Rosnadeli Kartini S

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Anak Pemberani

Anak Pemberani

#Tantanganguru_harike-3

Resensi Buku

Judul Buku : Si Anak Pemberani

Penulis : Tere Liye

Tahun terbit : Cetakan 1, Desember 2018

Jumlah halaman : 424 hlm

Review

Buku yang baik tidak pernah dilihat dari sampulnya, bukan? (halaman 32)

Itu adalah salah satu kutipan kalimat favorit saya di buku ini.

Sampul boleh sederhana, tetapi isi dalamnya luar biasa. Itulah yang saya rasakan ketika membaca lembar demi lembar buku ini, tak mau berhenti membaca sampai di akhir halaman. Bahkan beberapa kali saya menyeka air mata yang tiba-tiba mengenang di kelopak mata.

Novel ini menceritakan tentang kisah keluarga Pak Syahdan dan Mak Nur beserta empat orang anaknya. Eliana, Pukat, Bulian dan Amelia. Kita diajak kembali ketahun 1970 sampai dengan 1980, ketika listrik belum ada hanya bermodal lampu petromaks lampu canting pada malam hari. Di sebuah kampung di bukit barisan pulau Sumatera.

Kisah ini dimulai ketika truk pembawa pasir datang mengeruk pasir di kampung, sehingga merusak segala ekosistem yang ada di alam. Para penambang dengan rakus melahap semua hasil alam tanpa mempertimbangkan keseimbangan.

Seluruh penduduk desa merasa keberatan dengan keberadaan truk dan segala kegiatannya tersebut. Pak Syahdan sebagai orang yang dituakan di kampung telah beberapa kali melakukan negosiasi kepada pihak terkait baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Tetapi belum membuahkan hasil.

JANGAN HINA BAPAKKU (Halaman 28)

Kalimat penuh keberanian itu diteriakkan oleh Eli ketika melihat Bapaknya dihina ketika melakukan negoisasi itu. “... jangan pernah bersedih ketika orang menilai hidup kita rendah. Jangan pernah bersedih, karena sejatinya kemuliaan tidak pernah tertukar. Boleh jadi orang yang menghina itulah yang lebih hina. Kalian tidak harus selalu membalas penghinaan dengan penghinaan, bukan? (halaman 29)

Membaca buku ini saya jadi tahu, bahwa menjadi anak sulung begitu berat. Hal itulah yang dirasakan oleh Eliana. Gadis kecil itu harus bisa menjadi alarm, mandor pengawas bagi ketiga adiknya. Eli terbebani oleh itu, dan karena suatu hal Eli kabur dari rumah.

“Jika kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian” (halaman 305). Itu adalah kalimat dari Wak Yati—kakak Bapaknya, ketika menasehati Eli saat kabur. Bagian ini sungguh menyentil kesadaran diri, bahwa seringkali kita melupakan jasa ibu di rumah, beliau bangun sebelum orang di rumah bangun dan melakukan semua tugas tanpa mengeluh. Dan pada masanya, kita sudah berada diposisi itu, menjadi orang tua.

Tokoh yang lain, yang begitu membekas di ingatan adalah Pak Bin—seorang guru di sekolah dasar. Mengajar semua mata pelajaran dari kelas satu sampai kelas enam dengan kondisi bangunan yang memprihatikan. Tetapi, semangatnya luar biasa.

“...maka pengetahuan itu tidak berhenti hanya tahu saja. Sia-sia Bapak mengajar kalau hanya berhenti di situ. Pengetahuan seharusnya memberikan pencerahan, pemahaman bahwa kita harus menjaga kehidupan”(halaman 93)

Selain yang tersurat, pesan yang tersirat dari novel ini sungguh masih melekat diingatan.

Salah satunya adalah bahwa kehadiran penuh orang tua dalam mendidik menjadi teladan bagi anak-anaknya harus benar-benar dilakoni dengan ikhlas. Bagaimana orang tua harus bisa menjadi telinga yang baik bagi anak-anaknya, bagaimana orang tua harus bisa menjadi pemberi petunjuk tanpa anak merasa terbebani. Begitulah yang diajarkan Pak Syahdan kepada Eli, ketika gadis kecil itu kesal terhadap banyak hal. Pak Syahdan datang mendengarkan, memberi pelukan dan menyemangati. Ah, bahwa ayah adalah cinta pertama anak perempuannya itu benar.

Setelah membaca habis novel ini, saya bahkan sudah berniat akan mencari serial lanjutannya, anak spesial, anak pintar dan anak cahaya.

Bagaimana dengan cerita penambangan pasirnya? Apakah para penambang itu berhasil?

“Ada suatu masa di antara masa-masa. Ada suatu musim di antara musim-musim. Ada saatnya ketika alam memberikan perlawanan sendiri. Saat hutan ,sungai, lembah, membalas sendiri perusaknya” (halaman 414).

Kekurangan dari novel ini, ada beberapa kosa kata dari bahasa Belanda yang tidak dimengerti dan tidak ada keterangannya. Tetapi, tetap bisa dipahami setelah membaca kalimat selanjutnya.

Pesan terakhir dari novel ini adalah jika kalian tidak bisa ikut golongan orang yang memperbaiki, maka setidaknya jangan ikuti golongan orang yang merusak. Jika kalian tidak bisa berdiri di depan menyeru kebaikan, maka berdirilah di belakang dukung orang-orang yang kebaikan dengan segala keterbatasan. Itu lebih baik.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post