Rita Dwi Astuti

🎓 Alumni Universitas Negeri Yogyakarta 📚 Pendidikan Guru PAUD 🏫 Guru di TK di kota Klaten. 📱 IG: @rita_dwia 🎬 Channel Youtube : Rita Dwia &n...

Selengkapnya
Navigasi Web
Harapanku Untuk Indonesia

Harapanku Untuk Indonesia

Sekolah ya sekolah saja. Datang, duduk, kerjakan tugas, ujian, pulang. Jangan berani mengkritik sistem pendidikan, guru, atau peristiwa di sekitarmu. Kau hanyalah bocah yang tak tahu apa-apa, lalu apa hakmu untuk bersuara? (Asa)

Siang ini aku teringat sebuah tulisan seorang kawan yang kukagumi akhir-akhir ini. Dia Asa, gadis yang setiap tulisannya dalam mengkritisi sistem pendidikan selalu bisa mewakili perasaanku.Kegemarannya membaca yang membuat ia terlihat cerdas dibanding kami, teman-teman seusianya.

Pemikiran kritisnya bahkan melampui jamannya. Dia mampu menuangkan setiap gagasan ke dalam kalimat apik yang selalu layak untuk dibaca.

Meskipun terkadang aku pun kurang setuju dengan satu atau dua tulisannya, tak lantas membuatku menafikkan bahwa di dunia literasi dia sudah menginspirasiku. Keberaniannya dalam menyampaikan kritik pendidikan membuatku menaruh kagum padanya.

Sebagai sesama pecinta buku, yang seringkali pikiran kami dipenuhi dengan banyak keresahan terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan idealisme, Asa mampu menyampaikan keresahan-keresahan yang tidak bisa kusampaikan lewat tulisan.

Sekolah ya sekolah saja. Datang, duduk, kerjakan tugas, ujian, pulang. Jangan berani mengkritik sistem pendidikan, guru, atau peristiwa di sekitarmu. Kau hanyalah bocah yang tak tahu apa-apa, lalu apa hakmu untuk bersuara?

Tiba-tiba kalimat sindiran yang dilontarkan Asa menggema di sekitarku.Ah, hatiku kembali sesak sekali.

Sudah beberapa hari ini banyak hal yang sebenarnya ingin kusampaikan, tapi selalu saja tak mampu untuk kunyatakan.

Entah sudah berapa puluh kali aku melihat banyak kecurangan ketika ujian tiba. Kegiatan saling mencontek, membuka buku atau smartphone untuk mencari jawaban soal ujian, bahkan ada yang terang-terangan mengancamku agar tidak melaporkan kejadian-kejadian ini.

Kadang-kadang aku merasa ini tidak fair, ketika siswa-siswa sepertiku yang harus belajar keras untuk bisa mengerjakan soal ujian, harus bersaing dengan siswa-siswa yang ingin mengambil jalan pintas.

Ketika aku harus bangun dini hari, membaca lebih banyak, berlatih mengerjakan soal berlembar-lembar untuk persiapan ujian, sedangkan beberapa teman lebih asyik untuk chit-chatan, eksis di sosial media, pacaran, menghabiskan waktu untuk nongkrong, dan mengharap mendapat nilai baik dengan bermodal contekan.

Sungguh, nuraniku sangat terlukai.

Oh, maaf. Mungkin harus sedikit kuluruskan, ini bukan tentang masalah bersaing untuk mendapatkan peringkat terbaik. Toh, orientasiku bersekolah bukan hanya sekedar untuk mendapatkan nilai-nilai di atas selembar kertas

Ini masalah, dimana nuraniku terusik karena melihat kecurangan, dan tindakan-tindakan yang tidak bisa dibenarkan hanya untuk meraih sebuah tujuan mendapat hasil memuaskan dengan cara yang salah.

Dan bodohnya, aku hanya bisa diam melihat ini.

Dalam bahasa lebih sarkas, kadang aku ingin berucap, “bagaimana kalian akan membangun negeri ini jika tak punya integritas dan kejujuran terhadap hal-hal seperti ini.”

Belum reda berbagai hal yang memenuhi pikiranku, tiba-tiba suara keributan di depan kelas mengagetkanku. Apa lagi? Kalau bukan keributan antar siswa karena hal-hal sepele. Bully-membully sudah jadi budaya remaja di tempat kami. Entah mengapa mereka suka sekali menunjukkan senioritas dan eksistensi diri dengan cara menindas orang lain.

Bukannya melerai, teman-temanku yang lainnya malah saling menyoraki hingga perkelahian pun semakin menjadi-jadi.

Sayang, aku tak punya otoritas untuk mendamaikan mereka. Salah sedikit saja, bisa jadi akulah yang akan menjadi korban bully selanjutnya. Aku hanya berharap semoga ada guru yang segera datang untuk mendamaikan teman-teman yang sedang berseteru.

Jangan pernah tanya padaku, kenapa remaja seusia kami suka sekali tawuran, karena aku bukan bagian dari mereka yang tertarik dengan tindakan yang sangat tidak menarik ini.

Bahkan aku tak suka menyebut diriku sebagai remaja, jika untuk berlindung dibalik alibi “masa pencarian jati diri” hanya agar dimaklumi ketika melakukan tindakan-tindakan anarki.

Ah, malas melihat pertikaian di depan kelas, aku memilih melangkah menuju bangku di sudut sekolah. Kuedarkan pandanganku ke semua area di lingkungan sekolah ini.

Dari jauh kulihat Annan sedang asyik berdiskusi dengan teman-teman OSIS, sepertinya sedang menginisiasi program-program untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas potensi para siswa di sekolah ini.

Di teras mushola, kulihat seorang laki-laki yang sibuk dengan Mushaf di genggaman tangannya, sepertinya dia sangat khusyuk mentadaburi setiap ayat yang sedang dibacanya.

Di sudut yang lain, ada Arsya yang sibuk menempelkan lembaran kertas di mading sekolah, sekedar berharap ada orang-orang tercerahkan ketika membaca apa isi di dalamnya.

Di tengah lapangan, kulihat Azzam dan tim basketnya yang saling berlomba untuk memasukkan bola ke dalam ring basket. Mereka adalah anak-anak yang memanfaatkan waktunya untuk menyalurkan hobi yang menyehatkan diri.

Pun ada mbak Anita yang kulihat masuk ke ruang laboratorium sekolah. Pemenang Olimpiade Sains tingkat nasional ini selalu menyibukkan dirinya dengan berbagai eksperimen bahkan di waktu-waktu istirahat.

Aku tertegun, kagum dengan mereka. Persepsiku tentang banyaknya remaja bermasalah pun hilang sejenak ketika melihat mereka.

Kadang-kadang media terlalu banyak mengekspos tentang kenakalan para remaja. Tawuran, pacaran yang kebablasan, mabuk-mabukkan bahkan penyalahgunaan narkoba. Remaja-remaja seperti itu memang ada, sejatinya ia hanya sedang tersesat jalan, dan jauh di lubuk hatinya ingin ditunjukkan jalan untuk kembali.

Kami remaja tak butuh penghakiman ketika berbuat kesalahan, justru itu akan membuat kami semakin jauh dari kebenaran. Rangkul kami kembali, gandeng tangan kami, bersamai kami menuju perbaikan.

Kadang ingin juga kami teriakkan pada dunia, kami juga ingin berkontribusi untuk kemajuan negeri ini, atau sekedar agar tidak menjadi beban di negeri ini.

Sekolah ya sekolah saja. Datang, duduk, kerjakan tugas, ujian, pulang. Jangan berani mengkritik sistem pendidikan, guru, atau peristiwa di sekitarmu. Kau hanyalah bocah yang tak tahu apa-apa, lalu apa hakmu untuk bersuara?

Tiba-tiba suara Asa kembali mengusikku. Sindirannya yang sedikit satire membangkitkan keberanianku seketika.

Ah, aku harus melakukannya. Memperjuangkan sesuatu yang kuanggap sebagai sebuah kebenaran.

Kumantapkan langkahku menuju ruang guru.

Ya, aku harus melakukannya!

Memberitahukan berbagai kecurangan selama proses ujian semester minggu kemarin.

Aku harus berani, setidaknya untuk memperjuangkan standar moral yang aku yakini selama ini.

Bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah membangun karakter kejujuran pada diri setiap peserta didiknya.

Setidaknya di masa putih abu-abu ini, aku memiliki sebuah harapan, agar kelak di masa depan tidak ada lagi kecurangan dalam dunia pendidikan seperti yang terjadi di hari ini.

Aku teringat ucapan Annan tempo hari, “Ketika kita sudah kehilangan kejujuran dalam diri kita, bagaimana bisa kita menjadi harapan bangsa ini.”

Jika kau bertanya apa harapanku untuk negeri ini, harapanku adalah munculnya kesadaran dalam diri setiap pemuda, bahwa mereka adalah harapan masa depan negeri ini.

Penyambung tongkat estafet perjuangan untuk Indonesia yang lebih jaya di masa yang akan datang.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post