Rahmat Nurdin, M. Pd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Berhenti Bekomunikasi Organisasi Mati

Berhenti Bekomunikasi Organisasi Mati

Oleh: Rahmat Nurdin

Komunikasi memiliki hukum tabur tuai, artinya apa yang kita ucapkan akan kembali pada kita. Seorang atas yang sering membentak dan mengeluarkan kata-kata kasar pada bawahannya, disadari atau tidak, sesungguhnya kata-kata itu akan kembali pada dirinya, jadi yang mesti kita sadari bersama adalah apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai dikemudian hari.

Dari hukum tabur tuai tersebut sudah seharusnya kita mengedepankan komunikasi positif dalam pergaulan sehari-sehari. Apapun profesi dan jabatan apapun yang kita geluti menjalani komunikasi positif adalah kunci dari kesuksesan profesi tersebut.

Komunikasi positif adalah kekuatan yang akan menyemburkan energi positif. Sebab dengan energi positif kita akan bertutur sopan, santun, dan bersahaja, berbeda dengan komunikasi negatif yang akan mengakibatkan sentimen, rasa dendam, dan pertentangan diri dan orang lain.

Contoh komunikasi yang akan menimbulkan energi negatif saat atasan atau pimpinan kita berkata seperti ini "kamu tidak gesit, tidak cakap! Semua yang kamu kerjakan salah!" Spontan kita tidak akan menerima ucapan tersebut, kita akan memberontak miskipun kita tidak secara langsung membalas tindakannya. Namun ini adalah sinyal yang akan menimbulkan riak gelombang dalam diri kita, dan jika hal ini terus menumpuk tindakan lepas kendali akan meledak, ibarat bom waktu.

Bandingkan dengan komunikasi positif. " Dari 5 tugas yang telah kamu kerjakan, baru satu yang benar. Selebihnya kamu masih punya kesempatan untuk memperbaikinya." Mendengar pertanyaan ini, mendengar pertanyaan ini tentu kita akan merasakan aliran energi positif sehingga muncul sebuah motivasi untuk memperbaiki dan berusaha lebih keras lagi untuk memperbaiki tugas-tugas yang tersisa.

Komunikasi secara aplikatif berarti dialog, bukan pemaksaan kehendak dan pendapat sendiri, dialog mengandung makna upaya untuk membangun kebersamaan dengan mengedepankan sikap saling memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Itu berarti dialog adalah potret komunikasi yang menempatkan para pelakunya pada tempatnya masing-masing dengan ukuran keseimbangan. Dalam dialog itu akan terjadi posisi tawar menawar tampa ada yang direndahkan apalagi dihinakan, jika barangnya cocok kita beli, bila tidak kita pergi mencari alternatif lain.

Artinya dialog merupakan komunikasi yang kita ciptakan dengan balutan semangat dan layalitas untuk berbagi dalam mencapai tujuan bersama dalam skala kecil maupun berskala besar. Lebih dalam lagi kalau kita selami dialog merupakan esensi dari komunikasi yang kita ciptakan dalam menghadirkan suasana kondusif di setiap sisi kehidupan ini.

Ironisnya, walaupun kita sudah tahu power komunikasi dalam koridor yang baik. Namun dalam berbagai aspek kehidupan masih banyak kita yang mempraktekkan komunikasi monologis (satu arah). Dalam dunia pendidikan misalnya, siswa dipaksa menerima suasana belajar apa adanya tanpa diberi kesempatan untuk berpendapat?

Dalam keorganisasian pendidikan-pun tidak kalah ironisnya, mentang-mentang top leader semua urusan tetek bengek harus menurut pandangannya, yang lain adalah pekerja, tidak ada proses tawar menawar dalam dialog ini yang ada adalah bekerja tanpa inovasi, ibarat menyimpan bom waktu yang siap meledak...dooooorrr, praaakkk.

Komunikasi secara sadar kita pahami adalah realita kehidupan. Baik atau buruk kita berkomunikasi tergantung sejauh mana kita mempergunakannya untuk membantu aktifitas kehidupan kita, sebagai makhluk sosial tradisi komunikasi yang baik akan tetap kita jaga agar makna manusia sebagai makhluk sosial dapat kita pertanggung jawabkan.

Komunikasi dalam pengertian terbentuknya hubungan kekerabatan alias kekeluargaan saat ini sudah mulai kehilangan makna, jikapun ada dialog yang terjadi itu lebih bersifat semu. Bersama namun dalam kesendiran, tidak komunikasi yang benar-benarkan membawa kita untuk saling memahami.

Masih ingatkah kita dengan komunikasi yang terjadi antar dua Imam besar Mutjahid di mana kedua Imam besar ini saling memahami dan menghargai perbedaan masing-masing.

Baca sampai selesai ya agar tidak gagal paham.

Dikisahkan, ketika dalam satu majelis ilmu, Imam Malik yang merupakan guru dari Imam Syafi'i mengatakan bahwa rezeki itu datang tanpa sebab. Seseorang cukup bertawakkal dengan benar, niscaya Allah akan memberikannnya rezeki.

"Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya," demikian pendapat Imam Malik.Imam Malik menyandarkan pendapat beliau itu berdasarkan sebuah hadis Rasulullah, yang artinya:

"Andai kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal niscaya Allah akan berikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia memberikan rizki kepada burung yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang".

Ternyata Imam Syafii memiliki pandangan lain. Beliau mengemukakan pendapat kepada sang guru. "Ya Syeikh, seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki?" kata Imam Syafii.

Imam Syafii menyampaikan pendapat bahwa untuk mendapatkan rezeki dibutuhkan usaha dan kerja keras. Rezeki tidak datang sendiri, melainkan harus dicari dan didapatkan melalui sebuah usaha.

Guru dan murid ini bersikukuh pada pendapatnya masing-masing. Hingga suatu ketika, saat Imam Syafii berjalan-jalan, beliau melihat serombongan orang sedang memanen buah anggur. Beliau pun ikut membantu mereka. Setelah pekerjaan selesai, Imam Syafi'i mendapat imbalan beberapa ikat anggur sebagai balas jasa.

Imam Syafi'i senang bukan main. Beliau senang bukan karena mendapatkan anggur, tetapi karena memiliki alasan untuk menyampaikan kepada Imam Malik bahwa pendapatnya soal rezeki itu benar.

Dengan bergegas Imam Syafi'i menjumpai Imam Malik yang sedang duduk santai. Sambil menaruh seluruh anggur yang didapatnya, Imam Syafi'i menceritakan pengalamannya seraya berkata: "Seandainya saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu (membantu memanen), tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai di tangan saya".

Mendengar itu, Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya. Kemudian Imam Malik berucap pelan. "Sehari ini aku memang tidak keluar pondok, hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawakan beberapa ikat anggur untukku. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab? Cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan berikan rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya".

Imam Syafi'i langsung tertawa mendengar penjelasan Imam Malik tersebut. Sang Guru dan murid itu kemudian tertawa bersama. (Kalam.sindonews.com. rusma siregar Jum'at, 01 Mei 2020 - 09:10 WIB)

Terlihat jelas komunikasi yang terjadi antar dua Imam besar ini, komunikasi yang saling menghargai perbedaan, saling memahami, saling memotivasi. Semoga kita dapat meniru sikap mereka dalam berdialog dengan tujuan terwujudnya cita-cita kita bersam.

Wallahu a'lam.

Sumber bacaan

Sumarsono Mulyodiharjo, The Power Of Comunication, (Jakarta. PT Elex Komputindo, 2010)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post