Melepas Dendam pada Siswa
Beberapa tahun silam saya baru saja ditempatkan di sebuah sekolah. Kedatangan saya berbarengan dengan diselenggarakannya UTS. Tugas pertama saya saat itu adalah mengawas ujian. Usai soal dan lembar jawaban dibagikan, saya terheran-heran. Seisi ruangan begitu gaduh, ramai dengan menyontek dan saling sontek. Saya yang saat itu masih muda tak mereka hiraukan.
Melihat kondisi demikian, saya pun angkat bicara. Saya sampaikan bahwa nilai kejujuran lebih tinggi dibanding nilai di atas kertas, setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Mendadak semua terdiam, namun sebagian besar tampak gelisah. Bila ada yang mencoba berbuat curang saya panggil namanya sambil ditanya apakah dia telah selesai mengerjakan. Untuk mengetahui nama mereka, mudah saja, tinggal mencocokan nomor urut duduk dengan daftar hadir. Akhirnya situasi kondusif meski sebagian memasang muka masam.
Saat tiba waktunya mengumpulkan lembar jawaban, seorang siswa melempar lembar soal dan jawaban ke meja guru. Belum sempat saya berucap, ia telah membalikkan badan. Marah? Ya, rasa itu ada di dalam hati. Rasanya saya telah mengajari merela sebuah kebenaran (berbuat jujur). Akan tetapi, balasannya justru sebuah kemarahan.
Saya ingat betul wajah anak itu, ia pun nampaknya sama meski saya guru baru. Hari-hari berikutnya, meski tak mengajar di kelas itu, saya sering bertemu dengan anak itu. Ada perasaan mengganjal tiap melihat anak itu. Perasaan yang sama mungkin dialami juga anak itu. Setiap akan berpapasan dengan saya, dia terlihat kikuk lalu menghindar. Hal tersebut berlangsung beberapa bulan lamanya.
Sungguh tak nyaman menyimpan rasa kesal di hati. Suatu saat saya sampai pada sebuah perenungan. Rasa kesal yang bersemayam di hati mungkin terpancar sebagai gelombang saat saya bertemu anak itu. Akibatnya, anak itu tak enak hati saat berjumpa. Apa gerangan yang membuat saya memelihara rasa kesal? Egoisme? Merasa tak dihormati? Padahal bisa jadi anak itu belum faham akan apa yang saya sampaikan saat itu. Atau...bisa jadi cara saya yang salah. Bukankah niat yang benar harus dibarengi cara yang benar pula?
Sebagai orang dewasa, seharusnya saya legowo. Bismillah...saya pun belajar mengikhlaskan apa yang telah terjadi. Saya menghrla nafas, melepas rasa yang mengganjal di hati. Sebuah dendam. Saya sering bayangkan wajah anak itu saat berdo’a. Saya minta kepada Allah untuk bisa berlapang dada. Sungguh saya menyayangi seluruh anak didik. Kesuksesan mereka adalah kebahagiaan saya. Kesuksesan yang mereka raih semoga kesuksesan sesungguhnya yang tidak ternodai ketidakjujuran.
Hati saya kemudian terasa ringan. Saat melihat anak itu, dari jauh saya sudah tersenyum, dia nampak kikuk lalu menganggukkan kepala tanda hormat. Bulan demi bulan berlalu, angkatan tersebut lulus sudah. Suatu hari di parkiran, seorang siswa memanggil saya sambil menghampiri. Ya, anak itu lagi. Saya menoleh sambil tersenyum dengan perasaan lega, “Bu, mohon do’anya, saya akan segera berangkat ke luar negeri (menyebut salah satu negara). Alhamdulillah saya dapat beasiswa di sana”. “Semoga sukses, berkah Nak”. Sunggah bahagia membuncah di hati. Alhamdulillah tak pernah lagi memelihara kesal terlebih kepada siswa. Andai dendam itu masih dipelihara, mungkin saya takkan bisa menjadi saksi kesuksesan mereka berjuang meraih cita.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar