Purbo Kuncoro

Namaku Purbo Kuncoro. Saya lahir di Pekalongan pada tanggal 26 April tahun 1960. Ayah saya bernama Sijam Sami Adji dan ibu saya bernama Sudijanti....

Selengkapnya
Navigasi Web

Nyamuk

Hari ke 317 cerpen

Nyamuk

Sejak tinggal di tanah kapling pak Di ini merasa tidak nyaman. Sebetulnya pak Di tidak mau pindah lagi. Kepindahan ke tanah kapling merupakan kepindahan yang ketiga.

Pertama pak Di pindah ke Perumahan dekat pantai Utara Pekalongan. Pak Di ke Perumahan dengan menjual rumah lama di pinggir jalan negara. Kebetulan anaknya yang sulung mau kuliah, sehingga dengan menjual rumah lama pak Di bisa membiayai kuliah. Sisa penjualan rumah lama digunakan untuk membeli rumah di perumahan. Rumah di perumahan ini memang lebih kecil. Rumah type 36 dengan dua kamar tidur. Cukup untuk keluarga yang hanya tiga orang. Pak Di bersama istrinya dan anak kedua yang masih sekolah di SMA kelas satu.

Hasil penjualan rumah lama di jalur Pantura selain untuk biaya kuliah anak, juga membeli perumahan, sisanya didepositokan di Bank Pemerintah. Tujuannya untuk cadangan masa pensiun. Pak Di mentok pangkatnya di golongkan III d karena hanya berijazah SPG. Pak Di tidak mau kuliah penyetaraan D2 PGSD seperti rekan guru yang lain. Sedangkan istrinya hanya ibu rumah tangga biasa.

Kedua setahun menjelang pensiun, pak Di menjual rumah di perumahan. Mumpung ada yang membeli. Pak Di sudah memprediksi bahwa lima tahun ke depan, daerah pantai utara kota Pekalongan akan sering mengalami rob, termasuk di perumahan tempat tinggalnya. Kalau dihitung pak Di sudah untung. Dulu tahun 85an angsuran rumah di perumahannya sekitar dua puluh lima ribu rupiah per bulan. Pak Di membeli tunai seharga tujuh puluh lima juta rupiah. Saat dijual laku dua ratus juta rupiah. Hasil penjualan rumah nya dibelikan rumah dengan pekarangan yang cukup luas di daerah kabupaten. Pak Di sudah merasa puas. Pak Di sudah membayangkan saat pensiun ada kegiatan yaitu merawat pekarangan dengan ditanami aneka tanaman.

Ketiga, begitu pensiun dan baru setahun lebih tinggal di rumah di daerah kabupaten, anak kedua masuk kuliah. Diterima di fakultas kedokteran Undip Semarang. Sedangkan anak sulung sudah lulus S1. Saat ini sudah bekerja di kementerian Kehutanan di Jakarta.

"Alhamdulillahi, Bu, Pak, saya diterima di kedokteran Undip,"kata Anik anak kedua dengan gembira sekali.

"Alhamdulillah, nok, kamu kelak jadi dokter. Bagaimana pak e kok diam saja?"tanya Prapti, istrinya.

"Bapak tidak senang ya saya kuliah di kedokteran?"tanya Anik.

"Bapak senang, nok, tapi bapak masih berpikir biayanya. Darimana sumbernya?"kata pak Di. Istri dan anaknya terdiam. Mereka tidak punya gagasan apa-apa.

"Apa enaknya, Anik batalkan saja, pak,"kata Anik.

"O, jangan.... jangan dibatalkan, bapak masih cari solusi,"kata pak Di menenangkan anaknya.

"Lha, daripada bapak bingung,'jawab Anik.

"Eman-eman nok,"kata pak Di.

Jalan terbaik menurut pak Di menjual tanah rumah. Menyekolahkan anak merupakan investasi yang mahal untuk masa depan keluarga. Itu tekad pak Di. Dengan menjual tanah rumah itu pak Di bisa membayar uang gedung, kos, dan SPP semester awal yang jumlahnya ratusan juta rupiah.

Kebetulan ada orang membuat kaplingan yang terletak antara kota Pekalongan dan kabupaten. Satu kapling berukuran 7x14 m. Pak Di mengambil satu kapling. Kemudian dengan uang tunjangan Taspen pak Di mendirikan sebuah rumah di atas tanah kaplingnya. Rumah yang dibangun meniru model perumahan type 36. Dua kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, ruang tamu dan kamar mandi sekaligus ada klosetnya.

Tanah kaplingan itu bekas sawah yang diurug tanah. Masalah yang dihadapi para penghuni kaplingan kalau hujan air tergenang dan becek karena belum diberi batu kricak. Kemudian saluran pembuangan selalu tergenang air walaupun tidak turun hujan. Genangan air itu rumah bagi nyamuk. Anehnya nyamuk-nyamuk itu sering menggigit kulit pak Di. Sedangkan istrinya, Bu Prapti jarang digigit nyamuk.

"Mengapa nyamuk suka menggigit saya. Ibu tidak pernah digigit nyamuk ya,"kata pak Di.

"Itu nyamuk betina. Jadi suka dengan laki-laki,"kata Bu Prapti sambil tertawa. Hehehe.

"Apa nyamuk jantan tidak pernah menggigit ibu?"tanya pak Di.

"Sudah tidak doyan karena kulitku sudah keriput jadi sulit digigit,"jawab Bu Prapti. Tertawanya jadi keras. Hahaha. Pak Di tersenyum kecut.

Tapi lebih mendenging dari pada suara nyamuk jika mendapat SMS dari Anik minta kiriman uang bulanan. Apalagi Anto anak sulungnya beberapa hari yang lalu mengebel minta uang untuk uang muka perumahan di Jakarta. Ngiiing. Nyamuk pun menggigit telinganya.

Limpung, 19 Desember 2020.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post