempuan itu malah lebih bersemangat bercerita terlebih saat melihat Pak Rian menimpali dengan bersahabat.

Saya mengedarkan pandangan mencari keberadaan Bu Santi, memohon pertolongan. Namun, batang hidungnya tak nampak di manapun berada.

“Ooo, jadi memang dari dulu Si Nirma ini suka tidur, ya, Nek,” ucap Pak Rian seraya melirik nakal ke arah saya.

Nek Yan terkekeh lalu berdiri saat Bu Santi dari dalam memanggil namanya agar segera datang.

“Aduh, si Santi ini, enggak bisa lihat orang senang. Sekali-kali lihat daun muda, sudah digangu.” Nek Yan menggerutu lalu berlalu.

**

Data statistik telah menunjukkan bahwa pengangguran di negeri ini kian mengkhawatirkan. Lulusan sarjana yang tiap tahun bertambah tidak sebanding dengan lapangan kerja yang ada. Belum lagi ditambah dengan lulusan sekolah menengah, maka bisa dibayangkan bagaimana sulitnya bertahan hidup. Dan, naasnya dulu saya termasuk diantaranya.

Entah berapa ratus lembar surat lamaran yang saya tebar ke seluruh instansi di kota semuanya hanya berakhir tanpa kabar berita. Jika pun ada, saya selalu kalah dalam sesi wawancara. Semua teori telah saya terapkan dalam menghadapi perawawancara : tampil rapi, bicara menyakinkan, serta perbanyak senyum. Namun, itu semua hanya membuat saya semakin gundah dalam menjalani hari. Rasanya sangat sulit untuk mengharapkan wakil rakyat mengerti hal ini. Perasaan digantung ketika menunggu hasil wawancara keluar itu menegangkan.

“Percuma kau disekolahkan jika tak mampu cari uang sendiri,” ucap Mamakku saat melihat saya hanya duduk termenung di depan rumah. Saya hanya menunduk dan membiarkan kata-kata selanjutnya terbang bersama desau angin sore. Begitu lah Mamak, tak ada niatnya sedikitpun mengobati kekecewaan saya, justru malah menambah luka.

Bukan saya tidak menghargai orang tua tetapi rasanya semua usaha telah saya lakukan. Namun, belum ada jalan. Cahaya itu seolah tengah bersembunyi di suatu tempat yang tak dapat saya temukan.

Jangan tanya jika lowongan pegawai negeri disiarkan, saya lah orang pertama yang dengan sigap menyelesaikan semua administrasinya. Namun, sekali lagi, rezeki bukan saya yang mengatur.

“Tak usah sedih, Nir,” kata Nenek saat melihat saya bermuram durja.

“Kau mau Nenek kenalkan dengan teman Nenek yang punya menantu pengusaha?”

Saya menatap Nenek tak percaya, ternyata pergaulan Nenek saya oke juga.

“Dua minggu lagi, Si Yan—teman Nenek itu—akan datang ke sini. Ada undangan nikah dari anak keponakannya di sini.”

Saya mengangguk pasti, setidaknya saya bisa terhindar dari tatapan tajam dan sindiran keras Mamak.

#Tantangan_gurusiana365

#Day31

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post