Raafi Imam Fauzan

Petugas laboratorium Fisika di SMA Negeri 1 Bukateja, Purbalingga....

Selengkapnya
Navigasi Web

Jangan Betah Sekolah

Maksud saya, sekolah bukanlah tujuan. Bersekolah itu artinya tidak hanya berada di sekolah, berseragam, di kelas, ujian, lulus, lalu selesai. Sepantasnya, bersekolah pun tidak hanya belajar, tapi lebih tinggi lagi, yaitu belajar untuk bisa selalu belajar.

Saat kita bisa membaca, bukan berarti kita telah cukup disebut pintar. Justru dengan membaca itulah cara kita menjadi orang yang pintar. Sekolah adalah tempat kita ‘belajar membaca’ dan di luar sekolah kita benar-benar ‘membaca buku, majalah, dll’.

Sekolah, utamanya guru, bertugas mendidik agar siswa mencintai belajar. Bukan menjadikannya pintar pada kemampuan-kemampuan praktis tertentu saja. Kemampuan praktis itu lama-kelamaan berganti seiring era, tapi kecintaan belajar itu yang akan menjadi cahaya, membuat para pembelajar selalu bisa menghidupkan kehidupannya meskipun tidak lagi bersekolah.

Guru yang bukan pelajar itu sombong. Pelajar yang bukan guru itu pelit.

Maka kita harus terus menjadi pelajar, dan kemudian mengajar. (Tetap menjadi pelajar, tapi bukan ‘mahasiswa abadi’). Demikianlah, siswa bisa lulus sekolah itu menurut saya adalah ketika ia telah memiliki kecintaan terhadap belajar. Agar di luar sekolah ia tidak kaku untuk berubah membaik. Belajar tentang hidup dan menjadi berarti. Di sekolah, kita berusaha mencomblangkan siswa dengan ilmu. Membuat siswa jatuh cinta pada belajar. Dan seperti biasanya cinta, ia tentu menuntut bukti. Kali ini ia harus dibuktikan dengan tingginya kompetensi.

Life-long learning berarti kita belajar sepanjang hayat. Kita tahu, pertama, ilmu Allah amat luas. Kata Allah dalam surat Luqman ayat 27,

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya kalimat Allah tidak akan habis ditulis.”

Tak akan pernah selesai jika semua ilmu harus diajarkan di sekolah. Maka kita harus menjadi life-long learner. Kurang tepat jika hanya ‘wajib belajar 12 tahun’. Mungkin yang dimaksud pemerintah itu ‘wajib sekolah 12 tahun’, walaupun saya juga belum setuju benar dengan istilah itu. Karena bisa jadi sebelum 12 tahun sekolah, seseorang telah benar-benar cukup untuk berhenti sekolah; bekerja, fokus bermasyarakat menebar manfaat. (Ya, bahas istilah. Wkw. Penting banget. Wkw).

Kedua, menjadwalkan mengajar daftar materi-materi pada siswa juga bisa membuat mereka sekadar menunggu. Padahal, sebagai guru, tugas kita adalah mengenalkannya pada ilmu melalui mata pelajaran yang kita ajarkan. Berikutnya, kita tunggu siswa menemukan cinta dan biarkan mereka mencintai ilmu dengan caranya. Mengekspresikan cinta lebih dari sekadar memperhatikan penjelasan atau terampil mengerjakan soal. 

Salah paham bahwa ketika tamat SMA/SMK berarti selesai belajar. Wisuda kemudian berakhir juga menuntut ilmu. Inti dari sekolah bukan kita lulus dari sekolah, tapi seberapa kita bisa berguna setelah kita dididik di sekolah. Langkah berikutnya yang lain justru lebih menantang; membangun jejaring, menyulut peka, dan menyelusup celah-celah untuk mengalirkan manfaat. Akhirnya, kita harus membuat siswa datang ke sekolah dan segera meninggalkannya pergi bersama cinta (pada belajar).

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post