Pagi ini kutarik nafas panjang di depan aula madrasah, segera kulakukan absen Fio karena waktu sudah menunjukkan pukul 6 lebih 57 menit. Kubayangkan dalam perjalanan tadi, emosi yang tercampur aduk, dari jalanan yang terasa padat, saling mendahului antar pengendara, polisi cepek yang rasanya seperti “asal” seenaknya saja main stop dengan peluit dan benderanya. Tanpa sadar air mataku mengambang di pelupuk mata. MasyaAllah…butuh perjuangan untuk sampai disini, di halaman parkir madrasah, dan harus sebelum jam 7 pagi. Kenapa kusebut berjuang karena terasa tak mudah. Sudah 3 hari suamiku lembur di kantornya, dan berlanjut lembur di rumah, kadang tengah malam aku dengar suara sound speaker dr laptopnya, dia tengah melanjutkan pekerjaan. Dan ini berimbas pada kegiatanku, malam hari selepas isya kegiatan rutinku adalah menemani gadis kecilku belajar, menyelesaikan tugas sekolahnya dan sedikit mengulang materi pembelajaran yang sudah dia dapatkan, dilanjutkan melatih kemandirian menata buku dan seragam sesuai jadwal esok pagi. Bagian suamiku adalah menemani jagoan kecilku, anak lanang yang sedang aktif-aktifnya, lari kesana kemari, ikut nimbrung dalam kegiatan belajar dua kakaknya. Jika suamiku tidak ada di rumah, segala sesuatu berbeda dg biasanya, harus handle si kecil tapi dengan sembunyi-sembunyi membuka buku pelajaran kakak.

Dulu sebelum ada jagoan kecil aku men chalenge diri, hal besar apa yang bisa aku lakukan lagi, karena ketika 2 gadisku beranjak besar semua terasa ringan. Mereka sudah sangat mandiri, tinggal memberi panduan mereka lancar mengerjakan tugas sekolah dan rumah. Tapi sekarang ketika mereka lengkap bertiga, rasanya ruaar biasa. Ada saja hal yang membuat tertawa, sedih dan kalau waktunya tidak tepat rasa ingin marah di puncak ubun-ubun kepala.

Pagi hari adalah “Uji Nyali”, bagaimana semua terlaksana tanpa kendala. Otak dan tangan terasa ingin berpisah tapi dipaksa bergandengan, harus cerdas memilih kegiatan mana yang bisa dilakukan awal tetapi bisa selesai sekaligus dengan kegiatan yang lain. Temperature tinggi ini yang amat sangat rawan, selip satu hal saja bom atom bisa meledak mengalahkan bom hiroshima. Seperti misalnya kakak kelas 2 SD yang sudah mandi air anget, sudah bersiap seragam lengkap baju dalam dan kaos kaki mulai semalam, tiba-tiba merajuk, air mata menetes, nempel-nempel sedikit mengusik aktifitasku goreng tempe dan…. “mama, aku g sekolah”..Duarrr….haa, rasanya…..pingiin nangis juga…kalau adek gak sekolah pasti berbuntut mama ribet, ah…

Stop, gak boleh emosi. Harus bisa atasi suasana. Langkah pertama, cari pak suami, keluarkan unek-unek dan hal-hal yang bikin kesal, Alhamdulillah…beliau sangat sabar. Sudah keluar ngomelnya, biasanya cukup membuat lega, otak dan hati bisa bersinergi menata kegiatan selanjutnya. Baik nak, ikut mama absen dulu setelah itu kita pulang ya, mama rawat kamu sebentar, kamu bisa istirahat lanjut mama kembali ke tempat kerja ya. MasyaAllah…aku bisa. Dan masih banyak hal lain yang sudah pernah terjadi, seringnya jarang hal yang sama, terasa baru setiap hari.

Melewati banyak hal macam diatas harus banyak bersyukur, diberi mampu melewati semua. Tidak lupa ingin mengucapkan terimakasih pada diri sendiri, bisa bertahan dan terus semangat maju melewati semua. Tidak pernah tahu apa yang ada di depan sana, tapi yakin bahwa diri pasti mampu dengan pertolongan Allah. Terimakasih…pada aku yang hebat.