Riyo Arie Pratama

Alumni Pendidikan Fisika UIN Raden Intan Lampung. Seorang Guru di SMP Islam El Syihab Kota Bandar Lampung. Seorang yang suka menulis, berpikir, dan bermusik....

Selengkapnya
Navigasi Web
Membaca Ulang Pendidikan di Tengah Algoritma

Membaca Ulang Pendidikan di Tengah Algoritma

Saya tidak ingat kapan terakhir kali mendengar percakapan yang jujur di ruang guru. Yang saya maksud bukan sekadar tanya jawab tentang silabus atau absensi, melainkan semacam percakapan tentang makna menjadi guru di zaman ini. April tahun 2025 datang seperti jendela kaca yang mulai berembun, kita bisa tahu ada sesuatu di luar sana, tapi sulit melihatnya dengan jelas.

Sebagai pendidik yang kadang suka menulis, saya terjebak dalam dua dunia yang semakin beririsan namun juga semakin menjauh, yaitu dunia gagasan dan dunia kenyataan. Yang pertama hidup dalam narasi, kata-kata, dan idealisme. Yang kedua hidup dalam aplikasi e-learning, laporan supervisi, dan tuntutan kompetensi era digital. Bulan ini, topik yang mendominasi percakapan adalah tentang kurikulum baru yang sedang diuji coba, dan algoritma media sosial yang semakin menentukan pola pikir siswa.

Saya membaca berita tentang bagaimana TikTok Education sedang diujicobakan sebagai media pengayaan materi belajar. "Pendekatan berbasis video pendek akan lebih menarik bagi Gen-Z dan Gen-Alpha," kata mereka. Saya mencoba membuka aplikasi itu. Dalam waktu tiga menit, saya menyaksikan seorang remaja menjelaskan teori Newton dengan koreografi ringan, disusul dengan tutorial make-up, dan kemudian juga suatu ironi menurut saya saat ada seorang influencer remaja membahas "toxic productivity" dengan latar belakang kamar yang terlalu rapi untuk usia 17 tahun-an.

Di ruang kelas, saya menyaksikan siswa saya mulai mengadopsi gaya bicara seperti yang mereka tonton di internet. Intonasi yang diatur seperti voice-over. Gaya melempar punchline yang seolah diprogram. Saya menyadari, mereka bukan hanya belajar pelajaran dari guru, tetapi juga dari algoritma. Maka saya bertanya-tanya, "apakah saya masih relevan?"

Rachel Cusk pernah menulis bahwa kehidupan adalah cermin kusam yang merefleksikan kita hanya ketika kita berhenti menatapnya langsung. Barangkali menjadi guru hari ini adalah tentang belajar menepi atau sekadar mengamati, mencatat, tidak tergesa mengambil kesimpulan. Ketika siswa menceritakan kegelisahan mereka dalam bentuk meme atau komentar singkat, saya belajar untuk tidak menghakimi. Saya menulis, bukan untuk mengajari, tetapi untuk memahami.

Menulis membantu saya bertahan. Itu memberi saya ruang untuk bernapas di tengah tuntutan administratif yang tidak jarang terasa seperti perintah militer. Ketika saya menulis, saya membebaskan diri dari dikte-dikte rubrik penilaian. Saya menulis untuk mengingat bahwa pendidikan, pada dasarnya adalah tentang relasi antar manusia, guru dan murid, masa lalu dan masa depan, tanya dan jawab yang tak pernah benar-benar selesai.

Banyak guru hari ini merasa seperti sedang memainkan peran yang tak lagi mereka tulis sendiri. Kita menjalani hari-hari yang ditentukan oleh agenda orang lain. Maka menulis adalah bentuk perlawanan kecil. Dalam tulisan saya kadang bisa berkata, "Saya lelah," tanpa takut dinilai tidak profesional. Saya bisa berkata, "Saya bingung," tanpa takut kehilangan otoritas. Saya bisa berkata, "Saya ingin berubah," dan itu cukup.

Di tengah semua ini, sekelumit pertanyaan muncul lagi, "apa yang sebenarnya kita ajarkan? Apakah siswa benar-benar butuh tahu siapa penemu hukum Boyle? Atau mereka lebih butuh tahu cara berdamai dengan kegagalan? Apakah kita sedang mendidik untuk masa depan, atau hanya mengulang masa lalu dengan tampilan yang diperbarui?"

Saya mencoba melakukan eksperimen kecil. Saya memberi tugas kepada siswa untuk menulis surat kepada diri mereka sendiri lima tahun ke depan. Tidak ada rubrik penilaian. Tidak ada batasan panjang tulisan. Yang terjadi sungguh di luar dugaan. Seorang siswa, sebut saja Satria, menulis tentang keinginannya menjadi orang yang lebih sabar karena saat ini dia merasa terlalu cepat marah. Lembar lain ada seorang siswi, sebut saja Bunga, menulis tentang ketakutannya jika masa depan hanya diukur dari seberapa viral dirinya.

Saya membaca surat-surat itu dalam diam, hingga menyadari, "mereka tidak butuh guru yang sempurna. Mereka butuh seseorang yang hadir. Yang mendengar. Yang melihat mereka bukan sebagai angka dalam daftar nilai, tetapi sebagai manusia dalam proses."

Di bulan April ini, ketika dunia tampak seperti panggung besar yang penuh bunyi, saya memilih untuk menjadi si penulis sunyi di sudut ruang guru. Saya tidak ingin terjebak dalam narasi besar tentang transformasi digital jika itu hanya berarti lebih banyak layar dan lebih sedikit dialog. Saya ingin percaya bahwa masih ada ruang bagi keheningan, kesalahan, pertanyaan yang tidak langsung dijawab.

Menjadi guru bagi saya, hari ini adalah pekerjaan yang eksistensial. Kita tidak hanya mengajar mata pelajaran. Kita menjadi saksi atas perubahan zaman, dan kadang kita sendiri adalah bagian dari perubahan itu. Saya tidak tahu apakah tulisan ini akan dibaca oleh sesama pendidik atau hanya mengendap di sudut platform Gurusiana. Tapi saya tahu, menulis adalah cara saya hadir, bukan hanya sebagai guru, tetapi sebagai manusia. Dan mungkin, itu sudah cukup.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Saya tidak tahu apakah saya adalah pembaca pertama tulisan Pak Riyo? Intinya tulisan ini keren. Sumpah. Namun, saya yakin bahwa saya adalah penulis komentar yang pertama. Hehehe.

10 Apr
Balas



search

New Post