Gelas Retak, Part5
#TAGUR21
“Bu Alya, saya tidak ingin berbasa-basi. Saya sudah berbicara dengan Kepala Sekolah, Faris akan saya pindahkan ke sekolah lain.”
Aku mematung, mataku membelalak ke arah Ibunya Faris, terkejut dengan kata-katanya.
“Saya akan membayar kerugian sekolah, piring, gelas kaca terserah. Apapun itu katakan saja”
Aku mencoba untuk tenang, mengatur napas yang tak kalah kacau dengan perasaanku.
“Maaf, Bunda..” Sapaanku ke setiap wali murid.
“Mengapa tiba-tiba sekali? Apa Faris tau dengan keputusan yang Bunda buat? Tinggal beberapa bulan lagi Faris akan menyelesaikan masa kanaknya di TK, bukankah..”
“Stop Bu Alya! Justru karena masih ada waktu beberapa bulan lagi, saya tidak ingin Faris semakin tidak terkontrol. Dia semakin lemah, sering menangis, mengeluh, semakin sering memberontak. Keputusan saya sudah bulat. Saya Ibunya, saya yang paling tau yang terbaik untuknya.”
Aku mengambil napas panjang. Entah bagaimana caranya, Ibu Faris harus mempertimbangkan kembali kata-katanya. Faris perlu tau tentang ini.
“Baik, Bunda. Tapi izinkan saya mengatakan beberapa hal sebagai gurunya Faris”
Beliau tampak tenang kali ini, tapi juga menakutkan. Aku mulai menjelaskan apa yang terjadi pada Faris. Dimulai dengan cerita Faris yang lelah harus mengikuti semua perkataan Ibunya, lelah harus bisa mengikuti kepintaran dan kepopuleran kakaknya. Diberi pilihan tetapi tidak dengan keputusan, Faris sering dipuji dengan sikapnya yang baik, senyumnya yang manis tapi untuk ‘kesalahan’, ketidaksengajaannya mengenai bahu teman saat memasukkan bola ke gawang, kesalahannya saat tidak sengaja mendorong teman saat bermain, saat temannya yang dibujuk tapi tak kunjung diam. Faris melakukannya karena takut akan dimarahi Ibunya kalau tau tentang hal itu, bukan karena khawatir temannya terluka.
Ia juga merasa takut, merasa bersalah tetapi tidak boleh menangis. Ibunya terlihat tertarik tetapi seperti tidak terima. Bersyukur ia masih mendengarkan dan tidak memotong pembicaraanku. Aku menjelaskan lagi Faris butuh meluapkan emosinya apapun jenisnya, kenapa ia boleh tertawa tetapi tidak menangis. Kenapa boleh menampakkan rasa senang tetapi tidak boleh sedih. Gemuruh di hatinya dipaksa reda, Faris melampiaskannya pada gelas dan piring kaca. Suara dentingan gelas kaca mengisi keheningan di sisi lain hatinya.
“Bahkan Bu Alya sendiri belum menikah, tau apa tentang mendidik anak?
Ayo kita sudahi saja, Bu.” Timpal Ibu Faris.
Sepotong kalimat ini benar-benar mengganggu. Mengapa harus mengaitkan antara status kehidupan seseorang dengan mendidik anak. Semua orang bisa mempelajarinya. Hahh.. jadi harus kuapakan kali ini status lajangku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar