Matinya Empati
Bagaimana seorang anak mengekspresikan dirinya pada temannya? Jawabnya bisa bermacam-macam. Satu yang saya temui beberapa waktu lalu, cukup membikin agak kaget. Seorang anak laki-laki usia enam tahunan gemar sekali mengayun kaki dan tangan. Menendang dan memukul ke arah temannya. Tidak sampai kena sih, dan ia melakukan itu bukan karena ia sedang menumpahkan amarah atau rasa kesalnya. Menurut pengamatan saya, ia melakukan itu dalam konteks bersenda gurau.Keringanan kaki dan tangan tersebut, bentuk ekspresi dia ke teman-temannya saat bercanda. Saat berkumpul, anak-anak memang senang sekali saling bergurau dengan berbagai aksi. Tapi ketika itu berbentuk pukulan dan tendangan, hal ini tentu butuh perhatian.Sangat mungkin anak lelaki tersebut kerap menonton film kartun yang menyajikan adegan perkelahian yang dibumbui ayunan kaki dan tangan. Dan ia terobsesi dengan hal itu, kemudian menirunya serta mempraktekkannya dalam pergaulan dengan teman-temannya. Sulitnya, bila hal ini telah dia anggap lumrah dan menjadi bentuk dominan ekpresi dia dalam bergurau. Layaknya anak-anak, mereka tentu belum berpikir bahwa apa yang mereka lakukan berpotensi menyakiti bahkan melukai temannya. Karena semua masih didasari oleh dorongan untuk berekspresi semata. Belum tiba pada pikiran bagaimana akibatnya pada orang lain.Saya tak tahu bagaimana ekspresi anak tersebut saat marah. Ringan tangan dan kakikah? Sangat boleh jadi ya, bila ia telah terbiasa berekspresi ke orang lain, meski dalam konteks bercanda, dengan cara seperti itu. Sangat mungkin ia berlaku demikian kala diliputi rasa kesal. Tentu hal ini sangat mengkhawatirkan, sebab sejak dini anak telah terbiasa mengekspresikan emosinya dalam bentuk kekerasan. Sementara kekerasan, seperti yang kita tahu hanya akan berbuah kekerasan pula. Terus akan melingkar-lingkar tiada henti.Kadang saya berpikir, film kartun Walt Disney meski sekedar animasi semata apakah layak menayangkan gambar Jerry si tikus kecil mencelakai Tom si kucing hingga terkaing-kaing... hmm... maksud saya termeong-meong kesakitan. Demikian pula sebaliknya. Terutama ketika saya menemani Najla, menonton tayangan seperti ini. Meski mata saya menatapi layar kaca, pikiran saya tersita oleh pertanyaan itu.Patutkah kita menertawai penderitaan Tom akibat oleh ulah Jerry. Atau kesialan Donal Bebek akibat kelakuan tetangganya Pokijan? Sekali lagi saya khawatir, cerita-cerita seperti ini turut andil mengikis bukit empati dari hati anak-anak kita. Sehingga ketika besar, ia menjadi pribadi yang tak mudah menenggang sekelilingnya. Tidak cuma sesama manusia, tapi juga semut, rumput bahkan batu!
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Benar sekali Pak. Empati muncul karena pembiasaan juga, termasuk apa yang dilihat. Sukses selalu dan barakallahu fiik
Terimakasih banyak bu...
Kebiasaan perilaku anak seperti ini yang sering terluput dari perhatian kita...sehingga cenderung kita menganggapnya hal yg wajar...betul kan?
Hanya orang orang yg punya empati tinggi bisa membedakan antara kebiasaan dan keanehan yg terjadi pada seorang anak....
Betul sekali bu, karena dianggap umum, lazim dan biasa... fenomena semacam itu sering disikapi secara... "wah biasa anak-anak"... itulah kalimat penyepelean yang kerap kita dengar. Semestinya soal nilai-nilai, seharusnya kita ultraserius, karena ia adalah pondasi sebuah bangsa. Kekuatan dan keunggulan sebuah bangsa/peradaban ditentukan seberapa tinggi nilai2 karakter mulia mengakar dan berbuah di masyarakatnya.