JALAN MENUJU DESA TRANSMIGRAN
Mendengar cerita suka duka warga transmigran di Provinsi Kalimantan Tengah, seolah menyaksikan film India. Penuh liku-liku hidup, penuh tantangan, dan kadang ada kejutan di akhir cerita. Hal itulah yang membangkitkan hasratku tuk segera melangkahkan kaki ke sana.
Desa Mekarjaya, bagian terjauh dari Kecamatan Parenggean, wilayah kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Itulah desa transmigran yang akan kutuju.
Dengan menumpang kapal penumpang PELNI, dari Pelabuhan ‘Tanjung Mas’ Semarang kami bertiga berangkat menuju Pelabuhan Sampit. Satu-satunya pelabuhan yang cukup representatif di kabupaten Kotawaringin Timur. Jam 09:00 Kapal mulai meninggalkan pelabuhan. Sentuhan-sentuhan gelombang amat lembut memukau, membuat jalan kapal jadi tenang, anggun, dan berwibawa.
Pengalaman selama dalam kapal terasa datar-datar saja. Tanpa kejutan, dan tanpa kejadian yang istimewa. Mungkin hal ini disebabkan oleh seringnya kami bertiga menggunakan jasa angkutan ini bila melaksanakan tugas ke beberapa daerah lain di Indonesia.
Setelah kapal berlayar selama kurang lebih 21 jam, tepatnya pukul 06:00, seusai mandi, aku keluar ke dek lima. Aku sendiri tak menyangka, kalau kapal sudah sampai di mulut sungai Mentaya. Hutan bakau sebagai ciri khas wilayah pantai, seolah menyapaku dengan lembut, “Selamat datang tuan-tuan terhormat”
Menurut informasi yang kuterima dari salah satu anak buah kapal, katanya kurang lebih tiga lagi kapal akan merapat di pelabuhan sampit. Anda yang belum pernah ke Kalimantan Tengah, janganlah heran kalau pelabuhan Sampit berada di pinggir sebuah danau raksasa, Mentaya, namanya.
Geliat pagi di sungai Mentaya, merupakan pesona yang amat memukau. Anak kecil mandi, ibu-ibu mencuci, gadis-gadis kecil mandi, orang buang hajat, kelotok (semacam perahu bermesin khas Kal Teng) berlalu-lalang, membuat nahkoda harus super hati-hati dalam mengendalikan baling-baling kapal.
Jam 09:15 Kapal merapat di pelabuhan Sampit, barang-barang bawaan kuteliti satu persatu, agar tidak ada yang tercecer dalam kapal. Kemudian aku dan teman-teman merangsek maju untuk turun dari kapal.
Seperti halnya karakteristik pelabuhan laut lainnya, di Sampit pun demikian juga. Kedatangan kami disambut dengan hiruk pikuk para pedagang asongan, tukang becak, tukang ojek, sopir-sopir angkutan, serta para penjemput lainnya. Dengan keangkuhan seorang petualang, semua kulewati dengan mulus. Aku dan teman-teman lebih tertarik pada sebuag tulisan “Rumah Makan Magetan”, yang berada di seberang jalan pintu keluar pelabuhan. Maklum selama dalam kapal, seolah perut tak mau diisi selain dengan mie gelas yang kami bawa.
Seusai makan aku melihat buku catatan perjalanan dan peta Kalimantan Tengah, lalu kami mencari angkutan menuju daerah Parenggean.
“Cari taksi, Pa ?” tanya seseorang pada kami, mungkin dia seorang kernet atau maklar, aku nggak tahu.
“Ya,” jawabku singkat, aku sedikit curiga dengan pertanyaan seseorang tersebut. Pikirku ‘dimana taksinya ?, yang ada Cuma sederetan mobil Elf (L 300), dan yang terbanyak mobil ‘Kijang’.
“Mana Taksinya?” tanyaku pada orang tersebut.
“Ya, ini Pak, emang Bapak handak Kemana?” Dengan jawaban itu aku baru sadar, ternyata di Sampit, semua jenis angkutan penumpang, baik lewat sungai maupun darat, disebut ‘taksi’.
“Ke Parenggean, ada enggak?”
“O, ada Pak, ada, mari saya antarkan!” sambil meminta bawaan tasku. Dan rupanya orang tadi adalah seorang maklar taksi. Kami bertiga langsung ‘digelandang’ jauh dari tempat itu menuju sebuah mobil ‘Kijang’ di dekat perempatan jalan. Kami bertiga masuk ke mobil sambil menunggu penumpang lainnya.
Kota Sampit, adalah kota kecil yang menurut penilaianku lumayan lah ramainya. Sepintas aku lihat telah banyak dibangun gedung bertingkat, hotel, serta beberapa toko swalayan dan super market berderet di pinggir jalan dekat parkiran mobil yang kutumpangi. Satu hal yang cukup mencolok adalah kesemrawutan lalu lintasnya.
Penumpang penuh, kemudian mobil ‘Kijang’ berplat hitam itu langsung cabut. Aku tersentak kaget, kenapa ulah sopirnya persis seperti pembalap? Dari start langsung tancap gas.
“Santai saja, Bang !” pintaku pada sopir.
“Taksi di sini, rata-rata gini semua, Pak, kalau nggak ngebut rasanya malu sama penumpang”
“O, gitu, yaa?” pikirku dalam dalam hati
Jalan yang kulalui cukup mulus, pemandangan di kanan kiri jalan nyaris tak bisa aku tangkap dan nikmati. Anda bisa bayangkan mobil melaju di atas kecepatan 100 km per jam, mana mungkin aku bisa menikmati pemandangan. Kemudian kulihat kedua orang temanku, mereka pun juga nampaknya kurang bisa ‘enjoy’
Sepintas kulihat, di kanan kiri jalan hamparan semak belukar pada tanah rawa. Pemukiman penduduk di sana-sini aku jumpai, tetapi masih jarang-jarang jaraknya. Rata-rata rumah yang kulihat merupakan rumah panggung rendah.
Setelah kurang lebih dua jam perjalanan, sampailah kami di sebuah pertigaan besar, yang di kanan kirinya berderet rumah makan yang cukup ramai, serta beberapa toko kelontong. Menurut keterangan sopir ini adalah desa Pelantaran.
Mobil berhenti dan parkir di halaman salah satu ‘rumah makan Banjar’.
Kami bertiga memutuskan singgah untuk sekedar mencicipi makanan yang dihidangkan. Yah, lumayan. Waktu itu jam menunjukkan pukul 12:15. Kebetulan propinsi Kalimanatan Tangah masih masuk wilayah waktu Indonesia bagian barat, sehingga aku nggak perlu merubah putaran arlojiku.
Makan di sini mengingatkanku pada sebuah rumah makan di Puncak Bogor. Cara penyajian dan aneka makanan yang disuguhkan amat mirip. Dan rasanya… wow amat fantastis, hingga memaksaku mengacungkan jempol. Selesai makan aku ngobrol sebentar dengan sopir, sekedar mengecek data yang aku bawa, basa-basi aku tanya pada sopir, katanya perjalanan ke Parenggean masih satu setengah jaman lagi, dengan melewati jalan berbatu kerikil yang amat berdebu. Dari informasi itu aku mengakui bahwa catatan dari seorang temanku cukup valid.
Mobil mulai meninggalkan rumah makan, dan ‘pembalapku, mulai sibuk dengan kemudinya. Bekas hutan terbakar, semak belukar adalah pemandangan utama di kanan kiri jalan. Fantasiku kini berada di Afrika mengikuti relli Paris-Dakkar (meski aku belum pernah ikut).
‘Pembalapku’ memang handal, dengan kondisi jalan seperti itu mobil digenjot dengan kecepatan delapan puluh kilo meter per jam. Dan debunya, ya ampun, persis seperti relli di padang pasir, meski semua pintu dan jendela sudah ditutup rapat, tetap saja debunya bisa masuk. Sebuah siksaan yang sempurna, karena mobilnya tanpa AC. ‘Sudah panas, berdebu, lagi’. Untung aku bawa masker, sehingga ‘siksaan’ itu agak sedikit berkurang.
Sebuah perkebunan kelapa sawit kulewati. Sebuah pemandangan yang aku rasa paling sedap dipandang mata, dibanding dengan pemandangan alam sebelumnya. Lepas mata memandang, pepohonan kelapa sawit itu bak pasukan TNI yang sedang berbaris. Lurus rapi dan teratur.
Jam 14:25 tepat arlojiku menunjuk, sampailah aku di terminal Parenggean. Sebuah terminal yang hanya berada di pertigaan jalan, depan masjid Jami’ Parenggean. Aku bersyukur, aku masih selamat memasuki ‘garis finis’. Setelah mengatur nafas yang sempat ‘tercerai berai, dalam perjalanan. Aku bertanya pada petugas terminal, ternyata mobil yang ke desa transmigran tidak ada lagi. Kalu kami akan melanjutkan perjalanan, kami harus carter mobil. Dan harus keluar kocek dua ratus ribu rupiah.
Parenggean adalah sebuah kota kecamatan. Perumahan penduduknya rapat sekali. Rata-rata rumah tersebut di pinggir sungai Tualan, anak sungai Mentaya. Penduduknya ramah, setidaknya seulas senyuman ia berikan kepada kami. Itu berarti mereka tak keberatan atas kedatanganku.
Di sebelah kiri terminal, yang jaraknya kurang lebih 250 meter, kulihat ada semacam pangkalan kayu ‘bantalan’ ukuran 20 Cm kali 10 Cm panjang 2 meter. Di pinggir sungai tertambat beberapa beberapa kapal kecil (orang sana menyebut dengan Imbal), yang akan ‘melangsir’ kayu-kayu tersebut ke dalam kapal yang sandar di Kota Besi. Konon kayu-kayu tersebut akan dikirim ke Jakarta atau Cirebon.
Setelah berunding sebentar kami memutuskan untuk mencarter mobil. Waktu itu arloji menunjukkan pukul 15:05, dan perjalan masih harus ditempuh kurang lebih tiga jam lagi. Aku dan kawan-kawan semoga tidak berhadapan dengan ’pembalap’ lagi.
Mobil berjalan dengan mulus dan kalem, syukur sekali. Sopirnya seorang Jawa, yang juga transmigran. Sepanjang perjalanan kami ngobrol ‘sani-sini’. O, iya, jalan menuju lokasi transmigran itu masih sama dengan jalan sebelumnya. Jalan tanah laterit berwarna merah yang berdebu.
Memasuki perkampungan transmigran, imajiku melompat ke pedesaan di Jawa. Tugu masuk desa, tugu ‘Selamat Datang’ adalah ciri khasnya. Kulihat rumah-rumah penduduk sudah mulai direhap, sehingga ciri khas ‘rumah tran’ sudah hilang. Bentuknya ada yang model kampung, limasan, dan ada pula yang berbentuk joglo. Perumahan tersusun rapi, dengan pagar seragam bercat putih. Yang membuatku sedikit heran, di pinggir kanan kiri jalan terdapat patok-patok kayu bercat kuning.
Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan. Sepi, sahdu, dan tenteram. Hanya sedikit orang yang berseliweran di jalan. Mungkin mereka baru menunaikan sembahyang magrib.
Ada sedikit kebanggan dalam hatiku, ternyata banyak transmigran yang yang sudah ‘berhasil’. Hal itu terbukti telah ada yang punya mobil ‘kijang’, truk, dan colt pick up bukaan. Yang semua disebut ‘taksi’.
Rumah pertama yang kutuju adalah kediaman Kepala Desa. Keherananku pun semakin bertambah. Disepanjang jalan menuju rumah bapak Kepala Desa berderet pedagang kecil menjajakan aneka makanan. Dan di depan rumah pak Kepala desa terdapat panggung dengan menyajikan musik gamelan Jawa, yang mengiringi sebuah tarian gambyong (tarian selamat datang). Di belakang panggung terpampang spanduk besar bertuliskan ‘SELAMAT DATANG PARA PENELITI DARI UGM YOGYAKARTA’.
Ada keharuan menyelinap dalam hatiku. Mata kami berkaca-kaca. Kami turun dari mobil lansung disambut bapak Kepala Desa, yang diikuti barisan panjang warga transmigarn, laki-laki, perempuan, anak-anak, pemuda semua ada. Kami bersalaman, dan bersalaman terus sampai capek. Tas kami sudah diangkut ke rumah pak Kepala Desa. Ada keharuan, saudara-saudaraku para transmigran. Terima kasih. Akan ku kenang slalu peristiwa ini menjadi kenangan yang istimewa dalam hatiku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
kereen, subhanallah
Terima kasih ibu.. Dalam proses belajar menulis Ibu. Ok.. Salam Literasi. Selamat berkarya Ibu..