Rosnadeli Kartini S

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

HARAPAN ITU MASIH ADA

Halimah berdiri mematung di pagar depan sekolahnya, sebelah tangannya memegang besi hitam yang berfungsi sebagai pintu masuk ke sekolah ini. Hari ini tepat dua bulan, dia sudah tidak bersekolah lagi.

Kepergian bapaknya yang begitu mendadak, membuat hidupnya berubah seketika. Tak ada lagi sekolah, tak ada lagi belajar.

Belum sebulan ditinggal bapak, ibunya sudah kehabisan beras. Bahkan, beras yang diantar orang ketika melayat itu pun telah habis. Perempuan beranak empat itu mulai meminjam beras ke tetangga demi menyambung hari demi hari. Bu Maimunah langsung limbung. Tak punya modal, tak punya keahlian dan tak ada keluarga lain dapat diminta bantuan.

Sedangkah Halimah gamang, bermalam-malam tak bisa tidur. Memikirkan nasib ibu dan ketiga adiknya. Sebagai anak sulung, beban itu seolah berpindah kepundaknya.

“Bu, aku akan bekerja,” ucapnya suatu hari dikala pagi menyapa. Saat itu, dia dan Ibunya sedang menanam batang ubi di halaman rumah.

Awalnya ibunya menolak. Berat bagi Bu Maimunah untuk melepas Halimah bekerja. Perempuan beranak empat itu tahu, Halimah begitu mencintai sekolah. Baginya belajar adalah hal yang paling menyenangkan. Tetapi, akhirnya dia luluh ketika Halimah mengatakan tak bisa menerima jika adik-adiknya berhenti sekolah karena biaya sekolah.

“Aku akan ikut Rina, Bu,” usulnya dengan mata penuh keyakinan.

“Hanya mengutip barang-barang bekas di jalan lalu di jual ke Pak Raden. Setelah itu ditimbang lalu diberi uang,” jelasnya sembari memengang tangan ibunya.

Bu Maimunah bergeming. Tak tahu harus bagaimana. Disatu sisi dia, tak rela anak sulungnya meninggalkan sekolah dan bekerja. Tetapi disisi lain mereka butuh uang untuk makan.

Disinilah dia sekarang, dijalanan menjadi seorang pemulung. Bermodalkan karung bekas sebagai tas untuk mengumpulkan barang yang didapat. Halimah dan dua temannya yang lain, berjalan menyisiri setiap sudut kota. Mencari dan mengutip botol kemasan bekas atau apa saja yang bisa laku kembali untuk dijual.

“Ayo Halimah jalan! Nanti keburu siang,” ucap Rina kemudian menarik tangan Halimah.

Halimah menghirup napas lebih dalam kemudian mengeluarkannya secara berlahan. Lalu mengikuti langkah kaki temannya. Mungkin mimpinya terlalu tinggi, sehingga dia begitu terpukul ketika terjatuh,” batinnya.

Ingatannya mundur kebelakang, ketika bapaknya masih ada.

“Belajar yang rajin nak, dengan belajar kau akan bisa menjadi apapun yang kau mau,” ucap bapaknya seraya mengelus rambut hitam halimah. Saat itu Halimah sedang mengerjakan tugas dari sekolah.

“Bercita-citalah setinggi langit, agar menambah semangat dalam belajar,” lanjut Bapak.

Cita-cita Halimah sangatlah sederhana, dia hanya ingin menjadi guru sekolah, seperti Bu Zubaidah, guru agamanya.

Bu Zubaidah yang ramah dan tak pernah marah selalu mampu menerangkan pelajaran dengan baik. Halimah selalu terkesan dan mengikuti semua anjuran yang dikatakan oleh beliau.

Beberapa kali Bu Zubaidah datang ke rumah Halimah untuk menyampaikan surat dari sekolah, bahwa Halimah masih diperbolehkan mengikuti pembelajaran di sekolah. Tetapi Halimah ragu. Baju sekolahnya sudah kusam, sepatu sudah tak lagi muat belum lagi perlengkapan alat tulis yang lain. Alasan itu selalu membuat dia malu untuk kembali bersekolah.

Sinar mentari kian terik, kala Halimah dan teman-temannya berteduh di bawah pohon ketapang yang tumbuh di pinggir jalan. Mereka beristirahat sejenak seraya meneguk air minum dalam botol yang dibawa dari rumah.

Jalanan kian ramai oleh mobil, pedagang asongan, gerobak dorong dan orang-orang yang berlalu-lalang. Di seberang jalan, toko-toko dengan etalase kaca memajang baju baru yang bergelantungan menguarkan aroma khas, kotak sepatu, aneka tas dan mainan warna warni.

Halimah hanya mampu memandang barang-barang baru itu dalam diam.

“Lihat Halimah, perempuan di seberang jalan itu melambaikan tangan ke arahmu,” ucap Rina dengan suara pelan.

Halimah mendongak. Celingak-celinguk mencari sosok orang yang dimaksud. Perempuan berbaju cokelat itu menyebrang jalan kemudian kian mendekat.

“Halimah?” tanya perempuan berkaca mata itu.

Halimah mendongak, kemudian melihat dengan seksama perempuan di depannya.

“Bu Zubaidah?” jawabnya kemudian halimah kembali menundukkan kepala.

“Kenapa kau tak bersekolah?” tanya Bu Zubaidah seraya melihat satu persatu teman di samping Halimah.

Halimah hanya diam kemudian menggesekkan alas kaki ke ubin lantai.

“Ayo kita ke rumahmu. Ibu ada kabar baik dari sekolah dan juga untuk ibumu.”

***

“Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu”.

Andrea Hirata.

Berulangkali Halimah membaca kata penyemangat yang tertulis di novel kesayangannya. Sebuah buku hadiah terakhir dari Bapaknya.

Di halaman paling depan buku itu tertulis sebuah pesan indah dari Bapaknya.

Untuk Halimah, anak kesayangan Bapak.

Jangan pernah berputus asa dari harapan ,walau itu hanya setitik. Teruslah mengejar mimpi hingga menjadi kenyataan.

Semangat.

Anak perempuan berumur tiga belas tahun itu, selalu membaca buku itu sebelum tidur. Membayangkan Bapaknyalah yang mengulang kata-kata itu di telinga hingga dia terlelap.

Benarkah Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kita? Benarkah setitik harapan itu bisa terwujud walau dalam kemiskinan?

Halimah dan Bu Zubaidah tiba di rumah, tepat ketika azan zuhur selesai berkumandang.

“Bu Zubaidah, ada apa?” tanya ibu halimah kala melihat anak sulungnya datang tidak sendirian.

“Ayo masuk dulu,” ajak perempuan berhidung bangir itu.

Sebuah rumah kayu peninggalan suaminya inilah yang menjadi tempat berteduh halimah. Ketiga orang adiknya sedang bermain di ruang depan. Ruangan itu memiliki sejuta fungsi. Mulai dari ruang tamu, ruang makan, ruang tidur juga ruang keluarga.

Bu Zubaidah mengangguk pelan kemudian mengikuti langkah kaki bu Maimunah. Sementara Halimah, bergegas ke belakang untuk membersihkan badan dan menyediakan minuman.

“Enggak usah repot-repot Halimah, Ibu sebentar saja,” ucap Bu Zubaidah ketika melihat Halimah sudah datang dengan nampan berisi dua gelas air putih.

Semilir angin masuk melalui pintu yang terbuka. Menerpa wajah ketiga perempuan yang tengah duduk bersila.

“Ini Bu, saya mau menyampaikan surat dari sekolah. Bahwa, Halimah masih bisa bersekolah. Tidak usah memikirkan biayanya, alhamdulillah beberapa hari yang lalu ada donatur datang ke sekolah,” jelas Bu Zubaidah sembari menyerahkan surat yang masih berada di dalam amplop putih.

Halimah melihat ke arah ibunya untuk meminta persetujuan.

“Masalah baju dan lain-lain juga tak usah dipikirkan. Sudah ditanggulangi oleh pihak donatur,” lanjut Bu Zubaidah seolah tahu apa yang menjadi masalahnya.

“Sayang lo Bu, Halimah ini merupakan salah satu siswa berprestasi di sekolah.”

Bu Maimunah tersenyum kepada Halimah dan Bu Zubaidah, bukan karena tawaran yang sudah berulangkali di sampaikan kepadanya. Melainkan, karena ada perasaan haru yang menyelinap di balik jiwanya. Rasa perhatian yang luar biasa didapatnya setelah ujian kehilangan.

Tak terasa bulir air mata menetes dan jatuh ke pipi Bu Maimunah, perempuah paruh baya ini mencium tangan Bu Zubaidah dengan takzim.

Pekerjaannya baru yang dilakoninya sebagai tukang cuci, akan dilakukannya dengan baik. Demi, keempat anak-anaknya yang butuh masa depan.

“Terima kasih Bu, atas perhatiannya,” ucapnya seraya menyeka air mata.

“Sama-sama Bu, nanti akan saya usahakan juga bantuan untuk adik Halimah.”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post