Navigasi Web
'AIDS' di Sekolah
Sumber : Google

'AIDS' di Sekolah

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu keadaan dimana orang diserang berbagai gejala penyakit akibat menurunnya system imunitas tubuh karena terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus. Sebuah infeksi yang melemahkan sistem imunitas tubuh manusia). Dalam kabut ketidaktahuan dan kecemasan masyarakat akhirnya terperangkap dalam prasangka seakan virus ini “tidak ada obatnya“, sehingga muncul stigmatisasi dan penguncilan terhadap penyidap infeksi HIV/AIDS. Berhadapan dengan penyakit fisik ini kita diingatkan untuk tidak “tuna nurani“, sebagaimana yang diungkapkan oleh Chris Siner Key Timu, seorang tokoh petisi 50.

Dalam tulisan ini saya mencoba “mengadopsi“ sindrom AIDS ke dalam lingkungan sekolah. Sebagaimana penyakit AIDS yang tidak hanya menghancurkan sistem kekebalan tubuh manusia, tetapi juga psikis korban oleh karena stigmatisasi dan pengucilan yang muncul dalam masyarakat. Seorang guru yang mengidap penyakit ini juga terganggu mentalitasnya (Elwood N. Chapman: Your Most Priceless Possession, 1990). AIDS dalam konteks ini merupakan akronim dari Aduh, Isu-isu, Duit, dan Sapi-perahan.

ADUH, tanda pertama yang paling mudah dikenali bagi mereka yang terjangkit mental AIDS ini adalah selalu mengeluh. Kemahiran "mengaduh" ini sedemikian hebatnya sehingga tiada hari yang terlewatkan tanpa keluhan. Segala sesuatu yang terpikir dan terasa dapat dijadikan alasan untuk memenuhi "panggilan jiwa" untuk menggerutu. ISU-ISU, nama lainnya adalah gosip. Gosip sangat mudah diterima karena sifatnya yang tidak jelas. Tak pernah diketahui apa motif orang yang mengarang dan menyebarkan gosip. Apalagi, pada dasarnya, yang menarik dalam gosip bukanlah apa yang digosipkan, melainkan bahwa hal itu digosipkan (bdk. Ignas Kleden, Tempo, 11 Februari 1989). Tidaklah sulit untuk mencari topik dan menciptakan isu sehingga sebagian dari kita dapat melakukannya tanpa salah, meskipun kita tidak pernah mengikuti pendidikan pada jurusan gosip. DUIT, merupakan kubangan materialisme. Orang cenderung mengukur segala sesuatu dengan uang atau harta yang dimiliki. Status bahkan harga diri dan pengakuan akan yang lain juga diukur hanya dengan uang atau materi yang dimiliki: semewah apa rumah yang dimiliki seseorang, berapa banyak mobil atau kendaraan, serta merek pakaian atau tas apa yang digunakan. SAPI-PERAHAN, jika skala perbandingan gaji buruh dengan gaji direktur adalah satu berbanding tak terhingga, maka jelaslah siapa yang akan dijadikan sapi-perahan. Namun, pada sisi lain, jika skala perbandingan itu lebih "rasional", tetapi sang direktur selalu pulang larut malam sementara karyawan-karyawannya pulang "tepat waktu", maka hal sebaliknya yang terjadi.

Sebagian dari kita, selalu memandang hubungan kerja dengan kaca mata "sapi" dan majikan memelihara mentalitas AIDS. Oleh karena itu untuk mengobati mental AIDS yang kita miliki, setidaknya perlu dikembangkan empat kebiasaan positif. Kebiasaan pertama adalah bersyukur. Mensyukuri apa yang kita miliki sesungguhnya tidaklah terlalu sulit. Cobalah untuk memfokuskan diri pada hal-hal yang dapat kita syukuri dalam setiap peristiwa hidup kita. Kedua, menciptakan kebiasaan berbicara tentang hal-hal yang positif dari pada membuat isu-isu negatif. Memuji orang lain yang berpakaian rapi, ramah, suka menolong, penuh pengertian, dan sebagainya, dapat dijadikan langkah awal. Ketiga, hindari pendewaan materi. Uang adalah alat bantu agar dapat digunakan dengan bijak untuk meraih kebahagiaan, bukan tujuan. Sepanjang uang diperlakukan sebagai alat untuk berbuat kebaikan, maka ia akan menjadi "karyawan" yang baik. Tapi sebagai "majikan", uang justru menjadi setan. Keempat, biasakanlah berpikir menang-menang (win-win). Kalau kita akan mendapatkan (mengharapkan) suatu hasil dari perbuatan / pekerjaan yang halal, pikirkanlah pula bagaimana hal yang sama seharusnya juga diperoleh mereka yang bekerja bersama kita. Memang, jauh lebih mudah membicarakan cara-cara mengobati mental AIDS dari pada berusaha untuk melakukannya secara nyata. Namun, kita perlu menentukan pilihan, mentalitas macam apa yang ingin kita bentuk dalam hidup ini.

Sulit rasanya mempercayai bahwa sukses besar diraih dalam kurun waktu yang singkat. Saya sendiri cenderung menganut prinsip tabur-tuai. Apa yang ditabur orang, akan dituainya kemudian. Dan proses menuai itu umumnya terjadi setelah kurun waktu yang cukup lama. Saya tak percaya pada sukses instant, sukses yang bisa terjadi dalam sekejab bagaikan membuat kopi Nescafe. Oleh karena itu hanya 10% kualitas hidup kita ditentukan oleh apa yang terjadi pada diri kita, sedangkan 90%nya ditentukan oleh bagaimana kita menanggapi kejadian-kejadian tersebut. Saya termasuk orang yang percaya bahwa, bila kita mempelajari kebenaran dan tidak mengalami perubahan hidup, maka hanya ada dua kemungkinan: kita tidak sungguh-sungguh belajar atau yang kita pelajari itu adalah bukan sebuah kebenaran.

Menjadi sukses mungkin menarik bila sukses itu berarti bahagia. Dan pandangan sukses sebagai orang yang memiliki segala sesuatu yang diinginkan dapat mereduksi kemanusiaan seseorang. Sukses sejati berarti memiliki untuk dapat memberi, memiliki untuk dapat belajar menerobos kemapanan, belajar untuk bersyukur dan menebarkan cinta kasih, belajar untuk bertumbuh dan berkembang. Menjadi sukses sungguh "mengerikan", bila dengan memiliki banyak harta tapi justru kita terisolasi dan teralienasi (terasing, merasa hampa dalam kemewahan materi) dari hidup dan kehidupan itu sendiri.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post