Rismawati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Emergency (Tagur ke-22)

Emergency (Tagur ke-22)

Hari ke-5 sejak dinyatakan positif atau hari ke sepuluh sejak demam. Batuk menyerang terus-menerus, sambung menyambung. Goncangannya semakin dahsyat hingga menguras habis tenagaku. Situasi semakin diperparah dengan selalu muntah jika diisi makanan lain. Walaupun telah berupaya meminum segala macam vitamin seperti: vitacimin, vit A, vitamin D dan Vit B komplek, kondisi fisikku tetap saja semakin memburuk.. Keadaan perut kosong menyebabkan asam lambungpun naik. Ini berlangsung dari pagi sampai sore.

Sekitar pukul 17.00 WIB masalah barupun muncul. Diare, ya diare. Cepat kupakai pembalut, menjaga cipratan najis di tempat tidur. Sore itu kerjaanku hanya bolak-balik ke kamar kecil. Kondisiku semakin lemah dan rasa pusingpun terus merambah. Hatiku semakin gundah, namun hanya bisa berserah pasrah kepada Allah.

Magrib kali ini kuputuskan untuk tayamum dan salat dengan posisi duduk. Melihat ini suami dan anak-anak turut panik dan membujukku untuk bersiap-siap berangkat ke rumah sakit tapi aku menolak “ Besok aja, sudah mulai baik kok.

Tanpa memperdulikan jawabanku, sang Suami Siaga itu menuju ke garasi menstarter dan memanaskan mesin mobil. Sementara itu aku tengah berjuang keras melawan beratnya derita yang dihadiahkan oleh si Corona. Batuk sampai terkencing-kencing, diare, mulas, muntah dan pusing, datang pergi silih berganti. Rasanya lebih berat dari sakit ketika mau melahirkan. Tidak ada lagi yang paling pantas dilakukan selain beristigfar dan berdoa:

Astagfirullahal’azim, Subhnallah, Walhamdulillah, Wala IllahaIllallah, Wallahu Akbar, Walahaula Walaquwwata Illaa Billaahil ‘Aliyul ‘Azim (Ampuni hamba ya Allah yang Maha Besar, Maha suci Allah, Dan segala puji bagiMu, Tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, Tiada daya dan upaya selain Engkau).” Kulafalkan terus sampai akhirnya tertidur di sajadah.

Aku terjaga ketika azan berkumandang. Tubuhku terasa lemas, kuraba-raba debu dekat kaki lemari dan bertayamum. Pak Hilmy yang sudah pula berwudhu memberi isyarat untuk salat Isya berjamaah. Masih dengan posisi duduk aku mengikutinya Begitu selesai salam dan berdoa, sang Iman mendekatiku sembari berucap:

“ Mama pucat banget, sesak ga? yuk kita segra berangkat ke rumah sakit, nih kerudungnya dipake,” sambil menyodorkan kerudung borgo bewarna biru.

Kupakai kerudung itu dan memoleskan sedikit lipstick di bibirku yang pasi. Perlahan berjalan tertatih ke ruang keluarga dan berhenti duduk di sofa. Pak Hilmy suamiku turut duduk di sampingku. Kucoba bersikap tenang dan senyum semanis mungkin, bermaksud merayunya agar tidak usah ke rumah sakit malam itu.

Tak sengaja mataku tertuju pada alat pendeteksi saturasi oksigen (Oxymeter) yang tergeletak di atas meja. Kuraih alat itu dan kuselipkan jari tengah tangan kananku ke dalamnya. Kupencet tombol on. Seketika muncul angka 89.

“Hah… 89? batinku tak percaya. Kutarik tangan kiri suami, kuraih jari telunjuknya dan kumasukkan ke dalam oxymeter seraya berucap “ Coba Papa berapa? sambil memelototi angka yang muncul 97. Bagus Pa,” ujarku.

“ Emang normalnya berapa sih?

“ Di atas 90, mama berapa? coba lagi! “sambil meraih dan memasukkan jari telunjuk kananku. Seperti tak yakin dengan angka yang tertera, diraihnya jari tengahku, dan langsung dimasukin ke oxymeter, berharap angkanya naik, ternyata masih turun lagi.

“Sekarang coba tangan kiri,” ucapnya penasaran. Kusodorkan jari telunjuk kiri dan ternyata angka yang keluar semakin mengagetkan. Kucoba dan coba terus dengn jari yang lain hingga angka merah itu menunjukkan 81. Semua panik, dan berucap “ Ini rendah sekali ma…..”

“ Ayo cepat-cepat, kita ke rumah sakit sekarang, tolong ambilkan baju mama yang adem yang ada kancing/resleting di depan. Jangan lupa kerudung dan underwear masukkan semua ke tas ransel! Jangan lupa mengunci pintu dan pagar! papa tunggu di mobil,” komando pak Hilmy kepada Maudi dan Rafi.

Mas Hilmy menggandengku menuruni anak tangga menuju lantai 1 dan kemudian

menaiki mobil yang diparkir di depan pagar. Tak lama Andi dan Maudi sudah menyusul.

“Siap berangkat ya, jangan lupa berdoa,” ujar Mas Hilmy seraya menstarter mobil dan mengendarinya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Aku rebahan di paha Rafi anakku sambil terus berdoa dengan penuh harapan, agar segera mendapatkan pertolongan.

Selang beberapa menit kurogoh HP dalam tas kecil bertali panjang yang kuselempangkan di pundak. Kupencet tombol samping dan kulirik layar bagian atas, tertera angka 22.15. Dalam waktu yang bersamaan mobil terasa berbelok, kuangkat kepala dan berusaha duduk tegak. Oh ternyata sudah sampai.

Aku mengikut saja turun mobil dengan dituntun oleh Rafi, sementara Papanya mengurus administrasi untuk segera mendapat penanganan di IGD. Tak lama berselang, seorang petugas menyodorkan kursi roda dan memintaku menaikinya. Rikuh rasanya diperlakukan seperti orang tua yang tidak bisa berjalan.

Kursi roda melaju cepat berkat dorongan petugas yang bekerja tanpa lelah. Persis di depan Gedung yang bertuliskan IGD itu, kursi roda berhenti.

“Silakan menunggu di sini ya bu,” mungkin agak lama, karena IGD penuh, tapi ada yang mau pindah ke ruang rawat inap nanti, ujarnya ramah

“ Oh ya, terima kasih ya Mas” sahutku

“Sama-sama bu, semoga ibu cepat mendapat pertolongan ya? sahutnya kemudian berlalu.

Dengan sigap Rafi menghampiriku, memegangi kursi roda, terlihat raut mukanya gelisah dan penuh harap dan juga mengantuk. Malam semakin larut, angin malam yang dingin mulai menusuk tulang. Rafi melepas sweaternya dan menyelimuti pundakku.

“ Yuk sayang,” ujar Mas Hilmy sambil mengulurkan tangan membantuku turun dari kursi roda dan menggandengku masuk menuju tempat tidur sesuai arahan petugas. Aku mendapat tempat di sebelah kiri pintu masuk.

Dengan cekatan perawat yang bertugas malam itu, memasangkan gelang di tangan kananku. Dilanjutkan dengan mengukur tekanan darah, ternyata 100/70, cukup rendah. Berikutnya cek saturasi oksigen ternyata 80. Dilanjutkan dengan mengambil darah dari jari manis tangan kananku kemudian berlalu.

Tak lama dokter pun datang menanyakan keluhan apa saja yang kurasakan. Dari percakapan kami terungkap bahwa kadar gula darahku sangat tinggi 400. Dan malam itu aku diminta berpuasa sampai besok pukul enam pagi untuk di cek gula darah puasa. Dengan cekatan perawat memasang infus di tangan kiri dan selang oksigen di hidung.

Mendapat perlakuan cepat, ramah dan baik dari semua petugas di RS ini, diiringi dengan batuk yang mulai reda, membuat hatiku sedikit lega.

Semalaman aku berada di ruang IGD, suami ikut menjaga sementara Rafi dan Maudi tidur di Mobil. Ruangan IGD penuh dengan beraneka kasus penyakit dadurat, membuat tidurku tak bisa pulas. Tiap sebentar terdengar suara erangan dari seorang pasien di seberangku. Sepertinya sedang sakratul maut. Suara itu membuat bulu kudukku berdiri.

***

Fajar menyingsing, azan subuhpun berkumandang. Aku bertayamum untuk salat subuh. Jam menunjukkan pukul 05.10 WIB Teringat aku harus berphoto untuk absensi pagi menggunakan stamp time camera. Kali ini aku swafoto saja dan kucoba upload di link drive yang sudah di share di ‘WAG Kedinasan.’ Gagal, terjadi gangguan sinyal. Akhirnya kuputuskan untuk mengirimnya ke WAG Kedinasan untuk minta tolong diupload-kan oleh admin.

Melihat photoku dengan selang infus dan selang oksigen, serta alamat lokasi di RS, semua rekan kerja kaget dan bertanya, “ Bu Annisa kok di rumah sakit? Sakit apa? Akhirnya terpaksa aku memberi tau dan sekaligus mohon izin bahwa aku sedang di IGD sebagai pasien Corona.

Chat wa datang bertubi-tubi menanyakan banyak hal. Kok bisa?, kena di mana? Suami dan anak-anak bagaimana? bla, bla, bla,bla bla….? Mereka semua seperti tak percaya, mungkin karena aku guru Biologi, dan selalu taat dengan protokol kesehatan, tapi tetap di kenali juga oleh si Corona.

Pukul 06.00 perawat datang mengecek tensi darah dan saturasi oksigen, serta mengambil darah untuk cek gula darah puasa.

Tak lama perawat menginformasikan bahwa kadar gula darah puasa 200. Alhamdulillah, terasa sedikit lega. Berarti kadar gula darah yang 400 semalam cuma temporer saja ulah rayuan manis si Corona.

Tindakan berlanjut dengan rongent thorax. Bagai seorang bayi yang belum bisa berjalan aku menurut saja kemana arah kursi roda bergerak. Dengan napas terengah-engah petugas itu kembali berucap “ Bu kita sudah sampai silahkan masuk petugasnya sudah ada di dalam”

Baiklah, sahutku sambil berjalan pelan menuju logam segi empat dan menempelkan thorax. “ Seorang petugas wanita berseru “ Tarik Napas ya bu saya hitung satu, dua, tiga. Dah selesai” ujarnya.

Dengan gesit petugas pengantar tadi sudah siap dengan kursi rodanya. Bergegas kunaiki untuk siap di dorong kembali ke IGD. Sesampai di IGD ternyata urusan administrasi untuk pindah ke ruang isolasi sudah beres.

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post