Aku dan Bara Cinta (bagian 1)
November ini akan menjadi peringatan satu dekade aku mengenalmu. Di lapangan basket sekolah, kamu yang waktu itu mengenakan jaket hoodie warna merah, membunyikan peluit dengan lantang, menjadi wasit untuk teman-temanmu yang bermain. Aku masih ingat sekali sore itu, kacamata tebalmu yang bertengger di hidungmu, rambut acak-acakan yang selalu menjadi gaya khasmu, dan sendal jepit yang sengaja kamu ukir inisialmu, BCD. Aku juga tahu, ketiga sahabatmu selalu memanggilmu bacot, representasi dari inisial itu. Padahal namamu bagus sekali, paling tidak jika terdengar di telingaku. Bara Cakra Dwiwangga.
Bagaimana aku tahu semua itu? Tentu saja sore itu bukan kali pertama aku melihatmu. Sejak Masa Orientasi Siswa Baru aku sudah menaruh hati padamu. Iya, aku salah satu siswa baru yang tidak mengenal siapa-siapa, dengan 25 pita warna-warni di kepala, yang juga menjadi junior bimbinganmu waktu itu. Saat kakak tingkat lain mencoba meneriaki kami, dan menyuruh-menyuruh kami dengan gaya bossy-nya, kamu dengan lembut mengarahkan kami dan memberi kami senyuman yang indah. Indah? Iya, bagiku senyumanmu indah, selalu. Tak terkecuali senyumanmu sore itu. Siapa sangka kamu akan mengarahkan senyummu padaku? Oh, tunggu! Apakah senyum itu untukku?! Akupun tak yakin, yang aku tahu kamu melihat ke arah aku berjalan, yang mengagumimu dari kejauhan.
Satu dekade, banyak sekali yang terjadi di dalamnya. Aku yang pertama kali hanya berani memandang, ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Senyummu ternyata memang untukku sore itu. Aku ingat, aku benar-benar bahagia saat pertama kali kamu mengajakku berbicara. Menanyakan hobiku apa, dan nomor telepon genggam yang kupunya. Kubilang aku suka bersepeda, sampai kamu mengatakan cinta di kencan kita yang ketiga. "Nadya, aku tahu ini terlalu cepat. Tapi aku juga tahu kita sama-sama saling suka. Kamu mau nggak jadi pacar aku?", tanyamu tiba-tiba saat kita bersepeda berdua. Tanpa kusadari kepalaku mengangguk, walau setelahnya logikaku menyela, "wait, what?! dia nembak kita, dia nembak kamu, Nad. Kenapa kamu ngangguk gitu aja?". Aku tak peduli. Aku tak peduli nanti akan jadi seperti apa, aku mengiyakan, dan aku cukup buta karena cinta. Cinta?! Sampai sekarang rasanya geli mengucapkan sekaligus mendengar kata terkutuk itu.
Satu bulan lamanya kamu menjadi milikku, aku merasa menjadi gadis remaja paling bahagia di usianya. Laki-laki yang ku kagumi sejak lama akhirnya menjadi milikku, dan aku miliknya. Mengingat aku bukan gadis secantik selebgram yang berlalu-lalang di sosial media. Bukan tipe-tipe wajah yang bisa menerima endorse produk kecantikan. Aku tidak secantik itu, makanya senangnya bukan kepalang saat punya Bara di sisiku. Sahabatku Ayu, masih tercengang mendengar pengakuanku. Menurutnya aku terlalu cepat mengambil keputusan.
"Lo sih gila sih.. lo baru kenal dia 3 minggu, Nad.. baru 3 kali ketemuan, tahu apa lo tentang dia?", kata Ayu geregetan.
Memang iya, terlalu cepat, sampai-sampai aku melupakan hukum "Penyesalan selalu datang belakangan, kalau di awal namanya pendaftaran".
"Ya gimana lagi, Ay? Gue suka, gue gabisa nolak orang yang gue cintai sepenuh hati gue".
"Hiiihh geli kuping gue! Sekali lagi mulut lo bilang 5 huruf itu gue semprot lo pake sambel baksonya Bu Tiek. Pokonya gue gamau tau kalo lo dibikin nangis sama si bacot, ga ikut-ikutan gue".
Saat itu aku, si bodoh yang tuli, tidak mendengar kata-kata sahabatnya.
Sampai pada suatu hari yang kelabu, langit mendung tanda hujan akan jatuh menderu, tanpa memberitahumu aku berniat untuk mencarimu di lapangan basket. Karena memang disitulah kamu biasa bermain bersama ketiga sahabatmu, Reza, Jeki, dan Eko. Aku mengenal mereka, karena kamu sendiri yang mengenalkan kami. Langkahku sangat ringan, terlalu ringan untuk siang yang sendu membiru. Namun sayup-sayup ku dengar seseorang menyebutkan namaku, sssttt tunggu, tidak hanya satu, aku mendengar suara Eko yang tertawa, dan Reza yang berkata, "Jadi gimana? Mau lo putusin kapan tuh si cupu?". Langkahku melambat, detak jantungku mulai tak beraturan, lalu berhenti di balik tembok tempatmu dan teman-temanmu itu membicarakanku. Dengan cemas aku menunggu kata-kata yang akan kamu keluarkan dari mulut manismu. Tak begitu lama kamu menjawab, "Utang lo tuh lunasin dulu, baru gue putusin. Kan udah janji 200.000 per orang buat gue, kalo gue berhasil pacarin dia 30 hari".
Sungguh, rasanya duniaku hancur bersamaan dengan derasnya hujan hari itu. Mengapa harus aku, Bara? Dan mengapa harus kamu yang aku sukai? Mengapa kamu punya senyum yang indah kalau akhirnya kamu gunakan untuk menyakiti?!
Akupun berbalik badan, meninggalkan kamu dan tawa sahabat-sahabatmu yang menyakitkan.
Bersambung.. . . .
Ponorogo, 18 Oktober 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
terasa sakitnya
semoga Nadya baik-baik saja ya bu..
Cantiknyaaa..cerbung ini..ditunggu next nya Raras..i love you deh...
Doakan istiqomah kakakk.. :)))
Hmmm... Selalu bagus deh kalau pilih2 kata. Salut!!!
peluk onlen mbak ridhaa :)))
Mantab cerpennya bu..ditunggu lanjutannya
alhamdulillah.. semoga berkenan membaca lanjutannya bapak..
Itu namanya cinta taruhan bu. Kata orang kalau gak mau sakit hati, tidak usah main cintaTapi mantab ceritanya bu.
betul sekali bu.. terimakasih..
Kadang kita mengakui kalo itu sebuah taruhan hanya karena terlali malu mengakui bahwa itu adalah cinta yang sesungguhnya. Next kilat sis...
akankah Bara mengakui cintanya? pantengin terus cerpen ini ya..
Hai kak, saya Desy dari kelas menulis Bang Radit yang kakak juga ikuti. Baru awal perkenalan tokoh ya, belum bisa nebak cerita ini tentang apa. Jadi ya belum bisa komen soal cerita. Kalau soal penulisan, ada beberapa kalimat yang pengen banget kuedit, wkwkwkwk maapkan jiwa anak sastraku kak, bawaannya eyd mulu di kepala. Selain itu sih, diksinya udah berima dan puitis, bagus kok. Semangat nulis.
haii.. makasih banget udah mau baca sampe di sini.. terharuuu untuk yg pingin diedit bisa kasih tau aku di grup ya, cari aja yg nulis di gurusiana.. thank you komentatnyaa