Rosnadeli Kartini S

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Rahasia Pak Bagas

Rahasia Pak Bagas

Akhir bulan september selalu memberikan arti tersendiri bagi Pak Bagas. Lelaki yang telah memiliki dua orang cucu itu, kerap menantikan akhir bulan ini sembari menonton televisi.

Tontonan yang membawanya akan kisah kasihnya bersama Bu Hilda-mantan kekasihnya dahulu.

Sebuah film dokumenter tentang sejarah pahlawan revolusi. Film itu begitu membekas di hati Pak Bagas. Bagaimana tidak, selama masa mudanya dia adalah salah satu panitia di kampungnya yang mengatur susunan acara nonton bersama.

Dan, disanalah putik melati itu bersemi.

“Bu, jangan lupa nanti malam sediakan cemilan yang banyak ya. Kita akan menonton kembali film kenangan,” suruh Pak Bagas kepada Bu hilda-istrinya.

Bu Hilda menganggukkan kepala, kemudian bergegas ke dapur. Perempuan berkulit sawo matang itu, telah membeli sekilo ubi untuk di goreng sebagai cemilan.

Usai salat isya, Pak Bagas telah duduk di sofa merah menunggu film dokumenter diputar.

“Ayoo Bu, kemari. Kita nonton sama-sama,” ajak Pak Bagas.

“Ada apa sih Pak, bukannya tiap tahun kita sudah nonton film ini,” jawab Bu Hilda dengan bibir maju kedepan.

“Iya, ada yang Bapak ingin tunjukkan ke Ibu, spesial.” Pak Bagas mengedipkan matanya kemudian menowel hidung Bu Hilda.

Bu Hilda hanya tersenyum, kemudian berdiri dari tempat duduknya.

“Ibu ke belakang dulu Pak, ambil ubi gorengnya. Nanti panggil ya Pak,” ujar Bu Hilda kemudian melangkahkan kaki.

Film telah dimulai, Pak Bagas dengan serius menonton setiap adegan yang ditampilkan di layar.

“Bu cepat, kemari,” pekik Pak Bagas

Dengan tergesa-gesa Bu Hilda, menuju ruang tengah tempat menonton film.

Di layar sedang menunjukkan seorang pria muda membaca surat di kala malam menjelang tidur, kemudian menyimpan surat itu dengan sangat santun. Ada kerinduan yang terpancar dari binar matanya.

“Beginalah Bapak dulu,Bu. Ketika rindu menyapa, hanya surat dari Ibulah sebagai pelipur lara,” ucap Pak bagas kemudian mengenggam tangan Bu Hilda.

Dahi Bu Hilda mengernyit kemudian berkata,” surat?”

“Masa Ibu lupa. Usia boleh tua, cucu sebentar lagi mau tiga, tapi kenangan indah jangan dilupa.” Pak Bagas bersuara seraya menatap mata istrinya.

“Bukannya kita dijodohkan Pak? Aku bahkan tak tahu wajah Bapak dulu,” ungkap Bu hilda dengan mata membulat.

“Ayo, perempuan yang mana lagi itu,” lanjut Bu Hilda dengan suara naik dua oktaf.

“Hilda...,aduh siapa ya.”

Bu hilda berdiri dengan napas yang tak teratur. Dilihat lelaki didepannya memang mirip dengan aktor di televisi. Kulit putih, hidung mancung serta postur tubuh yang tinggi. Wajar saja, ketika muda Pak Bagas banyak kekasihnya.

“Tunggu Bu, jangan marah dulu. Biar bapak jelaskan.” Pak bagas berdiri, kemudian mengambil ponsel di atas meja cokelat.

Sebuah pesan tertera disana.

[Ini akhir september, saat putik melati dihati kita bersemi. Masih ingatkah kau Bagas?

Kutunggu Dudamu

Dari Hilda yang berbeda]

“Bukannya ini pesan dari Ibu?”

Bu Hilda murka, dibantingnya ponsel ke lantai. Kemudian masuk ke kamar.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post