Rosnadeli Kartini S

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Aku dan Janji-janji

Aku dan Janji-Janji

Aku menahan napas saat melihat seorang lelaki mengendap-endap dengan sarung dikalungkan di lehernya. Tubuh kecilnya dengan mudah menyelip dari satu celah ke celah yang lain. Sementara, mata

Krasak-krosok!

Lelaki itu akhirnya sampai tepat di depanku. Wajahnya tertutup masker, hanya kedua matanya saja yang tampak.

Purnama masih muda, sinarnya tak terlalu gelap, sehingga aku masih bisa melihat setiap gerak-gerik lelaki itu, sangat mencurigakan.

Lelaki itu terhuyung-huyung, seolah tak kuat menahan beban yang digendongnya. Kemudian, matanya awas memandang sekeliling seraya membuka ransel.

Aku ingin menyergapnya, tapi ketakutanku lebih besar dari keinginanku.

Dia mengeluarkan palu dan beberapa lembar selebaran lalu menempelkanya. Aku heran, kenapa harus tengah malam dan kenapa mesti di tubuhku.

Aw!

Aku berteriak dalam senyap. Ingin rasanya kuludahi wajahnya, terlebih saat dia membuka masker sehingga terlihat hidungnya yang masuk ke dalam.

Aw!

Aku mendesah panjang setelah berkali-kali dia mencoba memakukan selebaran itu ke atas tubuhku.

Senyumnya mengembang ketika misinya tuntas. Kemudian, dia mengelus selebaran tersebut lalu tertawa sendiri.

Malam semakin tua, angin bersiut-siut kencang menambah dinginnya malam. Purnama yang menemaniku kini telah hilang ditelan awan-awan gelap, menyebabkan aku tak dapat melihat lagi sosok lelaki itu. Dia bagai hilang ditelan malam.

Aku mendesah napas panjang, lalu tertidur menikmati usapan angin malam yang mencoba mengurangi rasa sakitku akibat ulah lelaki itu.

Keesokan harinya, kerumunan orang membuat dadaku sesak. Stomataku tak mampu menangkap sinar mentari yang hari ini pun sedang bersedih. Mendung bergelayut, awan-awan menjadi kelabu, mentari enggan pula menyapa.

“Pilih nomor tujuh Bapak-Ibu, sudah terbukti kinerjanya,” ucap seorang lelaki sambil menunjuk-nunjuk ke tubuhku.

Aku menggeliat, mencoba menghindar tetapi tentu tak bisa. Ujung kayu itu terlalu tajam, membuat permukaan kulitku tergores.

Aku mengeram kesal.

“Jangan percaya dengan janji-janji yang lain, nomor tujuh sudah terbukti selama lima tahun ini mengabdi.”

“Betul atau benar,” seru pria itu semakin lantang.

“Betuuul.” Serentak jawaban itu terdengar diiringi tepuk tangan.

“Jadi jangan mau ditipu dengan bantuan-bantuan dadakan, ya, Bapak, Ibu.”

Aku menggeleng tak percaya, orang-orang ini masih saja sama. Mencari simpati hingga ke ujung dunia. Mengais-gais suara untuk duduk disinggasana kemudian lupa ketika sudah bertahta.

Orang-orang yang diberi kepercayaan itu pun sama saja, melakukan semua rencana walaupun mesti melukai sesama.

Ah, aku tak yakin, apa aku masih dianggap sesama oleh mereka. Padahal, tanpa kehadiranku di tengah-tengah perkampungan tentu hanya kekeringan yang dirasakan.

Tidak itu saja, jika aku tak ada, maka bisa dipastikan banjir akan melanda bila musim hujan tiba.

Tak belajarkah mereka dari semua bencana yang pernah terjadi?

Tak percayakah mereka bahwa tanpaku kehidupan tak akan mengenal kata hijau?

Aku protes, daun-daun keringku berguguran tepat di kepala lelaki botak yang tengah berbicara itu.

Dia mendongak lalu mencibir.

“Sialan benar lelaki itu,” umpatku.

Aku merasa seluruh tubuhku telah ditutupi oleh beberapa selebaran. Luka di setiap permukaan kulit akibat paku-paku itu menambah rasa marah yang kian membuncah. Bisa-bisanya mereka yang mengaku makhluk berakal, melukaiku tanpa ampun.

Angin seperti tengah bersahabat denganku, udara yang bergerak itu lebih kencang dari biasanya. Namun, suara lelaki itu juga lebih keras dengan toa yang dipegang teman sebelahnya.

“Nomor berapa tadi!” Lelaki lain mencoba bersuara, memberi dukungan pada temannya. Saat aku menyipitkan mata, aku merasa kenal dengan lelaki yang baru bersuara ini.

Aih, sepertinya dia adalah lelaki yang tadi malam datang.

“Betul nomor tujuh.” Lelaki botak itu mengangguk puas lalu membaca sebuah pantun.

Bunga mekar kembang sepuluh

Indah warnanya sungguh memesona

Jangan lupa si nomor tujuh

Selalu setia pada janjinya

Tepuk tangan bergemuruh, mengisi setiap sudut lapangan terbuka ini.

Riuh kata terdengar saling tumpang tindih, berdengung bagai lebah yang tengah marah.

Beberapa orang kulihat membaca selebaran yang tertempel di tubuh sambil berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya. Sementara yang lain masih setia berdiri mendengar lelaki itu berbicara.

Aku mengedarkan pandangan, suasana lapangan terbuka penuh dengan kerumunan orang, semuanya memakai baju dengan nomor yang sama.

“Jawab saja apa kata mereka,” ucap salah satu penonton.

“Yang penting dapat,” imbuh yang lain.

“Kau lihat bingkisan itu, ada bantuan sembako untuk kita.”

Aku ingin tertawa melihat pertunjukan ini, semuanya tampak seperti adegan rekaan saja. Namun, tanpa kamera.

“Jangan lupa Bapak-Ibu, tanggal tujuh pilih nomor ....”

“Tujuuuh,” jawab penonton serentak.

Acara usai. Satu per satu orang pergi meninggalkan aku dan lapangan. Sampah-sampah berserakan, bekas minuman mineral, bungkus makanan ringan, sedotan warna-warni, juga selebaran bergambar.

Sebagian selebaran itu, jatuh lalu terinjak-injak, sebagian lagi dibawa pulang, dan sisanya masih tertempel di tubuhku.

Lelaki botak dan temannya tersenyum puas lalu menelepon seseorang.

“Aman dan terkendali, Pak.”

“Oke, laksanakan.”

Gerimis mengakhiri pertemuan, air yang turun jatuh membasahi tubuhku seolah hendak menghapus amarah yang tengah kurasakan.

Aku seolah mendapat nutrisi, daun-daun baru tumbuh mengisyaratkan lahirnya kehidupan.

**

Aku menarik napas lega ketika semua selebaran itu lepas. Kebebasan sudah menjadi barang langka di zaman ini. Namun, ini tak berlangsung lama. Selebaran yang lain datang lagi, tetapi bukan tentang pemilihan nomor, melainkan tentang segala jenis iklan.

Iklan penyewaan mobil, tempat aneka kursus atau tentang kabar orang hilang.

“Tempel di sini saja, Bung, mana tahu lancar.” Aku mendengar sebuah suara yang tak asing kembali berujar di dekatku.

“Kemarin aku yang menempelkan pengumuman si nomor tujuh di sini, dan dia menang,” jelasnya bangga.

“Ini pohon membawa hoki.” Dia tertawa lalu kembali menempel selebaran baru.

**

Aku tertegun menyaksikan orang-orang datang silih berganti untuk menempelkan apapun di tubuhku. Kemudian, menangkupkan tangan seolah berdoa. Aku tersenyum dalam luka.

Sehingga tiba suatu saat, ketika mentari tengah terik, orang-orang kembali berkerumun. Wajah mereka tak lagi bersahabat, tetapi penuh amarah.

“Tebang .... tebang!” teriak seorang lelaki bertopi merah. Langkahnya lebar-lebar dengan desahan napas berat.

“Jangan biarkan kemusyrikan merajalela.” Lelaki botak ikut bersuara sambil membawa parang di tangannya.

Aku terperenyak, ada apa ini. Mengapa orang-orang itu dipenuhi amarah? Kemusyrikan? Apa pula itu?

“Gara-gara pohon ini, orang tak percaya Tuhan lagi,” seru yang lain dengan kampak di tangan.

“Betuuul!”

“Tebang sekarang juga!”

Kemudian semuanya tampak tak jelas bagiku, kemarahan, peluh, seringai panjang bersatu dalam kabut yang pekat. Aku hanya mendengar bunyi gedebuk! Setelah itu kepalaku pening seperti ada kunang-kunang yang berputar.

Dumai, 8 Januari 2022

Aku terjatuh dalam ketiadaan pembelaan, aku kalah tanpa pernah merasa berlaga.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post