Perjuangan dalam Duka Kisah Pak Haji Abdul Rahman di Jalan Panjang dalam Pengabdian
Pagi itu, mentari memancarkan sinarnya yang hangat. Namun, bagi Pak Haji Abdul Rahman, S.Pd., seorang guru dari Madrasah Ibtidaiyah Tarbiyatussa'adah, hari yang cerah itu menjadi awal perjalanan penuh duka dan nestapa. Dengan membawa berkas mutasi murid dan perbaikan ijazah di tangannya, ia memulai langkahnya menuju Kementerian Agama Kota Jakarta Barat. Sebuah perjalanan yang ia tahu akan panjang, tetapi tidak pernah ia bayangkan akan seberat ini.
Pukul 09.00 WIB, Pak Haji Abdul Rahman menaiki motor Scoopy kesayangannya yang telah menemaninya bertahun-tahun. Motor itu, meski sudah tua, adalah saksi bisu perjuangannya mengurus berbagai kebutuhan siswa. Dengan hati yang penuh tanggung jawab, ia melaju pelan melewati jalanan Jakarta yang mulai dipadati kendaraan.
Namun, cobaan datang tanpa peringatan. Saat melintasi daerah Kelurahan Kedoya, motor Scoopy yang ia tunggangi tiba-tiba berhenti. Mogok di tengah jalan. Peluh langsung membasahi wajahnya. Pak Haji Abdul Rahman mencoba menyalakan kembali motornya, tetapi sia-sia. Ia turun dari motor dengan napas yang mulai tersengal, mendorongnya ke pinggir jalan sambil memendam rasa kesal.
“Ya Allah, kenapa sekarang?” gumamnya lirih, suara yang hampir tenggelam oleh bising kendaraan di sekitarnya.
Ia tahu bahwa setiap detik sangat berharga. Berkas-berkas yang ia bawa bukan hanya kertas biasa; di dalamnya tersimpan harapan-harapan. Dengan perasaan bercampur antara duka dan amarah, ia berjalan ke bengkel terdekat, mendorong motornya di bawah terik matahari. Tubuhnya lelah, hatinya makin dirundung nestapa.
Di bengkel, sang mekanik memberitahu bahwa perbaikan tidak akan selesai dalam waktu singkat. Pak Haji Abdul Rahman hanya bisa duduk di kursi kayu bengkel yang sudah reyot, memandangi motor Scoopy-nya yang teronggok dengan hati yang makin berat. Pikirannya berputar-putar: tentang tanggung jawab yang belum selesai dia laksanakan.
Jam demi jam berlalu. Waktu menunjukkan pukul 13.10 WIB ketika akhirnya motor Scoopy itu kembali menyala. Tanpa banyak berkata, Pak Haji Abdul Rahman membayar biaya perbaikan dan kembali menaiki motornya. Meski perutnya kosong dan tubuhnya lelah, ia tidak berhenti. Baginya, tugas ini adalah amanah yang harus ia selesaikan, apapun yang terjadi.
Di perjalanan, air mata sempat menggenang di pelupuk matanya. Bukan hanya karena lelah, tetapi juga karena perasaan yang bercampur baur—kesedihan, amarah, dan keinginan untuk menyerah yang ia tepis dengan doa. “Ya Allah, kuatkan aku,” lirihnya sambil mengusap wajahnya dengan tangan yang mulai gemetar.
Akhirnya, ketika matahari mulai condong ke barat, ia tiba di Kementerian Agama Kota Jakarta Barat. Berkas-berkas itu ia serahkan dengan tangan yang gemetar tetapi hati yang sedikit lega. Meski hari itu penuh nestapa, Pak Haji Abdul Rahman tahu bahwa perjuangan ini adalah bentuk pengabdian.


Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Semoga lelah hari ini menjadi berkah untuk esok hari.....