Ony Edyawaty

Semua yang saya tulis adalah orisinal. Saya memaknai sebuah tulisan seperti masakan yang lezat untuk jiwa. Untuk dapat membuatnya menjadi unik dan ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tantangan Menulis 104.  Tukang Gorengan Masuk Surga

Tantangan Menulis 104. Tukang Gorengan Masuk Surga

Sekarang, aku sudah mati. Nyawaku lepas dari badanku dengan sekali sentakan. Kulihat jasadku telungkup di atas jalan aspal berwarna hitam. Darah berwarna merah menyala kontras dengan gelapnya aspal mengalir dari kepalaku yang retak. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menyerempetku barusan. Tadinya aku pasang badan supaya gerobak gorenganku tidak hancur, namun apa daya. Mobil itu memang cepat sekali.

Orang-orang di sekitarku berkerumun. Mereka hanya mengepung namun tidak berani memindahkan jasadku. Aku tahu bentuk rumahku semasa hidup memang telah rusak. Sedih aku melihatnya. Jasadku, rumah yang selama ini menaungi jiwaku, harus aku tinggalkan dalam keadaan tidak mulus lagi. Rasanya mirip sewaktu aku menangisi rumah kiosku di Pasar Senen yang terbakar lengkap dengan barang-barang daganganku setahun yang lalu. Memang bukan kiosku saja yang kena, beberapa teman-temanku juga mengalami musibah itu. Bergulung-gulung kain dan busa peralatan membuat jok telah terbakar bersama jerih payahku mencicil ruko. Hancur, hitam dan lebur tak berbekas.

Otomatis saat itu aku menjadi jatuh miskin. Dengan uang hasil saweran teman-teman yang aku tahu merekapun menyisihkan dengan memeras darah, aku pulang ke Indramayu. Sempat depresi namun aku harus segera bangkit. Aku kembali ke profesi lamaku, berjualan gorengan dengan gerobak panggul lengkap dengan kompor gas dan tabung tiga kilo yang terus mendesis. Hari itu aku ingin agak lama di Pasar Tiban, di jalur Pantura. Kudengar mau ada pawai kampanye Pilpres, pasti daganganku akan laris manis.

Beberapa saat sebelum daganganku habis, aku mampir untuk sholat Jumat di masjid Syech Abdul Manan. Beberapa pemuda yang berkelana menuntut ilmu dari jauh, tampak bersiap memasuki arena shalat berjamaah. Aku selalu suka pada mereka. Wajah-wajah bersih dan ketenangan yang membungkus sepasang mata yang menyala. Gerakan tubuh mereka gesit, seperti siap melakukan apa saja, tatapan mata mereka tajam dan waspada seperti prajurit siaga perang, namun sikap mereka tenang dan santun. Keshalehan yang dingin laksana cahaya bulan dan semangat membela agama dan umat yang sepanas matahari, bersatu sempurna dalam diri mereka. Seandainya anakku satu-satunya masih hidup, tentu aku akan berusaha supaya dia seperti mereka itu. Pejuang agama, pecinta keadilan. Allah Tuhanku menyukai orang-orang yang tua yang shaleh, namun Dia lebih mencintai orang muda yang shaleh.

Aku tahu mereka belum pada makan. Jadi kutawarkan mereka gorengan ubi dan bakwan yang ada padaku. Mereka menolaknya dan mengatakan tidak punya cukup uang untuk membayarnya. Ini hari Jumat dan aku ingin bersedekah. Ku paksa mereka untuk mengambilnya, dan dengan malu-malu mereka memakannya. Seketika hatiku terasa hangat.

“Seandainya anakku masih ada,”rintihku.

“Asep, lagi apa kamu di sana, nak? Sekarang sudah tidak sakit lagi ya, “pikirku menerawang saat melihat wajah seorang santri yang mirip wajah Asepku.

“Bapak, terimakasih. Jazakumullah, semoga sedekah Bapak menjadi amalan shaleh,” ucap mereka kompak.

“Iya tak apa nak,”sahutku pendek.

“Seandainya aku bisa, akan aku berikan seluruh gerobak gorenganku pada semua jamah dan santri di masjid ini,” sambungku sekilas dalam pemikiran.

“Pak, lewat sini cepat!”, hardik seseorang dengan muka buas dan suara menggelegar.

“Siapa ini, baunya harum sekali,” bentaknya lagi.

“Hey, kawan. Lembutlah. Dia istimewa, “kata suara yang satunya lagi.

“Jangan diseret-seret. Aku sudah mendapatkan order khusus untuk manusia ini,”sambungnya.

“Maaf , Bapak-Bapak ini siapa?”, tanyaku.

“Ini di mana, mengapa semuanya serba kosong?”

“Tempat apa ini, dan saya tidak merasakan apapun “, rengekku sambil mencubiti tanganku. Aneh, tak terasa apapun.

“Jangan takut, mamang gorengan, ini adalah alam transisi.”

“Sudah waktunya kamu pulang, lewat sini”.

“Jalan ini langsung ke alam barzah yang tenang. Kamu hanya tinggal menunggu Hari Pembalasan, tak akan ada proses penghitungan. Tempatmu di Adn”, kata sebuah suara.

“Kami adalah malaikat penjemput, atas izin Allah.”

“Kamu akan memasuki Adn yang penuh kenikmatan karena pernah berdo’a, Ya Allah, seandainya dapat, aku ingin menghidangkan seluruh gorenganku ini sebagai jamuan untuk semua jama’ah dan santri di masjid ini.”

Aku termangu dan tetiba ingat Asep, anakku. Ia pasti ada di sini. Dahulu dia meninggal karena tertimbun tanah longsor. Sekelebat, seraut wajah tersenyum dan memelukku.

“Bapak”, sapanya.

“Aku bahagia akhirnya bertemu Bapak di sini.”

Asepku, anakku, santriku.

Sedekah kita, sekecil apapun akan cukup menebus surga dan ampunan Yang Maha Kuasa jika dilakukan dengan segenap keikhlasan.

Surga akan berisi orang-orang yang sengsara dan tertindas. Aku ingin dibangkitkan bersama mereka yang miskin, tertindas dan terampas hak-haknya.

-Rasullullah Muhammad SAW

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post