PESAN JATUH DARI LANGIT EPISODE CERITA TENTANG TEJO
PESAN JATUH DARI LANGIT
EPISODE: CERITA TENTANG TEJO
Langit mendung, menampung gelap. Derai belum lagi terurai saat burung-burung gagak mengabarkan cerita tentang panas yang kian garang. Berita tentang kematian saat ini seperti tak pernah usai, duka seperti tak lagi memiliki rasa. Aroma kematian telah kehilangan kekuatan, semua seperti berlalu apa adanya, dalam keheningan dan kesunyian.
Kaleng kecil yang kau gengam
Terkulai, tak lagi bersuara
Padahal kerikil yang kau simpan didalamnya
Masih bisa berbunyi saat kau goncang
Tapi kemana akan kau dendangkan nyanyianmu
Tejo, bocah berusia delapan tahun itu duduk menggenggam harapannya yang layu. Hari ini adalah hari ketiga kota yang didiaminya menjadi seperti kota setengah mati. Pemerintah telah menetapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Ia tahu dan mengerti apa sebenarnya yang harus ia lakukan. Tapi perut tidak bisa menerima, perutnya masih butuh makan.
“Si Budi kecil kuyup mengigil”
Tejo mencoba mengejar seorang penjalan kaki yang wajahnya tertutup masker. Tangan kecilnya menengadah sambil mulutnya bergetar mencoba bernyanyi. Orang itu mempercepat langkahnya, tanganya mengibas.
“Seikhlasnya pak.. seikhlasnya”
Tejo kembali terhempas, mengelap peluh di wajahnya yang memucat. Ia tahu pemerintah telah menyalurkan bantuan untuk warga. Tapi mereka datang ke rumah-rumah, mengetuk dan membagikannya. Sementara Tejo tak punya rumah. Ia hanya anak jalanan yang tak beribu dan berayah. Ibunya telah wafat beberapa tahun lalu karena sakit yang ia derita sejak sang ayah memilih meninggalkan ibu dan dirinya karena tergoda perempuan lain.
Matahari semakin terik memancarkan sinarnya, Tejo masih saja duduk di dekat tiang jembatan penyeberangan. Perutnya semakin melilit. Matanya nanar menatap jalanan yang sepi. Dalam diam ia berharap ada keajaiban seperti dua hari yang lalu, saat ada malaikat berhijab lebar memberikannya sebungkus nasi dan sebotol minuman. Ia tak mampu lagi membeli karena kaleng kecilnya tak bisa lagi memberikannya uang untuk sekedar menepis lapar.
Tiba-tiba matahari berubah warna, kuning, biru, merah beserta bintang-bintang dan kupu-kupu menjadi cahaya di mata Tejo. Tejo tersenyum seorang bidadari datang menjemputnya. Tangannya terkulai melepaskan kaleng kecil andalannya, karena dia tak lagi membutuhkannya.
Burung gagak kembali kabarkan kematian, kali ini tentang Tejo. Orang-orang berdiri menjauh, tak berani mendekati tubuh Tejo yang terkapar di tepi jalan, takut kematiannya menjadi penyebar Covid-19. Tapi Tejo tak perduli dengan semua itu, ia telah pergi dengan sebuah senyum yang hanya segaris patah, bidadari itu telah menghapus peluh yang tadi ada di keningnya karena ia tak pantas menanggung beban derita yang berat ini.
#TANTANGAN HARI KE 51
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Selamat jalan Tejo, selamat tinggal kesedihan.Baguuus mbak...
Makasih mbak Rara. Puisinya Mbak juga keren
penggambaran tejo, mewakili kaum papa dan anak terlantar, jd terenyuh, apalagi saat ini, semua mata memandang curiga kepada siapa saja di jalanan...kalimat ibu luar biasa dlm menggambarkan saat ajal menjemput...dan juga ketidak pedulian manusia skitarnya yg kehilangan empati dgn suasana saat ini..salam hormat
Makasih supportnya Pak
O, Tejo ........Senyummu itu hujam tajam relung kalbu.
Hingga pedih mengiris duka...
Ada kisah nyatanya ya Bu? Ketinggalan info saya.
Ngga kok Yunda.... imajinasi semata....
Keadaan yang menyebabkan sebuah naluri untuk bertahan....begitupun....