Sepenggal Kisah Meraih Bintang(5)
SEPENGGAL KISAH MERAIH BINTANG
Waktu terus bergulir, tiga tahun aku mengabdi di madrasah yang baru. Tiba-tiba di suatu sore, seorang siswa yang kebetulan anak perwalianku bertandang ke rumah.
"Tumben, ke rumah Ibu. Ada masalah?" tanyaku setelah setelah anak itu kupersilakan duduk.
"Ini, Bu, mau minta tanda tangan buat karya tulis yang akan kuikutkan lomba," jawabnya.
Pemuda yang duduk di hadapanku ini pribadi yang ramah, bertanggung jawab, dan sifat kepemimpinannya sudah terlihat. Selain itu, dia juga memang senang mengikuti lomba yang berkaitan dengan menulis.
"Kenapa ke Ibu? Kan ada guru yang disiplin ilmunya sesuai judul karya tulis ini?" saranku.
"Tidak apa-apa, Bu. Kemarin yang bantu cari referensi kan Ibu. Lagian juga sudah harus dikumpulkan besok. Tidak sempat menghubungi guru yang lain," dalihnya.
Aku berpikir sejenak, menimbang-nimbang pantas atau tidak aku bertanda tangan. Khawatir jika ke rumah guru yang lain, nanti tidak ketemu apalagi di hari libur. Padahal, besok batas pengiriman karya tulis.
"Yah sudah, Ibu tanda tangan," ucapku.
Hari berganti, aku sudah melupakan lomba karya ilmiah itu. Ketika sedang beristirahat, seorang teman mendatangiku dengan wajah kesalnya. Wanita yang lebih tua tiga tahun itu menumpahkan ketidaksenangannya padaku. Aku yang kaget menjadi tempat luapan emosinya hanya terdiam sambil mencerna kejadian dari kata-katanya. Setelah puas menumpahkan kekesalannya, dia pun berlalu.
Kupanggil siswa yang pernah ke rumah.
"Pengumumannya sudah ada yah?" tanyaku.
"Iya, Bu. Karya tulisku lolos ke tingkat nasional," jawabnya.
"Lalu, siapa yang dampingi ke Jakarta?" tanyaku.
"Ibu," jawabnya spontan.
"Kenapa bukan guru yang lain? Kan kalau sesuai disiplin ilmu bisa lebih maksimal dibimbing?" tanyaku lagi.
"Ibu saja yang dampingi. Kata Bapak wakil kepala madrasah, Ibu koordinator rumpun mata pelajaran, jadi tidak apa-apa jika Ibu yang dampingi."
Siswa itu berkeras untuk kudampingi ke tingkat nasional. Setelah berbincang beberapa saat, aku pun memintanya kembali ke kelas.
Aku masih ragu mendampingi siswa itu. Takut akan menimbulkan kesalahpahaman lagi.
"Kenapa melamun?" tanya teman yang baru memasuki ruang guru.
Aku tersenyum padanya. Beliaulah guru yang kumaksud pada siswaku tadi.
"Jadi mengantar siswa ke Jakarta?" tanyanya.
"Belum tahu," jawabku ragu.
"Sudah, berangkat saja. Itu kan rezeki Ibu," ucapnya sambil tersenyum.
Temanku yang satu ini memang sangat bijaksana. Aku memantapkan hati berangkat ke Jakarta.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar