RAMELDA

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
HUJAN SORE ITU

HUJAN SORE ITU

 

 

Sore ini hujan datang lagi. Sore ini udara terasa dingin lagi. Serta sore ini, aku kembali merasa sepi dan sendiri lagi.

Aku benci momen dimana aku kembali menyalahkan diri atas dia yang telah pergi. Aku benci saat aku harus kembali memutar memori akan kejadian pahit yang bahkan aku sendiri tak mampu memaafkan diri. Aku benci saat harus mendengar rintik hujan, melihat butiran air jatuh ke bumi, merasakan hawa sejuknya, apalagi ketika sore menjelang. Aku benci semua itu. Aku benci hujan.

OoO

Bagi Amanda, langit biru yang cerah adalah pemandangan indah yang tak ingin ia lewatkan. Awan putih bertabur manja serta kicauan burung sesekali menyejukan pendengaran. Ya, langit adalah seesuatu yang tak pernah bosan ia tatap. Namun, Amanda hanya menyukai langit biru. Ia tak suka jika langit menjadi kelam atau berubah oranye yang kata orang itu indah tiada tara, serta romantis membahagiakan mata. Ia tak peduli dan ia tak suka menatapnya.

Untunglah hari ini langit bersahabat dengannya. Biru di atas sana mampu membuat Amanda memberikan senyum tipis yang langka orang terima. Amanda hanya memberikan senyum itu kepada langit biru dan dia.

“Ah mantap, istirahat gini lihat yang manis-manis.” Saat Amanda masih sibuk menatap langit di taman dengan novel yang terabaikan berada di pangkuannya, Rehan—sahabat dari SMP nya—tiba tiba sudah duduk di sampingnya.

Amanda tak menghiraukan, ia malah sibuk menebak bentuk awan di atas sana.

“Hujan dengan Kerinduan.” Rehan mengeja judul novel di pangkuan Amanda. Sontak Amanda menutup novelnya dan membalik novel tersebut. Ia menatap Rehan sebentar lalu kembali fokus pada awan di langit biru.

“Bukannya lo gak suka hujan ya dari dulu?” Tanya Rehan pada Amanda.

Amanda mengangguk tanpa ragu.

“Trus kenapa baca gituan? Nanti sedih lho.” Ucap Rehan lagi. Mata Amanda masih fokus pada langit dan Rehan juga melakukan hal yang sama.

“Aku gak ngerasain udara dingin kalau membaca ini, toh aku pun juga tak melihat hujan di dalam sana, yang aku lihat hanya huruf huruf kecil yang sarat akan makna.” Jawab Amanda.

“Eh? Oh gitu ok deh. Btw lo udah makan?”

“Belum.”

“Gue beli bentar ya.”

“Iya, makasih.”

Mata Amanda masih setia menatap langit.

‘Sekali sekali lihat gue kek, gak pusing liat ke atas mulu?’

OoO

Air itu tanpa ampun membasahi tubuh kecilnya dan tubuh ibuya yang sedang dalam perjalanan menuju puskesmas. Sedaritadi mereka menatap jalanan yang sepi sembari terus melangkah dengan mantel hujan serta payung di tangan berharap ada angkot atau taksi yang datang.

Puskesmas masih jauh dan mereka sudah terlalu kedinginan dan kelelahan, langit sore yang awet kelabu dengan rintikan air pun masih setia menemani mereka.

Ibu itupun memutuskan untuk berteduh sebentar di halte sembari menunggu hujan reda dan mencari angkutan agar bisa cepat ke puskesmas.

“Ma, kita ke puskesmasnya jalan lagi aja yok, seru soalnya mandi hujan,” ucap gadis kecil itu dengan riang. Ya maklumlah anak kecilkan memang rata rata menyukai hujan termasuk gadis ini.

“Jangan sayang, nanti kamu demam, mama juga udah kedinginan, ingetkan kita gak boleh kelelahan.” jawab sang ibu sembari tersenyum dan membelai lembut pipi anaknya.

“Tapikan aku suka hujan.”

“Mama juga suka hujan. Tapi sekarang kan kita mau berobat mama, ntar mama tambah sakit gimana?”

“Oh iya, yaudah mama duduk aja biar gak kelelahan, terus peluk aku biar gak kedinginan.”

Manis sekali.

Memang manis, tapi gadis itu kini tidak mampu mengenang kejadian itu kembali. Kejadian dimana ia memaksa mamanya berobat karena takut mamanya kenapa-kenapa padahal gadis itu sedang membawa malapetaka. Memaksa mamanya kedinginan untuk menuju puskesmas padahal sudah dikatakan mamanya bisa besok. Dasar gadis nakal. Benar benar nakal, dan.. jahat.

OoO

“Manda!!”

“Astagfirullah!”

“Amandaaaaaaa!!!!!”

“AMANDA ANAMIKA MURID MIPA DUA HEYYYY! ASTAGFIRULLAH.”

Amanda yang tengah melamun itupun terkejut.

Ah, mengapa kejadian itu kembali lewat di memori?

Makan nihh, udah capek gue ke kantin untuk beliin ini, lo gue panggil panggil ga nyahut, malah bengong, mikirin apa sih? Cerita di novel?” Rehan yang memang dari dulu cerewet berucap dengan panjang sembari langsung menyiapkan makanan dan minum yang telah ia belikan untuk Amanda. Ia membuka semuanya, lalu menyodorkannya pada Amanda, “nih makan.” ucapnya.

Amanda menerima kotak somay itu dan melahapnya.

“Re, kayaknya besok-besok aku harus jauhin semua yang bertema hujan deh.” disela kunyahnya Amanda tiba-tiba mengatakan hal itu.

“Kenapa? Luu jadi sedih?”

Amanda menengadahkan kepalanya dan menatap langit sembari tersenyum. Senyum yang menyiratkan luka dan penyesalan besar.

“Aku jadi rindu Mama sama Rere.” ucapnya sembari tersenyum lalu melanjutkan makan. Rehan menatap lekat padanya.

“Pengen nangis? Sini gak papa.”

“Hahah enggak kok, oh iya, kamu udah makan? Nih makan.”

“Rere cewek kan Man?”

Amanda malah tersenyum dan kembali menatap langit.

‘Semoga sore ini gak hujan biar aku bisa ingat mama dan Rere dengan memori yang membahagiakan bukan kelam.’

OoO

Sepertinya sore ini semesta tak berpihak kepada Amanda. Langit tampak mendung, kelabu menghiasi, satu-dua rintik mulai jatuh menyapa bumi.

Sial! Kenapa harus selalu sore hujan turun!

Mau tidak mau Amanda merasakan sesak dan sepi kembali. Di lantai dua kamarnya, ia merenung dan berurai air mata berharap hujan kali ini cepat berlalu.

Sampai kapan ia akan seperti ini? Andaikan ia bisa melupakan hujan.

OoO

“Hai aku Rere!” saat berteduh di halte, tiba-tiba ada seorang anak kecil menghampiri Amanda dan ibunya. Sepertinya anak ini habis mandi hujan dengan riang.

Dengan senyum hangat Amanda menjawab sambutan perkenalan dari anak itu.

“Aku Amanda!”

“Kamu lagi apa disini? Kita mandi hujan yok!!” Rere berucap dengan riang.

“Aku gak mau main sama orang yang gak aku kenal!”

“Kan tadi kita udah kenalan.” jawab Rere santai. Ibu Amanda tersenyum memerhatikan tingkah dua bocah ini.

“Kan belum temenan.” jawab Amanda lagi. Namun, Amanda mengatakan semua itu dengan senyum manis kok.

“Yaudah mulai sekarang kita temenan!”

“Setuju.” dua bocah ini tertawa.

“Tante, Amanda mandi hujan ya bareng aku? Aku anaknya Laila tante, tante kenal mama gak?”

“Ah tentu tante kenal. Tapi Amanda tetap makai jas hujan nya ya?”

“Oke tante.”

Dua bocah itu bermain hujan dengan bahagia. Sedangkan ibunya Amanda sudah sangat kedinginan. Untunglah beberapa saat kemudian, ayah Amanda datang.

“Assalamualaikum,maaf telat, kenapa kalian main hujan-hujanan sih ke puskesmas? Kan bisa tunggu papa?”

“Aku pengen mandi hujan soalnya.” jawab Amanda riang dan di sambut tawa Rere serta tatapan papanya juga senyum tulus sang ibu.

“Tadi pas kita jalan belum hujan pa, jadi sekalian aja rencananya mau jalan jalan sore, eh taunya tiba tiba hujan, untung udah sedia payung sama jas hujan.”

“Kamu gak papa kan?”

Ibu itu tersenyum.

Namun beberapa saat kemudian, gelap memenuhi penglihatan ibu Amanda. Badannya terhuyung dan tanpa menunggu lama kesadarannya hilang.

Amanda dan Rere yang tengah riang bermain hujan terkejut.

“MAMAAA.” Amanda berlari dari sembrang sana tempat ia bermain tadi menuju papanya yang coba menggendong dan memasukan ibunyan ke dalam mobil.

Tanpa di sadari, Amanda yang berlari tanpa melihat jalanan membawa bencana lebih lagi.

“AMANDA AWASSS!”

“CCTTTTT”

“DEGWARRRR”

“HAAAAAA”

OoO

“MAMA RERE!”

“Huuh huuh”

Keringat bercucur deras dari pelipis Amanda. Perasaan cemas dan ketakutan itu kembali menghantuinya. Dilihatnya ke luar jendela. Hujan sudah reda. Tak ada lagi kelam menghiasi langit.

“Mimpi itu lagi.”

“Kapan aku akan berdamai dengan masa lalu? Kapan aku bisa menerima semua dengan lapang dada? Kapann?”

Ditengah isakan tangisnya yang terdengar begitu pilu, terdapat begitu banyak pertanyaan yang sebenarnya hanya ia sendiri lah yang bisa menjawab itu semua.

Pintu kamarnya perlahan terbuka.

Amanda menoleh. Itu ayahnya. Tanpa banyak bicara, ayahnya masuk dan memeluknya dengan begitu hangat. Perlahan air matanya kembali jatuh. Ia menangis dan meluapkan sedih, sesal, serta ketakutaanya di dalam pelukan sang ayah.

“Kamu masih merasa ketakutan saat hujan begini?” tanya ayahnya sembari mengusap rambut anaknya dengan lembut saat tangis Amanda sudah mulai mereda.

“Kamu bohong sama papa soal trauma yang kata kamu sudah hilang?”

Amanda menunduk dalam.

“Sayang, semua bakal kembali baik baik saja saat kamu menerima ini semua.”

“Tapi--” Ayahnya menggeleng.

“Semua di mulai dari kamu memaafkan diri sendiri. Memaafkan takdir semesta.”

“Hei, bukannya takdir ini indah? Mama sudah tenang di surga sana, Rere juuga sudah damai dalam pelukan tuhan, lalu apa yang kamu takuti sayang?”

“Semua terjadi karna hujan. Amanda benci hujan!”

“Harusnya kamu berterima kasih bukan? Mama jadi tak merasa sakit lagi, Rere juga tak perlu menerima perlakuan kasar dari keluarganya lagi. Mereka sama sama bahagia dalam surga sana. Sekarang, kalau tak ada hujan bagaimana bisa kita menikmati hidup dengan bahagia dan damai. Siapa yang akan mengisi samudra sana kan?”

Amanda menunduk, banyak tapi yang ingin ia ungkapkan namun tertahan. Apa yang di katakan ayahnya memang benar.

“Papa bisa ikhlas, lalu mengapa kamu tidak?”

“Hujan saja selalu datang untuk meminta maaf, namun kamu selalu menolaknya tegas tanpa mendengar penjelasan.”

“Ada hal luar biasa di balik air mata. Tak ada sedih yang berakir percuma. Akan ada secercah kebahagian yang pasti menyapa dan kembali menghiasi wajah dengan tawa.”

“Kalau kamu sedih seperti ini terus dan selalu menolak untuk memaafkan diri dan semesta, bukan hanya kamu yang sedih, Papa serta Mama dan Rere di surga sana juga ikut sedih sayang.”

Amanda memeluk ayahnya dengan erat. Apa yang ia lakukan? Ayahnya selalu menasihati namun tak ia hiraukan, ia malah hanya fokus pada luka yang ia derita. Tak pernah sekalipun ia mengingat bahwa ayahnya juga memendam duka.

“Maafin Amanda ya pa.”

“Amanda akan berusaha menerima, hmm semoga Amanda bisa bijaksana.”

Ayahnya tersenyum dengan hangat.

“Tingtong” bel rumah tiba tiba berbunyi.

“Papa liat dulu ya.”

Amanda mengangguk.

“Eh Amanda juga ikut kebawah deh.”

Ternyata, di pintu sudah ada Rehan dengan pakaian rapinya.

“Assalamualaikum om, saya mau ajak Amanda main om, bolehkan?”

Ayahnya tesenyum dan menatap Amanda dan soalah berkata bahwa, “akan ada kebahagiaan setelah duka bukan?”

Amanda tersenyum malu menatap ayahnya.

“Silahkan masuk nak.” Siapa sangka, Rehan yang selalu merasa terabaikan, sebenarnya sudah Amanda tatap sejak lama. Benar benar lucu. Tak ada rencana semesta yang tak indah. Setelah kehilangan Rere orang yang baru di temuinya saat bermain hujan yang rela mengorbankan diri demi Amanda, kini ia justru bertemu Rehan yang siap dan selalu ada ketika Amanda sesak dan butuh sandaran.

“Bentar, ganti baju dulu.”

Ya, saatnya kini ia melihat dan kembali fokus pada  hal yang membahagiakan. Memaafkan diri atas semua yang terjadi. Melihat kebaikan semesta yang selalu ia abaikan. Hujan sore itu adalah titik baliknya untuk mencoba ikhlas dan menerima semua. Hujan sore itu sudah mengubah semuanya.

Ia bukan tak mampu, ia hanya selalu enggan mencoba untuk mampu.

Jika Amanda mau melakukan perubahan, mengapa kita tidak?

OoO

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post