Kucari Petrichorku Kembali (Part 2)
Dengan langkah kakiku yang gontai, aku memutuskan untuk keluar kamar, pergi ke atap, dan bertemu para quarantiners yang lain, sebutan kami untuk sesama manusia bervirus tanpa gejala yang dikarantina. Atap beton bangunan besar itu memang tempat terpopuler di kalangan kami di pagi dan sore hari. Pagi untuk mendapatkan sinar baik vitamin D, dan sore untuk menangkap siluet mega berwarna merah di kaki langit sebelah barat.
‘Mas Rizky! Baru Indy mau WA.’
Kudengar suara perempuan yang kukenal memanggil namaku, Indy.
Indy adalah teman satu kloterku, kami datang hampir bersamaan waktu itu. Setelah berkenalan, bertukar nomor handphone, berada di satu grup yang sama, kami menjadi akrab. Usianya satu tahun di bawahku, dan kebiasaan orang daerah kami memanggil ‘Mas’ atau ‘Mbak’ untuk orang yang lebih tua darinya.
Kusambut panggilannya dengan senyum dan langkahku yang berjalan ke arahnya.
‘Mas, nggak bawa gitarnya?’
‘Hari ini enggak.’ Ujarku.
‘Mas Rizky hari ini nggak bawa gitarnya!!!’
Tak kusangka gadis mungil itu berteriak ke arah dia datang. Kutengok arah itu, dan terlihat sekumpulan quarantiners lain yang duduk berkeliling seperti sedang melakukan rapat serius.
‘Kenapa, Ndy?’, tanyaku.
‘Indy mau ngajakin Mas Rizky main musik, lomba nge-band gitu sama temen-temen dari blok lain. Hadiahnya lumayan, Mas. Sertifikat gubernur sama uang pembinaan 5 juta untuk juara 1-nya.’ Jelasnya dengan binar matanya yang indah memantulkan cahaya senja.
Meski sudah dibagi, lima juta tentu bukan hadiah yang sedikit, pasti cukup untuk biaya pergi ke Pekanbaru jika ditambah dengan uang tabunganku.
‘Oke, mau. Tunggu ambil gitar dulu ya!’, kataku sambil lalu.
***
‘Oke, Guys! Kenalin, ini Mas Rizky. Dia yang aku ceritain sering main gitar di atap.’
Indy mulai mengenalkanku kepada teman-temannya yang berujung mereka pun mengenalkan diri mereka padaku. Ada Zein, Gun, dan Avan. Mereka rupanya pemain band di kampusnya masing-masing. Seorang Indy yang mungil ternyata juga sempat menjadi penyanyi alto di grup paduan suara sekolahnya. Kurasa hanya diriku yang amatir di dalam grup ini.
‘Pernah main di mana aja, Ky?’ tanya Gun.
‘Belum. Main sendiri aja, seneng-seneng.’ jawabku.
‘Tapi cukuplah, kan masih ada waktu latihan seminggu, yakan?!’, ujar Avan.
‘Jadi, karena lombanya daring, alias online, kita tinggal kirim video kita aja ke panitianya. Nggak susah lah. Lima juta, Bos! Sayang banget nggak dikejar, pandemi gini semua orang butuh duit.’ kata Zein yang kuamini dengan anggukan.
‘Aku butuh uang, untuk pergi mencari Mama.’ tambahku dalam hati.
‘Ya udah, karena waktunya cuma seminggu, kita latihan tiap hari, ya! Jangan lupa kumpul tiap jam 11 siang di ruang karaoke. Mas Gun jangan lupa besok cajon-nya ya! Eh, Mas Avan synthesizer-nya dibawa kan di sini?’ ujar Indy bersemangat.
‘Iya, Ndy. Besok tinggal latihan.’ kata Gun menenangkan.
***
Singkat cerita, waktu setelah diskusi kami habiskan dengan bernyanyi beberapa lagu hingga diikuti oleh hampir semua pengunjung atap sore itu. Cukup membuatku lupa, bahwa aku tak lagi menghirup oksigen yang sama dengan Mama. Tapi setidaknya, iming-iming hadiah 5 juta bisa menyemangatiku untuk segera menemuinya di Pekanbaru.
Kuraih ponselku, lalu kuketikkan nama “Tante Mia” di sebuah aplikasi pengirim pesan berwarna hijau. Tante Mia adalah putri Nenek Anis yang merantau di Jakarta. Aku berniat bertanya padanya alamat rumah Nenek Anis.
Tante Mia membalas pesanku sangat cepat, rupanya dia tahu bahwa aku mencari Mama, begini jawabannya:
[Jl. Bangau Gg. X no. 15 Pekanbaru, Anis Suhastini. Mamamu baru berangkat hari ini, semalam tidur di rumah tante. Swab-nya negatif, jadi udah bisa pergi.]
Kurebahkan tubuhku di atas kasur. Bobby masuk sambil membawa nasi kotak makan malamnya dan makan malamku.
***
Satu minggu sudah kami lalui, dan waktu rekaman untuk video pun tiba. Proses rekaman dan hasil suara yang kami dapatkan juga terdengar bagus dan lancar, hingga sertifikat juara 1 bisa kami dapatkan beserta uang pembinaan 5 jutanya.
‘Alhamdulillahh.. perjuangan kita selama seminggu nggak sia-sia ya!’ seru Indy setelah menerima sertifikat dan uang 5 juta itu secara virtual.
‘Kalo gitu udah waktunya bagi-bagi nih?!’ ujar Gun bersemangat.
Memang, uang 5 juta jika dibagi berlima juga masih bukan uang yang sedikit. Lumayan sekali, untuk menghibur diri selama karantina dan jauh dari keluarga.
‘Tenanglah, Mas Gun. Habis ini kutransfer uangnya ke kalian berempat.’ kata Indy sambil tersenyum.
‘Oh ya, besok jadwal tes PCR kita kan? Duh, aku udah nggak sabar pingin pulang. Udah sebulan ketemu papa dan mama cuma lewat video call.’ lanjutnya tiba-tiba.
Mendengar kata-kata itu, rasanya lututku melemas. Aku bahkan tidak punya papa dan mama yang bersama menungguku untuk pulang. Papaku entah bagaimana kabarnya, peduliku padanya hilang seiring caranya memisahkanku dari Mama.
Kulihat Gun, Avan, dan Zein bergantian. Ekspresi mereka terlihat bersemangat, ingin pulang juga sepertinya. Hmm memang hanya aku yang berbeda di sini. Aku bersemangat, namun bukan untuk pulang, melainkan untuk pergi mencari Mama di Pekanbaru. Jauhnya, lelahnya, kupikirkan matang-matang.
***
Bersambung...
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar