Rosnadeli Kartini S

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Di Balik Ponsel Baru Siti

Di Balik Ponsel Baru Siti

Sejak Siti menerima paket dari Ayu--anaknya—dia menjadi pendiam. Tidak banyak kata yang keluar dari mulut perempuan enam puluh tahun itu. Hampir setiap hari dia hanya terduduk di muka rumah dengan pandangan kosong. Joko--suaminya—sudah kerap menasihati agar tak terlalu peduli dengan isi paket itu.

“Bagus, to, Buk, anak kita masih ingat dengan orangtuanya,” ucap Joko ketika melihat Siti untuk kesekian kali hanya melihat kotak persegi itu

“Lihat si Karmin atau si Parjo, sudah tiga tahun ini tidak dikirimi apa-apa oleh anaknya yang merantau.”

Siti bergeming lalu menghela napasnya lebih dalam. Dia juga sudah tahu mengenai kabar itu, bahkan anak Warti--tetangganya—hampir lima tahun tak ada kabar berita. Anak-anak mereka bagai lenyap ditelan waktu.

“Ya sudah ... dibuka kotaknya. Bapak juga penasaran apa isi paket ini. Mana tahu emas batangan, bisa kita jual untuk dijadikan modal beli bibit sawit.” Joko terkekeh lalu menyandarkan punggung ke kursi.

Tak pelak Siti ikut tersenyum juga mendengar ucapan Joko. Baginya itu tak penting, dia hanya menginginkan Ayu dalam keadaan sehat dan sering berkirim kabar. Sudah hampir dua tahun, Ayu tak pernah pulang kampung. Terlebih saat-saat sekarang, ekonomi makin su

Siti menimang kembali kotak berukuran persegi itu lalu meletakkannya kembali. Dia semakin ragu dengan keputusannya, apakah akan membuka kotak ini atau menunggu Ayu untuk kembali.

“Atau biar Bapak saja yang buka?” Joko mengambil kotak tersebut lalu secepat kilat Siti menariknya kembali.

“Tidak bisa, Pak. Biasanya Ayu menelpon dulu kalau mau kirim barang. Ibu menunggu itu,” kata Siti kemudian mendekap kotak tersebut.

“Ah, mungkin dia lupa, Bu, kalau sudah mengirim paket, kan, si Edo bilang Ayu sekarang sudah jadi orang penting di kota. Sudah jadi sekretaris bos, pasti banyak kerjaannya.”

Edo adalah teman Ayu yang dulu sama-sama merantau, tetapi kini telah dipecat.

Joko lalu mencomot ubi goreng. Lelaki itu menoleh ke arah Siti kemudian membiarkan istrinya larut dalam pikirannya.

Semilir angin sore masuk melalui kisi-kisi jendela, membelai wajah lelah Siti. Matanya tertahan pada pintu rumah, berharap Ayu datang untuk memeluknya. Sudah lama sekali, anak semata wayangnya itu tak menjeguk mereka. Terhitung sejak Ayu naik jabatan di kantornya. Semua perhatian Ayu beralih ke sana.

“Apa kita buka saja, Pak?” Siti tampak ragu-ragu.

Joko hanya mengangguk lalu menyeka mulutnya.

Siti menahan debar di dada saat satu per satu pembungkus kotak itu terbuka. Matanya melotot ketika melihat isi kotak tersebut. Sebuah ponsel yang sangat tipis dan masih bersegel.

“Wah, handphone baru, Bu.” Joko mengelus setiap sisi bagian ponsel itu lalu tersenyum.

“Ini persis seperti punya Pak RT kita ... bapak sering melihatnya ... kata orang ini mahal, Bu.” Mata Joko berbinar.

**

Malamnya, Joko memanggil Edo untuk mengajarkan menggunakan ponsel tersebut. Mulai dari mengisi nomor kontak, menulis pesan, mengambil gambar, hingga melakukan panggilan video. Joko sangat antusias sementara Siti hanya menatap nanar barang tersebut.

“Wah, ini benar-benar hebat, ya, Do. Jadi kita bisa menelpon sambil melihat gambar?” Joko terus mengajukan pertanyaan hingga lelaki itu benar-benar paham menggunakannya.

“Wah, perhatian sekali si Ayu, ya, Pak. Dengan ponsel ini bapak dan Ibu bisa bertemu Ayu setiap hari. Bisa dengar suaranya, pokoknya bagus.

“Benar bisa, Nak Edo?” tanya Siti lalu duduk di sebelah Joko.

“Iya, Bu, asal ada pulsanya,” jawab Edo lalu tersenyum.

Siti ikut tersenyum lalu meminta Edo untuk melakukan panggilan kepada Ayu.

“Ini, Bu, sudah tersambung.” Edo menyerahkan kembali ponsel tersebut kepada Siti, kemudian pamit.

Siti menunggu dengan tak sabar, berulangkali dia memandang Joko lalu tersenyum.

Tersambung.

Siti menahan napas tak sabar melihat wajah anaknya. Dia tak bisa berkata-kata ketika orang yang selama ini dirindukan telah berada di depan mata.

Ayu melambaikan tangan seraya mengucapkan salam. Siti belum juga mampu berkata-kata, dia membiarkan rindu itu menemui tempatnya.

“Bu, maaf Ayu tak bisa lama, lain waktu kita sambung lagi, ya.”

Siti terdiam.

“Lain kali biar Ayu saja yang menelpon, biar Ibu tidak menganggu pekerjaan.”

Siti terpaku baru saja rindu itu hendak merekah kini harus tertutup lagi. Padahal, perempuan sepuh itu telah menunggu cukup lama untuk bercakap-cakap dengan anaknya.

Tanpa sadar, Siti meneteskan air mata. Dadanya bergetar menahan getir.

“Sudahlah, Bu, Ayu memang lagi sibuk bekerja untuk kita.” Joko berujar seraya mengusap wajahnya.

Ponsel itu dibiarkan Joko dan Siti tetap di atas meja, sampai benar-benar Ayu menelponnya kembali. Namun, itu tak terjadi.

Dumai, 22 Januari 2022

#Tantangan_gurusiana365

#Day15

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

semoga selalu suises dgn cerpen2nya... salam

21 Jan
Balas



search

New Post